A Man Called Ahok:
Saat Kau Mulai Merasa Berkorban, Saat Itu Cintamu Mulai Pudar*.
Tulisan ini mengandung spoilers.
-----
Gue nonton film ini dan gue nggak nangis hanya beberapa menit. Sebelumnya gue udah dikasih tau sama kakak gue bahwa gue kudu bawa handuk pantai, bukan handuk kecil. Temen gue malah lebih parah lagi, nyaranin gue bawa Kanebo. Eh, sebelum gue lupa, gue mau kasih tau bahwa foto-foto nobar yang ada di slideshow di bawah, gue posting tanpa minta izin karena diambil dari akun yang privacy settingnya 'for public'. Mudah-mudahan sah-sah aja ya ngambil foto tanpa ijin dari akun yang secara sengaja disetting agar bisa diakses tanpa filter.
Lanjut.
Gue nangis melulu antara lain karena adegannya banyak yang mengusik. Lihatlah, Tjoeng Kiem Nam, Bokap Ahok, bertahan nggak nyogok padahal taruhannya adalah kesejahteraan keluarga. Ahok saat masuk bisnis dan politik pun melakukan hal yang sama persis. Lha kita? Ditilang sama bikin KTP aja nyogok. Eh, itu namanya ucapan terima kasih, mungkin lo ngeles kayak gitu…Haelah, ucapan terima kasih dari Hongkong !!? Ucapan terima kasih dikasihnya tuh belakangan, pas urusan udah selesai. Lha ini ngasihnya di depan, kok.
Sebagian besar penonton film ini pasti melakukan hal itu, memberi ‘ucapan terima kasih’, padahal kalo lihat Ahok pada histeris nyebut namanya. Lihatlah, betapa dangkalnya kita dalam mengagumi seseorang. Kita hanya memuji-muji karakternya tanpa meniru sedikit pun padahal meniru adalah bentuk pujian yang paling tinggi. Terus dengan bangganya kita menyebut diri sebagai Ahoker. Sotoy ‘kan. Kalo aja definisi Ahoker adalah orang yang meniru etos kerja Ahok, gue yakin jumlah Ahoker menyusut minimal 80%.
Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat menarik dari kehidupan Ahok namun tak ada di film. Bagaimanapun, hal ini bisa dimaklumi mengingat fokus cerita adalah cara Tjoeng Kiem Nam mendidik anak-anaknya. Oleh karena itulah hal terbaik dari film ini adalah dialog antara Ahok dengan Bokapnya (dan hal terbaik kedua adalah percakapan antara Ahok dengan Mus, teman dekatnya). Banyak kalimat yang menyentuh apalagi kita tahu ceritanya diangkat dari kisah nyata. Udah gitu yang jadi Ahok remaja (Eric Febrian) mainnya bagus dan beberapa baju Daniel Mananta tuh ada yang mirip banget sama baju-baju Ahok yang dipakainya beberapa kali setelah jadi gubernur. Bikin tambah kangen, yak. Gemailla Gea Geriantiana, costume designer film ini, menurut gue termasuk detil saat ngurusin baju Daniel. Entah ya kalo soal baju tokoh-tokoh lain,’kan gue nggak tau cara mereka berpakaian kayak apa.
Di salah satu adegan, Kiem Nam ngomong gini,”Pikirin orang kecil, Hok. Apa perasaan anak dan istri mereka saat ayah mereka pulang hanya bawa keringat.” Saat Kiem Nam diprotes Boeniarti, istrinya, tentang kebiasaannya menolong orang sampe berhutang segala macam, Kiem Nam menjelaskan,”Saya harus setiap hari mengajarkan ke anak-anak tentang melayani orang, saya harus jadi contoh.”
Film ini membuat kita paham mengapa Ahok pagi-pagi sudah menghadapi rakyat satu demi satu di pendopo Balai Kota. Kita juga akan ngerti mengapa waktu Ahok jadi bupati Belitung, beliau mengaspal seluruh jalanan serta memberi program kesehatan dan pendidikan gratis. Hal paling seru rasanya ketika tambangnya dijadikan cagar alam, di film ini adegan ini terlihat biasa tapi cari di Youtube deh videonya, Ahok pernah cerita tentang ini di sebuah rapat. Setelah mendengar detilnya kita akan paham kenapa Ahok kalo melihat koruptor tingkahnya berubah seolah-olah jadi pengen banget makan orang.
Kalo belum nonton, elo kudu nonton. Kalo udah, ya nonton aja lagi, gue nonton dua kali, yang nonton lima kali juga ada kok. Kalo elo punya anak ABG, jadiin ini film wajib buat anak lo. Dia gak mau nonton? Lo pegang pipinya kiri kanan trus lihat dia sambil bilang:
Tatap mata saya....Tatap mata saya...
Eh. Nggak deh. Emangnya elo Ronny Rafael. Ya kalo dia nolak, elo bilang aja, ini bagian dari cara Papa Mama ngedidik kamu dan ada permintaan Papa Mama yang harus kamu turuti. Kamu wajib nonton biar kamu ntar kayak Ahok. Bukan kayak Papa Mama.
#Eaaaaaa
Menarik untuk mendiskusikan film ini sama ABG elo (kalo lo punya, kalo nggak ya ponakan atau temen ajalah lo ajak): Bahwa Kiem Nam lebih memilih miskin daripada kaya dari hasil jual-beli hati nurani. Bahwa berbakti pada bangsa, yang selalu saja dimulai dengan cara menyejahterakan kota tempat kita tinggal, bukanlah sebuah opsi melainkan suatu kewajiban. Bahwa hidup kita yang cuma satu kali ini terlalu dangkal dan kelewat singkat kalo cuma dipake buat ngurusin diri sendiri…
…dan yang nggak kalah penting:Bahwa Indonesia terlalu megah untuk hanya diberi sedikit cinta.
Dan saat kita merasa sudah terlalu banyak yang kita kasih lalu kita merasa capek mengabdi, ada bagusnya kita mengingat kalimat ayah Ahok,"Jangan lelah mencintai Indonesia, Hok." Kita juga bisa melayangkan benak kita kepada penggalan puisi Sudjiwo Tejo:
'Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kau mulai merasa berkorban, saat itu cintamu mulai pudar.'
Logikanya sederhana: Kita letih karena merasa udah banyak berkorban. Bandingkan dengan ayah Ahok yang perusahaannya babak-belur dihajar pejabat tapi tetap mikirin Indonesia. Beliau selalu saja merasa baktinya tak pernah cukup. Padahal apa yang dilakukan Kiem Nam sudah memenuhi definisi pengorbanan versi Ibu Teresa dari Kalkuta, peraih Nobel Perdamaian tahun 1979:Pengorbanan adalah memberi sampai engkau merasa sakit. Kurang sakit apa coba tuh Kiem Nam, orang paling dihormati di kampungnya karena terkaya dari segi hati dan juga harta, melihat istrinya jualan roti untuk menyambung hidup?
Dari film yang diadaptasi dari buku Rudi Valinka ini, ada banyak hal bermutu yang bisa kita jadiin bahan obrolan. Bokap Ahok, dan tentu Ahoknya juga dong, adalah mata air yang tak akan bisa tuntas digali untuk dijadikan inspirasi buat merenung, berpikir dan berkarya.
Kehadiran mereka bukan hanya mengusik nurani orang-orang takut sistem yang selalu ingin berbuat benar namun kerap menyerah. Mereka tidak hanya membuat orang terperangah lalu sadar bahwa kalah selalu saja adalah sebuah situasi terhormat jika didahului perlawanan. Mereka tak hanya memberi contoh bahwa menjadi orang adalah takdir namun menjadi manusia adalah sebuah pilihan.
Bukan, bukan hanya itu. Mereka berdua juga menunjukkan bahwa rasa cinta dan respek adalah hal yang hanya bisa diperoleh melalui upaya, bukan pemberian cuma-cuma. Lihatlah: Ada orang miskin memberi hadiah pada Ibu Boeniarti, Nyokap Ahok, ketika beliau melahirkan dan seorang pedagang lusuh memberi daging gratis saat keluarga Ahok terpuruk. Ada juga anak buah yang tetap mengabdi, padahal perusahaan ayah Ahok ditutup dan Kiem Nam sudah meminta para pekerjanya untuk pindah ke tempat lain, karena dia yakin bahwa orang sebaik Kiem Nam tak layak ditinggal sendirian.
Mau lihat rasa cinta dan respek yang berskala internasional?
Ananda Sukarlan membuat musik tentang Ahok berjudul 'No More Moonlight Over Jakarta'. Komposisi ini pernah dimainkan di Korea dan Amerika. Sesudah Ahok bebas, musik ini akan kembali dimainkan di 5 pementasan yang tersebar di 3 negara:
24 Januari 2019: Strathmore Mansion, Washington DC
26 Januari 2019: Western University, London Ontario
15 Maret 2019: Kerrytown Concert House, Ann Arbor MI
2 Juni 2019: Museum of Fine Arts, St. Petersburg FL
11 Juni 2019: 32 Bright Clouds Recital in Havana, Cuba
Ananda tak memaksa teman-temannya untuk mementaskan karyanya. Ahok pun tak mewajibkan Ananda untuk membuat musik tentang dirinya. Lantas kenapa tanpa disuruh Ananda menulis musik tentang Ahok dan pada akhirnya musisi-musisi di luar negeri melirik komposisi tersebut ?
Jawabannya bisa kita temukan pada ungkapan yang ditulis Pramoedya Ananta Toer:
'Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya' .
Percayalah, itu jawabannya: Karena Ahok dan ayahnya paham untuk apa mereka hidup dan itu melahirkan kekuatan. Bukan hanya kekuatan bagi mereka berdua untuk setia pada kata hati dan tak tunduk di hadapan penguasa...
...namun juga kekuatan bagi orang-orang--yang tahu siapa mereka berdua--untuk bergerak, berkarya, memberi, menghormati serta mencintai.
Begitu, bukan?
www.gurupenulis.weebly.com
15 November 2018, 05.08 WIB
*Penggalan puisi Sudjiwo Tedjo
Sumber foto: Akun sosmed yang privacy settingnya 'for public.'
-----
Gue nonton film ini dan gue nggak nangis hanya beberapa menit. Sebelumnya gue udah dikasih tau sama kakak gue bahwa gue kudu bawa handuk pantai, bukan handuk kecil. Temen gue malah lebih parah lagi, nyaranin gue bawa Kanebo. Eh, sebelum gue lupa, gue mau kasih tau bahwa foto-foto nobar yang ada di slideshow di bawah, gue posting tanpa minta izin karena diambil dari akun yang privacy settingnya 'for public'. Mudah-mudahan sah-sah aja ya ngambil foto tanpa ijin dari akun yang secara sengaja disetting agar bisa diakses tanpa filter.
Lanjut.
Gue nangis melulu antara lain karena adegannya banyak yang mengusik. Lihatlah, Tjoeng Kiem Nam, Bokap Ahok, bertahan nggak nyogok padahal taruhannya adalah kesejahteraan keluarga. Ahok saat masuk bisnis dan politik pun melakukan hal yang sama persis. Lha kita? Ditilang sama bikin KTP aja nyogok. Eh, itu namanya ucapan terima kasih, mungkin lo ngeles kayak gitu…Haelah, ucapan terima kasih dari Hongkong !!? Ucapan terima kasih dikasihnya tuh belakangan, pas urusan udah selesai. Lha ini ngasihnya di depan, kok.
Sebagian besar penonton film ini pasti melakukan hal itu, memberi ‘ucapan terima kasih’, padahal kalo lihat Ahok pada histeris nyebut namanya. Lihatlah, betapa dangkalnya kita dalam mengagumi seseorang. Kita hanya memuji-muji karakternya tanpa meniru sedikit pun padahal meniru adalah bentuk pujian yang paling tinggi. Terus dengan bangganya kita menyebut diri sebagai Ahoker. Sotoy ‘kan. Kalo aja definisi Ahoker adalah orang yang meniru etos kerja Ahok, gue yakin jumlah Ahoker menyusut minimal 80%.
Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat menarik dari kehidupan Ahok namun tak ada di film. Bagaimanapun, hal ini bisa dimaklumi mengingat fokus cerita adalah cara Tjoeng Kiem Nam mendidik anak-anaknya. Oleh karena itulah hal terbaik dari film ini adalah dialog antara Ahok dengan Bokapnya (dan hal terbaik kedua adalah percakapan antara Ahok dengan Mus, teman dekatnya). Banyak kalimat yang menyentuh apalagi kita tahu ceritanya diangkat dari kisah nyata. Udah gitu yang jadi Ahok remaja (Eric Febrian) mainnya bagus dan beberapa baju Daniel Mananta tuh ada yang mirip banget sama baju-baju Ahok yang dipakainya beberapa kali setelah jadi gubernur. Bikin tambah kangen, yak. Gemailla Gea Geriantiana, costume designer film ini, menurut gue termasuk detil saat ngurusin baju Daniel. Entah ya kalo soal baju tokoh-tokoh lain,’kan gue nggak tau cara mereka berpakaian kayak apa.
Di salah satu adegan, Kiem Nam ngomong gini,”Pikirin orang kecil, Hok. Apa perasaan anak dan istri mereka saat ayah mereka pulang hanya bawa keringat.” Saat Kiem Nam diprotes Boeniarti, istrinya, tentang kebiasaannya menolong orang sampe berhutang segala macam, Kiem Nam menjelaskan,”Saya harus setiap hari mengajarkan ke anak-anak tentang melayani orang, saya harus jadi contoh.”
Film ini membuat kita paham mengapa Ahok pagi-pagi sudah menghadapi rakyat satu demi satu di pendopo Balai Kota. Kita juga akan ngerti mengapa waktu Ahok jadi bupati Belitung, beliau mengaspal seluruh jalanan serta memberi program kesehatan dan pendidikan gratis. Hal paling seru rasanya ketika tambangnya dijadikan cagar alam, di film ini adegan ini terlihat biasa tapi cari di Youtube deh videonya, Ahok pernah cerita tentang ini di sebuah rapat. Setelah mendengar detilnya kita akan paham kenapa Ahok kalo melihat koruptor tingkahnya berubah seolah-olah jadi pengen banget makan orang.
Kalo belum nonton, elo kudu nonton. Kalo udah, ya nonton aja lagi, gue nonton dua kali, yang nonton lima kali juga ada kok. Kalo elo punya anak ABG, jadiin ini film wajib buat anak lo. Dia gak mau nonton? Lo pegang pipinya kiri kanan trus lihat dia sambil bilang:
Tatap mata saya....Tatap mata saya...
Eh. Nggak deh. Emangnya elo Ronny Rafael. Ya kalo dia nolak, elo bilang aja, ini bagian dari cara Papa Mama ngedidik kamu dan ada permintaan Papa Mama yang harus kamu turuti. Kamu wajib nonton biar kamu ntar kayak Ahok. Bukan kayak Papa Mama.
#Eaaaaaa
Menarik untuk mendiskusikan film ini sama ABG elo (kalo lo punya, kalo nggak ya ponakan atau temen ajalah lo ajak): Bahwa Kiem Nam lebih memilih miskin daripada kaya dari hasil jual-beli hati nurani. Bahwa berbakti pada bangsa, yang selalu saja dimulai dengan cara menyejahterakan kota tempat kita tinggal, bukanlah sebuah opsi melainkan suatu kewajiban. Bahwa hidup kita yang cuma satu kali ini terlalu dangkal dan kelewat singkat kalo cuma dipake buat ngurusin diri sendiri…
…dan yang nggak kalah penting:Bahwa Indonesia terlalu megah untuk hanya diberi sedikit cinta.
Dan saat kita merasa sudah terlalu banyak yang kita kasih lalu kita merasa capek mengabdi, ada bagusnya kita mengingat kalimat ayah Ahok,"Jangan lelah mencintai Indonesia, Hok." Kita juga bisa melayangkan benak kita kepada penggalan puisi Sudjiwo Tejo:
'Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kau mulai merasa berkorban, saat itu cintamu mulai pudar.'
Logikanya sederhana: Kita letih karena merasa udah banyak berkorban. Bandingkan dengan ayah Ahok yang perusahaannya babak-belur dihajar pejabat tapi tetap mikirin Indonesia. Beliau selalu saja merasa baktinya tak pernah cukup. Padahal apa yang dilakukan Kiem Nam sudah memenuhi definisi pengorbanan versi Ibu Teresa dari Kalkuta, peraih Nobel Perdamaian tahun 1979:Pengorbanan adalah memberi sampai engkau merasa sakit. Kurang sakit apa coba tuh Kiem Nam, orang paling dihormati di kampungnya karena terkaya dari segi hati dan juga harta, melihat istrinya jualan roti untuk menyambung hidup?
Dari film yang diadaptasi dari buku Rudi Valinka ini, ada banyak hal bermutu yang bisa kita jadiin bahan obrolan. Bokap Ahok, dan tentu Ahoknya juga dong, adalah mata air yang tak akan bisa tuntas digali untuk dijadikan inspirasi buat merenung, berpikir dan berkarya.
Kehadiran mereka bukan hanya mengusik nurani orang-orang takut sistem yang selalu ingin berbuat benar namun kerap menyerah. Mereka tidak hanya membuat orang terperangah lalu sadar bahwa kalah selalu saja adalah sebuah situasi terhormat jika didahului perlawanan. Mereka tak hanya memberi contoh bahwa menjadi orang adalah takdir namun menjadi manusia adalah sebuah pilihan.
Bukan, bukan hanya itu. Mereka berdua juga menunjukkan bahwa rasa cinta dan respek adalah hal yang hanya bisa diperoleh melalui upaya, bukan pemberian cuma-cuma. Lihatlah: Ada orang miskin memberi hadiah pada Ibu Boeniarti, Nyokap Ahok, ketika beliau melahirkan dan seorang pedagang lusuh memberi daging gratis saat keluarga Ahok terpuruk. Ada juga anak buah yang tetap mengabdi, padahal perusahaan ayah Ahok ditutup dan Kiem Nam sudah meminta para pekerjanya untuk pindah ke tempat lain, karena dia yakin bahwa orang sebaik Kiem Nam tak layak ditinggal sendirian.
Mau lihat rasa cinta dan respek yang berskala internasional?
Ananda Sukarlan membuat musik tentang Ahok berjudul 'No More Moonlight Over Jakarta'. Komposisi ini pernah dimainkan di Korea dan Amerika. Sesudah Ahok bebas, musik ini akan kembali dimainkan di 5 pementasan yang tersebar di 3 negara:
24 Januari 2019: Strathmore Mansion, Washington DC
26 Januari 2019: Western University, London Ontario
15 Maret 2019: Kerrytown Concert House, Ann Arbor MI
2 Juni 2019: Museum of Fine Arts, St. Petersburg FL
11 Juni 2019: 32 Bright Clouds Recital in Havana, Cuba
Ananda tak memaksa teman-temannya untuk mementaskan karyanya. Ahok pun tak mewajibkan Ananda untuk membuat musik tentang dirinya. Lantas kenapa tanpa disuruh Ananda menulis musik tentang Ahok dan pada akhirnya musisi-musisi di luar negeri melirik komposisi tersebut ?
Jawabannya bisa kita temukan pada ungkapan yang ditulis Pramoedya Ananta Toer:
'Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya' .
Percayalah, itu jawabannya: Karena Ahok dan ayahnya paham untuk apa mereka hidup dan itu melahirkan kekuatan. Bukan hanya kekuatan bagi mereka berdua untuk setia pada kata hati dan tak tunduk di hadapan penguasa...
...namun juga kekuatan bagi orang-orang--yang tahu siapa mereka berdua--untuk bergerak, berkarya, memberi, menghormati serta mencintai.
Begitu, bukan?
www.gurupenulis.weebly.com
15 November 2018, 05.08 WIB
*Penggalan puisi Sudjiwo Tedjo
Sumber foto: Akun sosmed yang privacy settingnya 'for public.'