Buat Apa Belajar Hal-Hal yang Pas Kerja Nggak Dipake?
Cukup banyak orang nanya kayak gini,”Buat apa sih belajar nama-nama ibu kota negara? Matematika? Pecahan? Emangnya nanti dipake pas kerja? Ngapain belajar kata sifat, kata benda?”
Banyak yang mikir bahwa pelajaran di sekolah adalah tujuan belajar itu sendiri padahal sesungguhnya banyak aspek di mata pelajaran yang berfungsi sebagai alat. Tentu gak semua alat bagus. Kalau pun bagus, cara menggunakannya bisa saja salah.
Di Indonesia, murid-murid mengerjakan soal berdasarkan rumus yang sebelumnya diajarkan guru. Trus ada soal cerita.“Dian membeli 50 duren”. Ada gambar Dian, anak SD juga. Buku teks Indonesia sangat mungkin adalah satu-satunya tempat yang memungkinkan duren bisa dibeli anak kecil sampe 50 biji dan yang beli nggak ditanya macem-macem.
Contoh lain: Belajar Sitti Nurbaya. “Ngapain belajar tentang cewek yang mengalami kawin paksa? Gue nggak bakal dipaksa nikah oleh ortu gue”.
Intinya?
(1)Pelajaran nggak relevan.
Jadi, jangan heran jika banyak orang yang tanya,”Buat apa sih belajar kayak gini?” Soal-soal yang diberikan lepas dari kehidupan anak-anak, nggak kontekstual. Ambillah contoh soal tentang tambah-tambahan misalnya, lebih riil kalo soalnya ‘Ibu punya 12 piring dan adik Ibu datang ke rumah membawa 10 piring.” Ini lebih nyata dan anak bisa dikasih tahu,”Jadi tuh, kadang-kadang kalo ada acara di rumah, jumlah piring atau sendok garpu nggak sebanyak jumlah tamu yang datang. Biasanya nanti dibawain sama sodara atau teman dekat. Kamu tau nggak, di rumahmu pernah mengalami nggak?” Jadi, ada dialog di luar ngerjain soal yang terjadi antara murid dan guru. Bisa juga diakhiri dengan,”Coba tanya ke Mamamu ya nanti. Pernah ngalamin nggak? Waktu mengalami, yang bawain tambahan sendok, siapa?” Jadi, ada dialog antara anak dan orang tua di luar,”Berapa nilaimu? Ulangannya bisa nggak tadi?”
Soal di buku teks nggak bisa dihapus tapi seringkali bisa dimodifikasi. Tentu butuh mikir. Laporan UNESCO menunjukan bahwa dari 1000 orang Indonesia, hanya ada 1 yang gemar membaca. Kita nggak bisa terlalu pede dan bilang,”Yang 1 pasti guru, tuh.” Sebagian (besar?) guru nggak suka baca. Sebagian di antaranya memang terkondisi untuk nggak bisa baca mendalam karena keterbatasan bahan bacaan dan sampe rumah sudah sangat capek namun masih harus melakukan kerja tambahan serta ngurus keluarga. Sebagian sisanya nggak baca karena merasa baca postingan sosmed sudah lebih dari cukup.
Nggak pernah baca mendalam trus mau memodifikasi soal? Sangat bisa, cepat kok memodifikasinya ya tapi kalo soalnya udah agak njlimet, untuk memodifikasinya butuh mikir agak lama mengingat ‘memodifikasi’ adalah kata kerja operasional taksonomi Bloom level 3 dari 6 level yang ada.
(2) Penjelasan guru tentang tujuan pelajaran tidak tepat atau scopenya kurang luas.
Murid: Buat apa Bu belajar Simple Present Tense?
Guru :Buat bahan ulangan Kamis depan.
Ini benar tapi kurang luas. Coba dijelasin apa yang terjadi jika murid bisa bahasa Inggris.
Di tingkat universitas, bisa dijelasin bahwa menurut riset, orang yang menguasai bahasa Inggris gajinya rata-rata 40% lebih tinggi daripada yang nggak bisa. Lokasi riset:Indonesia.
Jadi, kasih tau gambaran besarnya. Bisa bahasa Inggris berarti bisa bantu lebih banyak orang karena uang yang mereka punya lebih banyak…Berarti berawasan lebih luas karena kamampuan berbahasa Inggris ini memungkinkan kita bisa dikirim ke luar negeri oleh kantor…Berarti kemungkinan tempat untuk daftar beasiswa lebih luas. Bisa daftar ke Yogya dan Bandung serta Inggris juga Australia, bukan hanya bisa daftar ke UGM atau ITB.
(3) Kasih tahu ke murid bahwa seringkali pelajaran bukanlah tujuan melainkan alat.
Pas ngajar SMP, saya nempel karakteristik 21st Century Learner Profile di dinding. Ada tujuh tapi yang saya posting di sini adalah 7 yang sudah dirangkum menjadi 4. Saya sering menunjuk ke arah poster tersebut lalu ngomong ke murid,”Kamu diskusi ya…Tra..la..la..la…Tri…lii…liii…Trus nanti presentasi kemudian…Lalalala….Lililili…Nah, lewat tugas-tugas tadi, kamu sebenarnya latihan apa?” Mereka akan menjawab, misalnya”Komunikasi dan kolaborasi” atau “Berpikir kritis, Buuu…” Gitu. Gue juga sebelum ngajar novel, ngasih tau dulu kegunaan belajar sastra dan kasih tau bahwa kebiasaan membaca dan jumlah penerbitan buku berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa.Ya untungnya gue ada sumber-sumbernya. Banyak yang nggak se'beruntung' gue jadi kesulitan untuk memberikan gambaran besar ke murid . Ada juga yang sumbernya lebih banyak tapi males jadi ngajar ya langsung ngajar aja, gitu.
Yah, gitu aja dulu deh pembahasan tentang pertanyaan yang gue jadikan judul tulisan ini.
Semoga berguna.
1 Februari 2018, 09.04