Tentang Terompet dari AlQuran dan
Bungkus Tempe Dari Alkitab:
Pertanyaan yang Kurang dan Takut Dibilang Picik ?
Udah semingguan kali orang ngeributin terompet yang dibuat dari kertas AlQuran sisa proyek. Belum juga mereka pada diem, eh...Muncul gambar tempe yang dibungkus pake kertas Alkitab.
“Yang penting kelakuan kita dan amal ibadah”, begitu kira-kira pendapat sebagian Muslim. Sebagian Kristen juga percaya hal serupa,”Nggak masalah Alkitab djadikan bungkus tempe,Yesus tetap hidup walau Alkitab dirobek-robek”.
Begini...Misalnya ortu lo udah meninggal. Boleh nggak surat nikah mereka dijadiin kapal-kapalan yang dilipat-lipat dan dimainin sama keponakan lo ? Apa, nggak boleh ? Kedua ortu lo udah nggak ada, nggak butuh lagi surat nikah. Eh, kok lu kaget ? ‘Kan lo nggak keberatan terompet dibuat dari AlQuran dan tempe dibungkus pake Alkitab, kok lo sekarang kaget sih ?
Sebagian dari kita akan berkomentar bahwa analogi di atas mengada-ada. Ngapain bikin kapal-kapalan kertas pake surat nikah. Emangnya nggak ada kertas lain ?
Nah, itu dia ! Itu yang mau gue bahas di sini. Pertanyaan yang beredar adalah,”Emangnya nggak boleh bikin terompet pake AlQuran dan membungkus tempe pake Alkitab ?” Jawaban atas pertanyaan itu canggih-canggih, nyebar di banyak forum dan di sosmed dari berbagai platform. Dasar jawaban tak hanya berupa akal sehat semata. Ada jawaban yang memang diberikan benar-benar ’pakai ilmu’, argumentasinya teologis-sosiologis, isinya rasional. Pucinggg deh pala Barbie bacanya.
Buat pala gue yang isinya nggak sebloon Barbie tapi sayangnya juga beda jauh dibandingkan isi kepala Margaret Mead atau Marie Curie, analisis yang beredar juga bikin puyeng. Ada dua hal yang menyebabkan gue pusing.
1.Semestinya pertanyaannya jangan hanya satu.
Maksud gue begini. ”Emangnya nggak boleh bikin trompet pake AlQuran dan bungkus tempe pake Alkitab ?”, ‘kan gitu ya bunyi pertanyaannya. Jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada banyak hal seperti latar belakang keluarga orang yang menjawab, lingkungan tempat ia bertumbuh, tipe pendidikan yang ia terima dan yang paling penting, jawabannya bergantung sekali pada cara si penjawab memaknai imannya. Nah,ribet ‘kan. Dilihat dari sisi akademis sih bagus:Membuka peluang untuk melihat sebuah topik dari berbagai sudut, menyediakan ruang untuk melatih keterbukaan dan mengasah logika, dll, dsbnya, dstnya. Masalahnya, orang Indonesia tingkat bacanya sangat rendah, hal ini menunjukkan banyak yang pada males mikir. Pertanyaan terbuka kayak gitu pada akhirnya di banyak forum dan sosmed hanya menghasilkan debat kusir dan rentetan respons tak nyambung (yang makin lama kian jauh dari inti topik) dan ujung-ujungnya berakhir pada jawaban terbuka yang menggantung.
Menurut gue sayang, sih. Kedua berita itu beredar luas, komentar bersliweran di mana-mana, tapi sepertinya nggak ada pembahasan yang memang bikin orang bloon jadi pinter. Kayaknya yang pinter ya tambah pinter dan yang bloon ya tetap (dan bahkan tambah) bloon. Lha abisnya pertanyaannya terlalu tinggi sih buat mereka. Sayang ‘kan, fungsi forum-forum diskusi di internet dan sosmed jadi hanya sekedar menimbulkan noise atau kebisingan, bukan menghasilkan knowledge atau pengetahuan.
Gue pikir kayaknya bagus deh kalo pertanyaannya ditambah dengan,”Emangnya nggak ada kertas lain ya buat dijadiin terompet atau bungkus tempe ?” Jawaban atas pertanyaan ini sifatnya faktual, obyektif. Kemungkinannya untuk tiba di jawaban yang lebih pasti, lebih besar. Dengan demikian peristiwa yang sama bodohnya mudah-mudahan kelak bisa dihindari.
2. Gue menangkap kesan yang sangat kuat bahwa “Gue nggak setuju AlQuran dijadiin terompet dan nggak setuju Alkitab dijadikan bungkus tempe” diidentikkan dengan kepicikan. Gue prihatin. Banget.
Orang punya hak untuk setuju DAN, bukan atau, orang juga punya hak untuk nggak setuju. Dunia memang benar-benar bermuka dua. Mereka yang tak setuju LGBT dimaki sebagai ‘picik’ dan tak paham HAM sedangkan yang mendukung hak LGBT dipuji karena dianggap berwawasan luas (Buat yang LGBT, terima kasih banyak kalo lo nggak tersinggung. Gue anti lesbianisme tapi ngga anti lesbian...Peace yooo. Gue tau kok dosa gue hampir pasti lebih banyak daripada dosa lo).
Jaman sekarang kebenaran adalah milik mereka yang ‘open-minded’ (?) dan inklusif. Padahal natur kebenaran itu sempit, eksklusif dan kerapkali bahkan menyakitkan atau ofensif. Contoh, 3 x 1 ya 3. Mesti 3, ga bisa 6 atau 11. Eksklusif ‘kan ? Dan setulus apapun hati lo saat bilang 11, ya lo tetap salah. Mungkin saat bilang 11 lo diejek habis-habisan atau lo ngomongnya sangat antusias dan tulus tapi ya lo tetap salah. Sangat menyakitkan. Kebenaran memang banyak yang nggak punya perasaan. Kebenaran kerapkali tak peduli pada proses, yang penting hasil akhir. Mungkin bagi lo 3x1 itu jadi 9 setelah lo ngitung sampe mimisan dan bahkan sempat cuti 2 hari *lebai* Tapi ya tetep aja lu salah.
Balik lagi ke masalah terompet dan bungkus tempe. Ada orang yang memang beneran setuju dan mengatakan setuju. Ya, silahkan aja. Bagaimanapun, ada juga yang hati kecilnya bilang nggak setuju tapi entah kenapa yang keluar ke publik adalah ‘setuju’. Natur kebenaran memang cenderung membuat manusia merasa tak nyaman. Nggak enak rasanya dibilang nggak pinter, wawasannya sempit, nggak demokratis...Hari gini...Nggak setuju AlQuran sisa proyek dan kertas Alkitab dialihfungsikan, yaela....Picik amat. Itung-itung sekalian go green, ya nggak ?
Padahal ya, kalo mau coba lihat dari sisi lain, AlQuran dan Alkitab itu oleh pengikutnya masing-masing diklaim sebagai wahyu dari Tuhan. Seorang profesor jurusan Agama dari Massachusets, Cander Dagli, mengatakan bahwa AlQuran ditaruh di tempat yang paling tinggi, kita nggak bisa naruh buku lain di atas AlQuran. Dia juga bilang bahwa biasanya Quran nggak ditaruh di lantai (sekarang gua ngarti kenapa Muslim pada punya tatakan Quran yang dari kayu itu tuh, lu tau kan maksud gue ?). Gue juga pernah baca ada ahli Islam yang bilang,"AlQuran itu jiwanya orang Islam. Kalo lu bakar Quran berarti lu bakar jiwanya Muslim".
Bagaimanapun, di kasus terompet ini nggak sedikit yang berpendapat,"Ga papalah Quran dijadikan terompet, yang penting ‘kan kelakuan kita, kalo ada yang susah, orangnya kita tolong nggak ? Kita memperhatikan sesama nggak ? Respek ke orang tua atau nggak ? Hal terpenting adalah sikap, amal ibadah, perbuatan".
Sekali lagi, terserah elu dah. Gue hanya berpikir bahwa kalo kita naksir berat dengan seseorang, nggak akan kok kita rela surat cinta dari dia kita celupin dikit ke air dan kita jadikan tisu basah. Lalu sambil ngelap meja pake tisu tersebut kita senyum dan bilang,”Yang penting saya sayang sama dia...Suratnya sebodo amatttt, ini ‘kan cuma kertas aja. Dia nggak keberatan kok, yang penting saya hepi, dia hepi,nanti abis nikah langsung beli private jet”. #ehhhhhh. Percayalah, kalo kita sangat sayang pada seseorang, bukan hanya orang itu yang kita hargai tapi juga barang pemberiannya...Aiiihhh, kenapa gue jadi puitis begini coba :-) Biar nggak terlalu melankolis kata 'sayang' bisa diganti 'respek' deh :-)
Untuk yang kristen dan setuju Alkitab dijadikan bungkus tempe, sekali lagi, kalo lo bilang setuju karena memang hati dan logika lo bilang begitu, ya silahkan. Tapi kalo lo bilang setuju cuma karena ikut-ikutan ‘orang demokratis nan cerdas yang ada di luar sana’, cuma karena merasa nggak nyaman dibilang fanatik atau picik, lo mikir lagi deh.
Lu tau nggak, di beberapa negara kalo lo ketauan nyimpan Alkitab, lo akan dipenjara ? Lu kebaktian di bawah tanah dan hanya bisa nyanyi tanpa suara karena kalo ketauan, lo langsung diangkut aparat ? Lu tau nggak di Cina ada orang punya 1 Alkitab dan akhirnya dia sobek-sobek, dia bagi-bagi ke teman-teman dan mereka hafalin ayatnya supaya pas mereka ditangkap dan Alkitabnya disita, mereka udah hafal apa isinya walau hanya sebagian kecil?
Lu browsing OpenDoors dan Voice of Martyrs deh, nanti lo akan tau bahwa sangat nggak pantas Alkitab dijadikan bungkus tempe mengingat ada ratusan ribu orang berani taruhan nyawa demi Alkitab. Ya iya sih, inti kekristenan bukan Alkitab melainkan Yesus tapi we can’t separate Him from His words and yes, the bible is His words, my dear.
Sekarang balik yuk ke pertanyaan alternatif yang gue ajukan di atas,”Emangnya nggak ada kertas lain ya buat dijadiin terompet atau bungkus tempe atau.... (lo isi sendiri deh kebutuhan lo di sini) ?” Kalo jawabannya ada, aman deh. Pake kertas lain aja.
Nah, kalo jawabannya ‘nggak ada’, gimana dong ?
Eh, elo desperate banget butuh kertas buat apa sih ? Berniat menyobek AlQuran atau Alkitab buat dijadiin korek api ? Buat bikin origami ? Lu mau nyampul buku ya ?
Gue aktif banget di Facebook. Kalo lo beneran butuh kertas tapi di rumah hanya ada AlQuran, Alkitab atau kitab suci lainnya, lu inbox gue aja, kasih alamat lo. Kalo masih dalam jangkauan Gojek, supirnya akan gue minta buat kirim kertas-kertas dari gue buat elo. Kalo lo jauh, gue akan pasang pengumuman di update status, nyari relawan yang rumahnya dekat dari rumah lo dan minta dia nyumbang kertas ke elo.
Nah, kayak gitu tuh jalan keluarnya. Baek ‘kan gue? Hehehe....
3/1/2015,
1.51 WIB
Subuh, lagi ga bisa tidur, kebanyakan minum kopi
“Yang penting kelakuan kita dan amal ibadah”, begitu kira-kira pendapat sebagian Muslim. Sebagian Kristen juga percaya hal serupa,”Nggak masalah Alkitab djadikan bungkus tempe,Yesus tetap hidup walau Alkitab dirobek-robek”.
Begini...Misalnya ortu lo udah meninggal. Boleh nggak surat nikah mereka dijadiin kapal-kapalan yang dilipat-lipat dan dimainin sama keponakan lo ? Apa, nggak boleh ? Kedua ortu lo udah nggak ada, nggak butuh lagi surat nikah. Eh, kok lu kaget ? ‘Kan lo nggak keberatan terompet dibuat dari AlQuran dan tempe dibungkus pake Alkitab, kok lo sekarang kaget sih ?
Sebagian dari kita akan berkomentar bahwa analogi di atas mengada-ada. Ngapain bikin kapal-kapalan kertas pake surat nikah. Emangnya nggak ada kertas lain ?
Nah, itu dia ! Itu yang mau gue bahas di sini. Pertanyaan yang beredar adalah,”Emangnya nggak boleh bikin terompet pake AlQuran dan membungkus tempe pake Alkitab ?” Jawaban atas pertanyaan itu canggih-canggih, nyebar di banyak forum dan di sosmed dari berbagai platform. Dasar jawaban tak hanya berupa akal sehat semata. Ada jawaban yang memang diberikan benar-benar ’pakai ilmu’, argumentasinya teologis-sosiologis, isinya rasional. Pucinggg deh pala Barbie bacanya.
Buat pala gue yang isinya nggak sebloon Barbie tapi sayangnya juga beda jauh dibandingkan isi kepala Margaret Mead atau Marie Curie, analisis yang beredar juga bikin puyeng. Ada dua hal yang menyebabkan gue pusing.
1.Semestinya pertanyaannya jangan hanya satu.
Maksud gue begini. ”Emangnya nggak boleh bikin trompet pake AlQuran dan bungkus tempe pake Alkitab ?”, ‘kan gitu ya bunyi pertanyaannya. Jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada banyak hal seperti latar belakang keluarga orang yang menjawab, lingkungan tempat ia bertumbuh, tipe pendidikan yang ia terima dan yang paling penting, jawabannya bergantung sekali pada cara si penjawab memaknai imannya. Nah,ribet ‘kan. Dilihat dari sisi akademis sih bagus:Membuka peluang untuk melihat sebuah topik dari berbagai sudut, menyediakan ruang untuk melatih keterbukaan dan mengasah logika, dll, dsbnya, dstnya. Masalahnya, orang Indonesia tingkat bacanya sangat rendah, hal ini menunjukkan banyak yang pada males mikir. Pertanyaan terbuka kayak gitu pada akhirnya di banyak forum dan sosmed hanya menghasilkan debat kusir dan rentetan respons tak nyambung (yang makin lama kian jauh dari inti topik) dan ujung-ujungnya berakhir pada jawaban terbuka yang menggantung.
Menurut gue sayang, sih. Kedua berita itu beredar luas, komentar bersliweran di mana-mana, tapi sepertinya nggak ada pembahasan yang memang bikin orang bloon jadi pinter. Kayaknya yang pinter ya tambah pinter dan yang bloon ya tetap (dan bahkan tambah) bloon. Lha abisnya pertanyaannya terlalu tinggi sih buat mereka. Sayang ‘kan, fungsi forum-forum diskusi di internet dan sosmed jadi hanya sekedar menimbulkan noise atau kebisingan, bukan menghasilkan knowledge atau pengetahuan.
Gue pikir kayaknya bagus deh kalo pertanyaannya ditambah dengan,”Emangnya nggak ada kertas lain ya buat dijadiin terompet atau bungkus tempe ?” Jawaban atas pertanyaan ini sifatnya faktual, obyektif. Kemungkinannya untuk tiba di jawaban yang lebih pasti, lebih besar. Dengan demikian peristiwa yang sama bodohnya mudah-mudahan kelak bisa dihindari.
2. Gue menangkap kesan yang sangat kuat bahwa “Gue nggak setuju AlQuran dijadiin terompet dan nggak setuju Alkitab dijadikan bungkus tempe” diidentikkan dengan kepicikan. Gue prihatin. Banget.
Orang punya hak untuk setuju DAN, bukan atau, orang juga punya hak untuk nggak setuju. Dunia memang benar-benar bermuka dua. Mereka yang tak setuju LGBT dimaki sebagai ‘picik’ dan tak paham HAM sedangkan yang mendukung hak LGBT dipuji karena dianggap berwawasan luas (Buat yang LGBT, terima kasih banyak kalo lo nggak tersinggung. Gue anti lesbianisme tapi ngga anti lesbian...Peace yooo. Gue tau kok dosa gue hampir pasti lebih banyak daripada dosa lo).
Jaman sekarang kebenaran adalah milik mereka yang ‘open-minded’ (?) dan inklusif. Padahal natur kebenaran itu sempit, eksklusif dan kerapkali bahkan menyakitkan atau ofensif. Contoh, 3 x 1 ya 3. Mesti 3, ga bisa 6 atau 11. Eksklusif ‘kan ? Dan setulus apapun hati lo saat bilang 11, ya lo tetap salah. Mungkin saat bilang 11 lo diejek habis-habisan atau lo ngomongnya sangat antusias dan tulus tapi ya lo tetap salah. Sangat menyakitkan. Kebenaran memang banyak yang nggak punya perasaan. Kebenaran kerapkali tak peduli pada proses, yang penting hasil akhir. Mungkin bagi lo 3x1 itu jadi 9 setelah lo ngitung sampe mimisan dan bahkan sempat cuti 2 hari *lebai* Tapi ya tetep aja lu salah.
Balik lagi ke masalah terompet dan bungkus tempe. Ada orang yang memang beneran setuju dan mengatakan setuju. Ya, silahkan aja. Bagaimanapun, ada juga yang hati kecilnya bilang nggak setuju tapi entah kenapa yang keluar ke publik adalah ‘setuju’. Natur kebenaran memang cenderung membuat manusia merasa tak nyaman. Nggak enak rasanya dibilang nggak pinter, wawasannya sempit, nggak demokratis...Hari gini...Nggak setuju AlQuran sisa proyek dan kertas Alkitab dialihfungsikan, yaela....Picik amat. Itung-itung sekalian go green, ya nggak ?
Padahal ya, kalo mau coba lihat dari sisi lain, AlQuran dan Alkitab itu oleh pengikutnya masing-masing diklaim sebagai wahyu dari Tuhan. Seorang profesor jurusan Agama dari Massachusets, Cander Dagli, mengatakan bahwa AlQuran ditaruh di tempat yang paling tinggi, kita nggak bisa naruh buku lain di atas AlQuran. Dia juga bilang bahwa biasanya Quran nggak ditaruh di lantai (sekarang gua ngarti kenapa Muslim pada punya tatakan Quran yang dari kayu itu tuh, lu tau kan maksud gue ?). Gue juga pernah baca ada ahli Islam yang bilang,"AlQuran itu jiwanya orang Islam. Kalo lu bakar Quran berarti lu bakar jiwanya Muslim".
Bagaimanapun, di kasus terompet ini nggak sedikit yang berpendapat,"Ga papalah Quran dijadikan terompet, yang penting ‘kan kelakuan kita, kalo ada yang susah, orangnya kita tolong nggak ? Kita memperhatikan sesama nggak ? Respek ke orang tua atau nggak ? Hal terpenting adalah sikap, amal ibadah, perbuatan".
Sekali lagi, terserah elu dah. Gue hanya berpikir bahwa kalo kita naksir berat dengan seseorang, nggak akan kok kita rela surat cinta dari dia kita celupin dikit ke air dan kita jadikan tisu basah. Lalu sambil ngelap meja pake tisu tersebut kita senyum dan bilang,”Yang penting saya sayang sama dia...Suratnya sebodo amatttt, ini ‘kan cuma kertas aja. Dia nggak keberatan kok, yang penting saya hepi, dia hepi,nanti abis nikah langsung beli private jet”. #ehhhhhh. Percayalah, kalo kita sangat sayang pada seseorang, bukan hanya orang itu yang kita hargai tapi juga barang pemberiannya...Aiiihhh, kenapa gue jadi puitis begini coba :-) Biar nggak terlalu melankolis kata 'sayang' bisa diganti 'respek' deh :-)
Untuk yang kristen dan setuju Alkitab dijadikan bungkus tempe, sekali lagi, kalo lo bilang setuju karena memang hati dan logika lo bilang begitu, ya silahkan. Tapi kalo lo bilang setuju cuma karena ikut-ikutan ‘orang demokratis nan cerdas yang ada di luar sana’, cuma karena merasa nggak nyaman dibilang fanatik atau picik, lo mikir lagi deh.
Lu tau nggak, di beberapa negara kalo lo ketauan nyimpan Alkitab, lo akan dipenjara ? Lu kebaktian di bawah tanah dan hanya bisa nyanyi tanpa suara karena kalo ketauan, lo langsung diangkut aparat ? Lu tau nggak di Cina ada orang punya 1 Alkitab dan akhirnya dia sobek-sobek, dia bagi-bagi ke teman-teman dan mereka hafalin ayatnya supaya pas mereka ditangkap dan Alkitabnya disita, mereka udah hafal apa isinya walau hanya sebagian kecil?
Lu browsing OpenDoors dan Voice of Martyrs deh, nanti lo akan tau bahwa sangat nggak pantas Alkitab dijadikan bungkus tempe mengingat ada ratusan ribu orang berani taruhan nyawa demi Alkitab. Ya iya sih, inti kekristenan bukan Alkitab melainkan Yesus tapi we can’t separate Him from His words and yes, the bible is His words, my dear.
Sekarang balik yuk ke pertanyaan alternatif yang gue ajukan di atas,”Emangnya nggak ada kertas lain ya buat dijadiin terompet atau bungkus tempe atau.... (lo isi sendiri deh kebutuhan lo di sini) ?” Kalo jawabannya ada, aman deh. Pake kertas lain aja.
Nah, kalo jawabannya ‘nggak ada’, gimana dong ?
Eh, elo desperate banget butuh kertas buat apa sih ? Berniat menyobek AlQuran atau Alkitab buat dijadiin korek api ? Buat bikin origami ? Lu mau nyampul buku ya ?
Gue aktif banget di Facebook. Kalo lo beneran butuh kertas tapi di rumah hanya ada AlQuran, Alkitab atau kitab suci lainnya, lu inbox gue aja, kasih alamat lo. Kalo masih dalam jangkauan Gojek, supirnya akan gue minta buat kirim kertas-kertas dari gue buat elo. Kalo lo jauh, gue akan pasang pengumuman di update status, nyari relawan yang rumahnya dekat dari rumah lo dan minta dia nyumbang kertas ke elo.
Nah, kayak gitu tuh jalan keluarnya. Baek ‘kan gue? Hehehe....
3/1/2015,
1.51 WIB
Subuh, lagi ga bisa tidur, kebanyakan minum kopi