Dan Oleh Karena Itulah Tulisan Ini Ada….:
Mengenang Hari Ulang Tahun ke-73 Ibu Ade Rostina Sitompul
Ade Rostina Sitompul adalah ibunda yang diincar jadi orang tua oleh banyak orang jika saja mereka bisa memilih dari rahim mana mereka hendak mengawali hidup. Saya terpilih untuk lahir dari perempuan mulia ini dan untuk itu sungguh, saya tak akan pernah bisa berhenti bersyukur.
***
27 September 2010. Jika anda mengunjungi sekolah tempat saya mengajar saat itu, anda akan menyaksikan pemandangan unik: Banyak guru dan murid yang jalan tertatih dengan menggunakan tongkat, hampir semua berambut putih dan sebagian mencoret dagu dengan gambar jenggot sebagai penanda bahwa mereka sudah uzur. Beberapa orang mengenakan sweater rajut khas opa-oma serta membalut leher dengan syal sambil pura-pura batuk karena, tentu saja juga pura-pura, terserang TBC kronis.
Hari itu disebut The Elderly Day karena kami disarankan berpenampilan a la para sepuh oleh pengurus OSIS. Saya sangat mengagumi Ibu Ade maka saya datang dengan kostum khas Nyokap, demikian saya membahasakan beliau ketika berbincang tentangnya dengan teman-teman, saat Nyokap pergi berdemonstrasi: Wajah diolesi bedak dan lipstik, tubuh dibalut kain etnik serta diganduli gelang serta kalung dan rambut ditumpahi bedak sehingga seluruhnya berwarna putih. Saya juga membawa beberapa lembar kertas dengan tulisan bersifat ‘subversif’ dalam ukuran besar serta secarik kain bertuliskan ‘merdeka’. Beberapa pasang mata memandang saya dengan tatapan aneh dan sebagian mengerenyitkan dahi. Di titik itulah saya baru betul-betul sadar bahwa Nyokap adalah sebuah anomali.
Menjadi anak seorang Ibu Ade adalah salah satu hal yang paling mengesankan dalam hidup saya karena beliau adalah, ya itu tadi, sebuah anomali. Menjadi anak dari seorang Ibu Ade memberikan saya kesempatan untuk merasakan sensasi-sensasi kecil yang menyenangkan: Menyaksikan nenek-nenek yang sudah berulang kali kritis di rumah sakit demikian bersemangat datang ke seminar yang berkaitan dengan militerisme dan gerakan intelijen, bukan tentang “Pola Hidup Sehat: Tips Manjur Untuk Mereka yang Berusia 50 Tahun Ke Atas” misalnya. Mendengar orang tua yang telah dihafal mukanya oleh dokter saking seringnya berkunjung ke ruang praktik, bercerita tentang partisipasinya dalam demonstrasi melawan Front Pembela Indonesia, gerombolan yang pergerakannya tak kenal peradaban… Melihat beliau demikian berani menampung buronan politik namun amat takut saya ditangkap aparat setelah tahu bahwa saya menonton (betul…anda tidak salah baca, hanya ‘menonton’ dan bukan ‘ikut’) demontrasi saat masih kuliah… Melihat beliau demikian berani menentang Soeharto namun ketika saya menjadi sukarelawan KontraS, Nyokap menelpon Munir dan memintanya agar ia menyuruh saya—yang saat itu sudah lulus kuliah—pulang ke rumah paling lambat jam 9 malam…Serangkaian kontradiksi yang kalau dipikir-pikir agak lama bisa bikin kita nyengir-nyengir sendiri.
***
Saya mengenang Nyokap sebagai manusia multi dimensi dengan kombinasi sifat yang memikat. Bagi Nyokap dunia secara garis besar bisa dibelah dua, yang satu berisi manusia sejenis Hitler, Ruhut Sitompul atau Soeharto yang derajatnya mirip dengan sosok di film-film horror: Mahkluk bengis bergigi ekstra panjang di ujung kiri-kanan mulut yang kakinya tidak menapak tanah. Belahan dunia lainnya sesak dengan manusia yang bagi beliau sangat baik seperti Prof.Akmal Taher (Direktur Utama RSCM merangkap dokter kesayangan Nyokap), Romo Sudrijanta (pastor favorit Nyokap) atau beberapa sahabatnya yang kerap diceritakan kepada saya: Bang Fay (Hilmar Farid), Bang Ucok (Rusdi Marpaung), Mbak Rini (dulu di ELSAM), Mbak Putri (Agung Putri), Mbak Ayu (Ayu Ratih), Sidney (Sidney Jones), Pak Gerry dan Bu Helene van Klinken serta entah siapa lagi. Mendengar Nyokap berkisah tentang manusia sama rasanya dengan melihat trend mode tahun 1960an: Hanya ada hitam dan putih. Sifatnya yang khas ini menjadi bahan guyonan sekelompok orang ketika mereka mengenang Nyokap beberapa saat setelah beliau tiada.
Menyoroti Nyokap sebagai aktivis, yang kita lihat adalah sosok yang begitu gagah ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru namun sebagai seorang nenek beliau adalah mahkluk lemah yang langsung tak berdaya saat dirayu Merryll, anak saya satu-satunya alias cucu beliau yang terkecil. Sebagai pejuang, keberanian dan ketenangannya mungkin akan jadi legenda di dunia LSM dan sebagai seorang Ibu serta Nenek, ketakutan Nyokap yang kadang irasional akan menjadi kenangan tersendiri di hidup saya. Di bidang HAM beliau memang adalah aktivis yang jarang gentar namun di dunia parenting beliau adalah ibu yang protektifnya kadang-kadang kebangetan. Saya tidak diajari memasak karena Nyokap khawatir saya ketumpahan air panas, Nyokap juga sangat takut saya berganti kepercayaan sehingga saya dipaksa berulang kali untuk pindah dari UGM ke UI. Beliau juga senewen, takut saya jadi pengangguran sehingga beberapa bulan sebelum lulus kuliah saya disuruh ikut casting produk iklan dengan alasan biar terkenal sehingga mudah dapat kerja. Ide ini sangat kreatif, menunjukkan betapa cerdiknya Nyokap, namun lumayan error mengingat muka saya ngga layak jual.
Peristiwa paling mengesankan terjadi saat saya masih kuliah di Yogyakarta. Ketika sedang libur di Jakarta, saya pergi dan lupa memberi tahu Nyokap bahwa saya akan pulang malam. Tak lama setelah saya tiba di rumah, beberapa teman yang namanya ada di buku telpon (waktu itu belum ada handphone) bercerita bahwa Nyokap menelpon, mencari saya. Beberapa hari kemudian, saat saya tiba kembali di Yogya, teman-teman di tempat kost langsung tertawa melihat muka saya. Rupanya saat saya ‘hilang’ di Jakarta, Nyokap juga menelpon rumah kost di Yogya dan bertanya apakah saya ada di situ, ooaalahhh….
Selain sebagai ibu yang protektifnya ngga keru-keruan, Nyokap juga saya kenang sebagai koki handal yang gemar mempercantik diri. Saat meninggal, Nyokap masih punya sabun lulur dua wadah penuh. Nyokap hafal di toko mana saja tas dan perhiasan dijual murah. Beliau juga tahu bagaimana cara memperoleh perhiasan maksimalis dengan harga minimalis. Saat masih sehat Nyokap kerap berbelanja kancing dan jepitan serta lem berjenis khusus. Jepit itu ditempel di balik kancing dan, tadaaaa….Jadilah giwang! Saat meninggal di kamarnya masih ada beberapa utas tali dan manik-manik yang belum selesai beliau garap untuk dijadikan kalung. Nyokap adalah juga orang yang menganjurkan saya untuk rajin mengolesi kepala anak saya dengan minyak cem-ceman agar rambutnya tumbuh hitam dan lebat.
Ada cerita tak terlupakan berkaitan dengan kepiawaian Nyokap dalam berdandan. Suatu hari Kak Ita (Ita F.Nadia) menelpon, pas saya yang angkat. Sesudah menutup telpon, saya langsung berteriak,”Komnas HAM diserbu! Mama disuruh ke sana!” Bukan sulap bukan sihir, dalam waktu kurang dari lima menit Nyokap sudah keluar kamar dengan perpaduan busana yang demikian sempurna: Baju,bando, gelang, giwang dan kalung, semuanya berwarna senada. Rambutnya pun sudah tertata, pokoknya rapi jali! Sampai tulisan ini dibuat saya masih belum tahu apa tipsnya hingga kita bisa tampil cantik dengan dandanan komplet dalam waktu di bawah lima menit.
Hal lain yang amat mengagumkan dari diri Nyokap adalah hatinya yang limpah dengan rasa welas asih. Bagi Nyokap orang asing hanyalah anggota keluarga yang belum beliau kenal. Rumah kami terbuka untuk siapa saja. Pak Gerry dan Bu Helene van Klinken dari Australia hampir selalu tinggal di rumah saat berkunjung ke Jakarta. Kristi, istri Xanana Gusmao, saat masih jadi jurnalis juga pernah datang beberapa kali. Adapun Bang Gil,Virgilio Da Silva Guterres, dari Leste saking lamanya tinggal di rumah saya pasti lebih hafal posisi kenop lampu di rumah saya daripada di rumahnya sendiri.
Tak terhitung berapa kali Nyokap taruhan nyawa karena berani menampung buronan politik. Salah satu petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) juga pernah menginap beberapa bulan di rumah dan Nyokap sama sekali tidak tahu bahwa orang itu adalah salah satu pimpinan GAM. Nyokap baru tahu setelah orang itu muncul di televisi. Pernah juga ada petugas intel nyamar jadi anak kost. Keterbukaannya dalam menerima orang memang membahayakan namun beliau menunjukkan bahwa hidup memang pasti sia-sia jika isinya hanya rasa takut belaka. Hidup pastilah hanya sebuah proses buang waktu belaka jika hanya dipenuhi dengan pikiran egosentris. Keyakinan macam itu membuat Nyokap gampang-gampang aja menampung para buronan politik dari Sabang sampai Merauke di tempat tinggal kami yang juga dikaryakan sebagai rumah kost untuk menambah pemasukan. Sebagai induk semang beliau juga sangat baik. Nyokap kerap membebaskan penghuni kost dari uang bayaran,”Bulan ini dia ga usah bayar karena dia harus bayar uang sekolah adiknya”, demikian Nyokap pernah bercerita. Di lain waktu beliau bertutur bahwa penghuni lain juga digratiskan beberapa bulan karena orang tuanya berhenti mengirim uang.
Salah satu kisah tentang hati emasnya terjadi di suatu Desember entah tahun kapan. Nyokap saat itu memberi saya uang untuk membeli pohon Natal. Satu jam sebelum saya berbelanja, Nyokap bertanya apa pendapat saya jika uang itu dialihkan kepada seorang tamu yang mendadak minta bantuan untuk anaknya yang hendak dioperasi. Karena Natal adalah masa untuk memberi, bukan membeli, maka uang pun berpindah tangan. Natal kali itu akhirnya kami rayakan dengan ornamen-ornamen yang digantung pada ranting-ranting yang diambil dari pinggir rel kereta api di depan rumah ditambah dengan pohon dari taman milik saudara.
Natal sudah lama jadi merk dagang dan kedatangannya setiap tahun selalu diincar para penjual untuk dijadikan obyek komoditi yang paling potensial untuk laris. Tentu saja Nyokap tak bisa terbawa arus komersialisme macam begini. Beliau paham betul bahwa Natal bukan soal cemara mewah dan boneka salju yang penuh lampu. Beliau tahu bahwa iman bukanlah tentang ritual atau perayaan hari besar keagamaan. Nyokap agak sering berbincang-bincang mengenai iman dan agama dengan saya namun jarang sekali saya lihat Nyokap melakukan hal yang sama dengan orang-orang lain. Saya yakin hal ini terjadi karena Nyokap memaknai imannya dengan khusuk dan tanpa banyak bicara.
Saya amati, beda dengan sebagian teman dan saudara Nyokap yang juga Kristen, di hidup Nyokap tak ada pemisahan antara wilayah sekuler dan spiritual. Datang ke gereja bagi beliau tak membuatnya lebih rohaniah daripada mampir ke pinggir kali untuk memberi makan kaum papa. Hadir ke seminar politik tak membuatnya menjadi sosok yang lebih berdosa daripada mereka yang datang ke persekutuan doa. Bagi Nyokap iman seyogyanya diekspresikan dalam bentuk berkarya untuk Tuhan melalui pengabdian pada sesama, bukan melalui aktivitas yang kental aroma agamawinya atau omongan bersifat religius yang penuh dengan jargon teologi. Saya tak pernah melihat Nyokap bicara tentang Yesus dan ajaran-ajaranNya kepada orang lain, selain kepada saya dan Merryll, namun entah sudah berapa ratus kali saya melihat Nyokap melakukan ajaran-ajaran Yesus. Udah sampe bosen ‘kali.
Dua hari sebelum meninggal, Nyokap secara khusus mengundang seorang pendeta untuk mendoakan persiapan operasi. Pada kesempatan itu Nyokap bertanya tentang topik yang kerap jadi bahan perdebatan di beberapa aliran gereja: Apakah perpuluhan (kita diminta untuk membawa sepersepuluh dari penghasilan kita ke ‘rumah Tuhan’, begitulah bunyi salah satu ayat Alkitab) memang harus diberi ke ‘rumah Tuhan’ dalam arti gereja? Sebagian gereja mengartikan ‘rumah Tuhan’ sebagai gereja sedangkan Nyokap memaknai istilah ‘rumah Tuhan’ dengan amat luas: Gubuk berisikan mereka yang miskin papa, bangsal rumah sakit yang menampung pasien tak mampu, rumah hampir ambruk yang menaungi kaum terpinggirkan, toh pasti itu semua rumah Tuhan juga. Kegelisahan Nyokap tentang hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Saya jelaskan bahwa persepuluhan tidak harus diberikan ke gereja tapi mungkin karena saya tak punya latar belakang teologi, pendapat saya dianggap tidak meyakinkan. Ketika akhirnya pendeta tersebut, yang Nyokap sebut ‘sangat pintar otaknya dan jago ngomong’, mengatakan hal yang sama, Nyokap terlihat sangat lega dan puas.
***
Saya amat bersyukur punya Ibu yang tidak hanya menunjukkan apa esensi iman melainkan juga apa substansi hidup. Menurut cerita kakak-kakak saya, keluarga kami pernah kaya. Tentu ngga gampang dari posisi di atas seperti itu lantas meluncur ke bawah. Nyokap menjalani itu semua secara wajar. Beliau mengeluh berkali-kali, hmmm…Jangan salah kira ya, saya ngga akan nulis,” Beliau adalah wanita yang sangat tegar jadi beliau tak pernah mengeluh sekali pun”… Kalimat utopis kayak gini cuma ada di buku dongeng. Nyokap mengeluh di tengah berbagai kesulitan namun hidupnya jalan terus.Tepatnya: Berjalan maju. Bukan jalan di tempat. Apalagi mundur.
Waktu saya SMP, Nyokap pernah menjual perhiasan antara lain untuk membelikan saya rapido (bolpoin khusus untuk menggambar) yang akan digunakan saat pelajaran kesenian. Di tahun yang sama saya memberinya hadiah ulang tahun berupa uang yang beliau tanggapi dengan kaget, seingat saya bercampur sedikit rasa rikuh, namun ya itu duit tetap diterima juga. Saya sangat yakin waktu itu Nyokap memang pas bokek berat jadi duit dari anak SMP ya diterima juga. Beliau juga pernah membuka kantin di Universitas Trisakti di Jakarta-Pusat, tempat kuliah kakak saya yang nomor tiga yaitu Mbak Ezki. Nyokap juga sempat mempekerjakan beberapa orang untuk jualan air keliling kampung ketika kami mengontrak rumah di wilayah Kebon Nanas, Jakarta Timur. Beliau juga dulu sering menerima pesanan katering termasuk orderan roti tanpa bahan pengawet. Saya, dan tentu saja kakak-kakak saya, adalah saksi hidup yang melihat langsung bahwa beliau sangat jarang kalah dalam peperangan yang tak pernah henti melawan berbagai masalah dalam hidup. Banyak keinginan kami, anak-anaknya, yang tak bisa diwujudkan namun semua kebutuhan tercukupi dengan sempurna.
Dengan pengeluaran besar di tangan kiri dan uang yang jumlahnya tak pernah benar-benar banyak di tangan kanan, Nyokap melakukan akrobatik finansial yang amat menakjubkan. Tentu ini butuh ketrampilan khusus mengingat keluarga kami ‘pada zaman dahulu kala’ pernah bergelimang materi dan Nyokap bahkan sempat sering bolak-balik Indonesia-Singapura-Indonesia untuk berbisnis. Kelihaian Nyokap dalam berakrobat layak mendapat tepuk tangan yang riuh karena tidak pernah sekalipun saya kelaparan. Pun ketika saya tergila-gila Michael Jackson sampai 9 tahun lamanya, saya tak pernah dilarang membeli beragam merchandisetermasuk sepatu yang diiklankan Michael Jackson yaitu LA Gear. Sepatu itu dibeli Nyokap di Amerika saat beliau kabur karena dikejar aparat sesaat setelah anak-anak Leste yang menginap di rumah melompati pagar kedutaan besar Amerika Serikat. Nyokap tak pernah membuat saya hidup berlimpah materi namun kerja kerasnya berhasil menjauhkan saya dari kemiskinan. Saya bisa menjalani hidup layaknya anak remaja kota besar: Ikut kursus Bahasa Inggris, makan dengan teman-teman di restoran–walau bukan resto mahal—dan pergi ke bioskop walau ngga bisa sering-sering. Saat kuliah saya bahkan dianggap ‘orang kaya’ karena Nyokap tiap dua bulan sekali, dengan dibantu oleh kakak-kakak saya, mengirim uang sedikit berlebih dengan pesan,”…siapa tahu kamu mau nraktir temen”.
Mental Nyokap yang setebal beton saat menghidupi keluarga telah menyelamatkan hidup saya dan mental yang sama itu jugalah yang menolong Nyokap untuk tetap tegar saat beliau terpuruk. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, sebagian hartanya habis dipakai untuk berobat dan sebagian lainnya lenyap dikuras serigala berbulu domba. Sabtu pagi adalah jadwal beliau menelpon saya dan mengeluh tentang uangnya yang tak bisa kembali, bercerita secara detil tentang tukang tilep yang tak mau mengembalikan hasil jarahan padahal obat yang harus dikonsumsi Nyokap jumlahnya kian banyak dan harganya semakin tinggi. Saya kerap menyarankan supaya Nyokap bersikap keras. Saya katakan bahwa Tuhan bahkan pernah ngamuk sampe nebalikin meja segala macem,”Bersikap keras ngga apa-apa, yang ngga boleh itu ‘kan bersikap kasar”, demikian saya sering katakan. Mudah diduga, beliau selalu menolak saran tersebut mentah-mentah. Hal ini membuat kami kerap berantem karena Nyokap terlalu baik sedangkan too much good is not good, begitu bukan ? Kalimat pamungkasnya yang khas untuk menyudahi omelan saya adalah,”Udahlah….Tuhan juga ngerti”.
Di masa-masa sulit itulah saya berulang kali menyaksikan pemandangan langka: Di hadapan saya berbaringlah seorang ibu tua yang fisik dan mentalnya kian rapuh karena terus-menerus digerus masalah. Bagaimanapun di tengah-tengah himpitan problem kesehatan dan finansial yang menjerat leher, perempuan sepuh ini masih terus konsisten memikirkan kebutuhan orang lain dan tetap perduli dengan topik global semacam anti milterisme, hapus hukuman mati serta nasib TKI. Lebih dari sekedar perduli, beliau tetap melakukan sesuatu kendati skalanya termasuk sangat kecil dibandingkan apa yang beliau lakukan ketika masih sehat. Saat dirawat tahun 2010 di RSCM, Nyokap berusaha mengumpulkan dana untuk pasien di sebelahnya yang mulai kehabisan uang. Saat pasien itu meninggal, Nyokap menangis tersedu-sedu karena merasa dirinya adalah manusia gagal,”…kok bantu kayak gitu aja ngga bisa. Padahal dulu Mama bisa tolong si A, si B, si C, si D, bla…bla…bla…”, demikian saat itu beliau mengeluh sambil menyebutkan sederet nama yang pernah ditolong.
Keluar dari ruang perawatan, kendati tenaganya kian habis tetap saja tak ada satu hal pun yang bisa memenjara semangatnya untuk menolong. Secara rutin Nyokap mengumpulkan wadah plastik air mineral seusai rapat untuk disumbangkan kepada seorang pemulung agar ia bisa tetap mencari nafkah. Jika diberi temannya uang, selalu saja ada yang beliau sisihkan untuk mereka yang dianggapnya lebih susah dibandingkan dirinya. Dalam kondisi kaki patah, sekitar satu bulan sebelum meninggal Nyokap masih bertanya di mana beliau bisa membeli komputer murah untuk pendidikan informal yang akan diselenggarakan di halaman rumah. Walau segala sesuatu yang ada pada dirinya sudah meredup, kecuali optimismenya untuk membahagiakan sesama yang justru kian gila, beliau tetap menyusun rencana hidup jangka menengah dan bahkan jangka panjang. Nyokap juga beberapa kali mengutarakan keinginannya untuk,”…tinggal di rumah yang ada kebun dan kolam ikan kalo nanti Mama udah tua”. Menarik melihat nenek-nenek umur 70an yang sering masuk rumah sakit berbicara seperti itu. Beliau mengelola hidup seolah-olah kematian adalah dongeng pengantar tidur yang tak akan pernah benar-benar datang untuk menjemputnya di dunia nyata.
Tubuhnya yang ringkih tak bisa memberangus semangat hidupnya yang meledak-ledak. Fisiknya yang terus melemah mengirimkan pesan yang bergaung keras di telinganya sendiri: If you rest, you rust. Hal ini membuat beliau tetap bekerja dengan antusias hingga akhir hidupnya. Di ranjang rumah sakit, ketika panggulnya retak dan untuk membalikkan tubuh saja butuh bantuan perawat, Nyokap masih kerap menghubungi sahabat-sahabatnya untuk menanyakan perkembangan isu-isu pelanggaran HAM. Tahun 2009 saat sakit parah di Timor Leste dan ditanya tentang kesiapan untuk mati, kepada Mbak Ezki beliau berkata,”Meninggal? Siap sih…. Masuk surganya sih siap tapi Leste gimana nih ya???”
Cintanya terhadap kemanusiaan melampaui nalar. Beliau terus-menerus gelisah, tak kunjung berhenti memikirkan dan membantu sesama walau semakin lama hidupnya bertambah berat. Nyokap mulai keluar-masuk rumah sakit tiap 3-4 bulan sekali sejak 2008 atau 2009. Bibirnya mulai sering mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak pernah dikeluarkan, ”Tuhan, kok begini ya? Dari dulu kok begini terus?” Bagaimanapun, kebingungan tersebut tetap tak mampu menghentikan beliau untuk berpikir dan berkarya hingga beliau koma di penghujung hidupnya. Beliau tak sadarkan diri selama satu setengah hari. Puluhan saudara dan sahabat ketika itu masuk ke kamarnya satu per satu untuk membisikkan pesan-pesan terakhir. Kemudian dengan ditemani oleh hampir semua anak, menantu serta cucu yang mengelilingi tempat tidurnya dan diiringi oleh seratusan orang di sekitar kamar perawatan, tanggal 8 Juli 2011 jam 23.32 WIB beliau pergi ke tempat di mana tak ada air mata dan rasa sakit. Tempat di mana seluruh pertanyaan yang kerap diajukannya semasa hidup bisa tuntas terjawab. Tempat di mana tak ada satu orang pun bisa menusuk hatinya dan tak satu penyakit pun bisa membuatnya merintih.
Tiga minggu terakhir kehidupannya dihabiskan di bangsal rumah sakit dengan AC rusak yang berisi enam tempat tidur di satu ruangan. Tiga minggu penuh beliau diperlakukan tidak layak oleh para perawat yang kayaknya sih lulusan STM atau Tata Boga. Operasi terus ditunda karena keluarga kekurangan uang. Kondisi tiga minggu yang sangat mengenaskan ini ditutup dengan sangat manis oleh sebuah kemegahan yang mengharukan di hari terakhirnya.
Kepergian dari rumah duka ke pemakaman dihantar oleh begitu banyak pelayat. Mobil dari depan RS Carolus hingga belokan Jalan Salemba menuju Pramuka berjejer hingga tiga lapis. Karangan bunga kalau dikumpulkan bisa dipakai buat bikin toko bunga. Dari mulai bunga sangat indah kiriman Xanana Gusmao yang pasti dipesan dengan tulus hingga bunga dari Hendroprijono serta SBY yang pastinya sih dikirim cuma buat pencitraan. Pelayat datang dari semua kalangan. “Some people have lots of money. Some others are rich”, kata sebuah pepatah. Di hari terakhir hidupnya, sama dengan di hari-hari sebelumnya, Nyokap membuktikan bahwa dirinya masuk dalam kategori kedua: Manusia kaya.
***
Saya tahu bahwa hampir semua orang berkata bahwa ibu mereka adalah orang tua terbaik di muka bumi. Izinkanlah saya untuk sedikit bersikap pongah di halaman ini. Saya sangat yakin bahwa Ibu Ade Rostina Sitompul adalah salah satu wanita termulia yang pernah ada. Saya begitu bangga bisa berasal dari dirinya. Saya teramat bangga bisa menyebutnya ibu. Saya demikian bangga bisa disebut anaknya….
…dan oleh karena itulah tulisan ini ada.
8 Agustus 2011
***
27 September 2010. Jika anda mengunjungi sekolah tempat saya mengajar saat itu, anda akan menyaksikan pemandangan unik: Banyak guru dan murid yang jalan tertatih dengan menggunakan tongkat, hampir semua berambut putih dan sebagian mencoret dagu dengan gambar jenggot sebagai penanda bahwa mereka sudah uzur. Beberapa orang mengenakan sweater rajut khas opa-oma serta membalut leher dengan syal sambil pura-pura batuk karena, tentu saja juga pura-pura, terserang TBC kronis.
Hari itu disebut The Elderly Day karena kami disarankan berpenampilan a la para sepuh oleh pengurus OSIS. Saya sangat mengagumi Ibu Ade maka saya datang dengan kostum khas Nyokap, demikian saya membahasakan beliau ketika berbincang tentangnya dengan teman-teman, saat Nyokap pergi berdemonstrasi: Wajah diolesi bedak dan lipstik, tubuh dibalut kain etnik serta diganduli gelang serta kalung dan rambut ditumpahi bedak sehingga seluruhnya berwarna putih. Saya juga membawa beberapa lembar kertas dengan tulisan bersifat ‘subversif’ dalam ukuran besar serta secarik kain bertuliskan ‘merdeka’. Beberapa pasang mata memandang saya dengan tatapan aneh dan sebagian mengerenyitkan dahi. Di titik itulah saya baru betul-betul sadar bahwa Nyokap adalah sebuah anomali.
Menjadi anak seorang Ibu Ade adalah salah satu hal yang paling mengesankan dalam hidup saya karena beliau adalah, ya itu tadi, sebuah anomali. Menjadi anak dari seorang Ibu Ade memberikan saya kesempatan untuk merasakan sensasi-sensasi kecil yang menyenangkan: Menyaksikan nenek-nenek yang sudah berulang kali kritis di rumah sakit demikian bersemangat datang ke seminar yang berkaitan dengan militerisme dan gerakan intelijen, bukan tentang “Pola Hidup Sehat: Tips Manjur Untuk Mereka yang Berusia 50 Tahun Ke Atas” misalnya. Mendengar orang tua yang telah dihafal mukanya oleh dokter saking seringnya berkunjung ke ruang praktik, bercerita tentang partisipasinya dalam demonstrasi melawan Front Pembela Indonesia, gerombolan yang pergerakannya tak kenal peradaban… Melihat beliau demikian berani menampung buronan politik namun amat takut saya ditangkap aparat setelah tahu bahwa saya menonton (betul…anda tidak salah baca, hanya ‘menonton’ dan bukan ‘ikut’) demontrasi saat masih kuliah… Melihat beliau demikian berani menentang Soeharto namun ketika saya menjadi sukarelawan KontraS, Nyokap menelpon Munir dan memintanya agar ia menyuruh saya—yang saat itu sudah lulus kuliah—pulang ke rumah paling lambat jam 9 malam…Serangkaian kontradiksi yang kalau dipikir-pikir agak lama bisa bikin kita nyengir-nyengir sendiri.
***
Saya mengenang Nyokap sebagai manusia multi dimensi dengan kombinasi sifat yang memikat. Bagi Nyokap dunia secara garis besar bisa dibelah dua, yang satu berisi manusia sejenis Hitler, Ruhut Sitompul atau Soeharto yang derajatnya mirip dengan sosok di film-film horror: Mahkluk bengis bergigi ekstra panjang di ujung kiri-kanan mulut yang kakinya tidak menapak tanah. Belahan dunia lainnya sesak dengan manusia yang bagi beliau sangat baik seperti Prof.Akmal Taher (Direktur Utama RSCM merangkap dokter kesayangan Nyokap), Romo Sudrijanta (pastor favorit Nyokap) atau beberapa sahabatnya yang kerap diceritakan kepada saya: Bang Fay (Hilmar Farid), Bang Ucok (Rusdi Marpaung), Mbak Rini (dulu di ELSAM), Mbak Putri (Agung Putri), Mbak Ayu (Ayu Ratih), Sidney (Sidney Jones), Pak Gerry dan Bu Helene van Klinken serta entah siapa lagi. Mendengar Nyokap berkisah tentang manusia sama rasanya dengan melihat trend mode tahun 1960an: Hanya ada hitam dan putih. Sifatnya yang khas ini menjadi bahan guyonan sekelompok orang ketika mereka mengenang Nyokap beberapa saat setelah beliau tiada.
Menyoroti Nyokap sebagai aktivis, yang kita lihat adalah sosok yang begitu gagah ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru namun sebagai seorang nenek beliau adalah mahkluk lemah yang langsung tak berdaya saat dirayu Merryll, anak saya satu-satunya alias cucu beliau yang terkecil. Sebagai pejuang, keberanian dan ketenangannya mungkin akan jadi legenda di dunia LSM dan sebagai seorang Ibu serta Nenek, ketakutan Nyokap yang kadang irasional akan menjadi kenangan tersendiri di hidup saya. Di bidang HAM beliau memang adalah aktivis yang jarang gentar namun di dunia parenting beliau adalah ibu yang protektifnya kadang-kadang kebangetan. Saya tidak diajari memasak karena Nyokap khawatir saya ketumpahan air panas, Nyokap juga sangat takut saya berganti kepercayaan sehingga saya dipaksa berulang kali untuk pindah dari UGM ke UI. Beliau juga senewen, takut saya jadi pengangguran sehingga beberapa bulan sebelum lulus kuliah saya disuruh ikut casting produk iklan dengan alasan biar terkenal sehingga mudah dapat kerja. Ide ini sangat kreatif, menunjukkan betapa cerdiknya Nyokap, namun lumayan error mengingat muka saya ngga layak jual.
Peristiwa paling mengesankan terjadi saat saya masih kuliah di Yogyakarta. Ketika sedang libur di Jakarta, saya pergi dan lupa memberi tahu Nyokap bahwa saya akan pulang malam. Tak lama setelah saya tiba di rumah, beberapa teman yang namanya ada di buku telpon (waktu itu belum ada handphone) bercerita bahwa Nyokap menelpon, mencari saya. Beberapa hari kemudian, saat saya tiba kembali di Yogya, teman-teman di tempat kost langsung tertawa melihat muka saya. Rupanya saat saya ‘hilang’ di Jakarta, Nyokap juga menelpon rumah kost di Yogya dan bertanya apakah saya ada di situ, ooaalahhh….
Selain sebagai ibu yang protektifnya ngga keru-keruan, Nyokap juga saya kenang sebagai koki handal yang gemar mempercantik diri. Saat meninggal, Nyokap masih punya sabun lulur dua wadah penuh. Nyokap hafal di toko mana saja tas dan perhiasan dijual murah. Beliau juga tahu bagaimana cara memperoleh perhiasan maksimalis dengan harga minimalis. Saat masih sehat Nyokap kerap berbelanja kancing dan jepitan serta lem berjenis khusus. Jepit itu ditempel di balik kancing dan, tadaaaa….Jadilah giwang! Saat meninggal di kamarnya masih ada beberapa utas tali dan manik-manik yang belum selesai beliau garap untuk dijadikan kalung. Nyokap adalah juga orang yang menganjurkan saya untuk rajin mengolesi kepala anak saya dengan minyak cem-ceman agar rambutnya tumbuh hitam dan lebat.
Ada cerita tak terlupakan berkaitan dengan kepiawaian Nyokap dalam berdandan. Suatu hari Kak Ita (Ita F.Nadia) menelpon, pas saya yang angkat. Sesudah menutup telpon, saya langsung berteriak,”Komnas HAM diserbu! Mama disuruh ke sana!” Bukan sulap bukan sihir, dalam waktu kurang dari lima menit Nyokap sudah keluar kamar dengan perpaduan busana yang demikian sempurna: Baju,bando, gelang, giwang dan kalung, semuanya berwarna senada. Rambutnya pun sudah tertata, pokoknya rapi jali! Sampai tulisan ini dibuat saya masih belum tahu apa tipsnya hingga kita bisa tampil cantik dengan dandanan komplet dalam waktu di bawah lima menit.
Hal lain yang amat mengagumkan dari diri Nyokap adalah hatinya yang limpah dengan rasa welas asih. Bagi Nyokap orang asing hanyalah anggota keluarga yang belum beliau kenal. Rumah kami terbuka untuk siapa saja. Pak Gerry dan Bu Helene van Klinken dari Australia hampir selalu tinggal di rumah saat berkunjung ke Jakarta. Kristi, istri Xanana Gusmao, saat masih jadi jurnalis juga pernah datang beberapa kali. Adapun Bang Gil,Virgilio Da Silva Guterres, dari Leste saking lamanya tinggal di rumah saya pasti lebih hafal posisi kenop lampu di rumah saya daripada di rumahnya sendiri.
Tak terhitung berapa kali Nyokap taruhan nyawa karena berani menampung buronan politik. Salah satu petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) juga pernah menginap beberapa bulan di rumah dan Nyokap sama sekali tidak tahu bahwa orang itu adalah salah satu pimpinan GAM. Nyokap baru tahu setelah orang itu muncul di televisi. Pernah juga ada petugas intel nyamar jadi anak kost. Keterbukaannya dalam menerima orang memang membahayakan namun beliau menunjukkan bahwa hidup memang pasti sia-sia jika isinya hanya rasa takut belaka. Hidup pastilah hanya sebuah proses buang waktu belaka jika hanya dipenuhi dengan pikiran egosentris. Keyakinan macam itu membuat Nyokap gampang-gampang aja menampung para buronan politik dari Sabang sampai Merauke di tempat tinggal kami yang juga dikaryakan sebagai rumah kost untuk menambah pemasukan. Sebagai induk semang beliau juga sangat baik. Nyokap kerap membebaskan penghuni kost dari uang bayaran,”Bulan ini dia ga usah bayar karena dia harus bayar uang sekolah adiknya”, demikian Nyokap pernah bercerita. Di lain waktu beliau bertutur bahwa penghuni lain juga digratiskan beberapa bulan karena orang tuanya berhenti mengirim uang.
Salah satu kisah tentang hati emasnya terjadi di suatu Desember entah tahun kapan. Nyokap saat itu memberi saya uang untuk membeli pohon Natal. Satu jam sebelum saya berbelanja, Nyokap bertanya apa pendapat saya jika uang itu dialihkan kepada seorang tamu yang mendadak minta bantuan untuk anaknya yang hendak dioperasi. Karena Natal adalah masa untuk memberi, bukan membeli, maka uang pun berpindah tangan. Natal kali itu akhirnya kami rayakan dengan ornamen-ornamen yang digantung pada ranting-ranting yang diambil dari pinggir rel kereta api di depan rumah ditambah dengan pohon dari taman milik saudara.
Natal sudah lama jadi merk dagang dan kedatangannya setiap tahun selalu diincar para penjual untuk dijadikan obyek komoditi yang paling potensial untuk laris. Tentu saja Nyokap tak bisa terbawa arus komersialisme macam begini. Beliau paham betul bahwa Natal bukan soal cemara mewah dan boneka salju yang penuh lampu. Beliau tahu bahwa iman bukanlah tentang ritual atau perayaan hari besar keagamaan. Nyokap agak sering berbincang-bincang mengenai iman dan agama dengan saya namun jarang sekali saya lihat Nyokap melakukan hal yang sama dengan orang-orang lain. Saya yakin hal ini terjadi karena Nyokap memaknai imannya dengan khusuk dan tanpa banyak bicara.
Saya amati, beda dengan sebagian teman dan saudara Nyokap yang juga Kristen, di hidup Nyokap tak ada pemisahan antara wilayah sekuler dan spiritual. Datang ke gereja bagi beliau tak membuatnya lebih rohaniah daripada mampir ke pinggir kali untuk memberi makan kaum papa. Hadir ke seminar politik tak membuatnya menjadi sosok yang lebih berdosa daripada mereka yang datang ke persekutuan doa. Bagi Nyokap iman seyogyanya diekspresikan dalam bentuk berkarya untuk Tuhan melalui pengabdian pada sesama, bukan melalui aktivitas yang kental aroma agamawinya atau omongan bersifat religius yang penuh dengan jargon teologi. Saya tak pernah melihat Nyokap bicara tentang Yesus dan ajaran-ajaranNya kepada orang lain, selain kepada saya dan Merryll, namun entah sudah berapa ratus kali saya melihat Nyokap melakukan ajaran-ajaran Yesus. Udah sampe bosen ‘kali.
Dua hari sebelum meninggal, Nyokap secara khusus mengundang seorang pendeta untuk mendoakan persiapan operasi. Pada kesempatan itu Nyokap bertanya tentang topik yang kerap jadi bahan perdebatan di beberapa aliran gereja: Apakah perpuluhan (kita diminta untuk membawa sepersepuluh dari penghasilan kita ke ‘rumah Tuhan’, begitulah bunyi salah satu ayat Alkitab) memang harus diberi ke ‘rumah Tuhan’ dalam arti gereja? Sebagian gereja mengartikan ‘rumah Tuhan’ sebagai gereja sedangkan Nyokap memaknai istilah ‘rumah Tuhan’ dengan amat luas: Gubuk berisikan mereka yang miskin papa, bangsal rumah sakit yang menampung pasien tak mampu, rumah hampir ambruk yang menaungi kaum terpinggirkan, toh pasti itu semua rumah Tuhan juga. Kegelisahan Nyokap tentang hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Saya jelaskan bahwa persepuluhan tidak harus diberikan ke gereja tapi mungkin karena saya tak punya latar belakang teologi, pendapat saya dianggap tidak meyakinkan. Ketika akhirnya pendeta tersebut, yang Nyokap sebut ‘sangat pintar otaknya dan jago ngomong’, mengatakan hal yang sama, Nyokap terlihat sangat lega dan puas.
***
Saya amat bersyukur punya Ibu yang tidak hanya menunjukkan apa esensi iman melainkan juga apa substansi hidup. Menurut cerita kakak-kakak saya, keluarga kami pernah kaya. Tentu ngga gampang dari posisi di atas seperti itu lantas meluncur ke bawah. Nyokap menjalani itu semua secara wajar. Beliau mengeluh berkali-kali, hmmm…Jangan salah kira ya, saya ngga akan nulis,” Beliau adalah wanita yang sangat tegar jadi beliau tak pernah mengeluh sekali pun”… Kalimat utopis kayak gini cuma ada di buku dongeng. Nyokap mengeluh di tengah berbagai kesulitan namun hidupnya jalan terus.Tepatnya: Berjalan maju. Bukan jalan di tempat. Apalagi mundur.
Waktu saya SMP, Nyokap pernah menjual perhiasan antara lain untuk membelikan saya rapido (bolpoin khusus untuk menggambar) yang akan digunakan saat pelajaran kesenian. Di tahun yang sama saya memberinya hadiah ulang tahun berupa uang yang beliau tanggapi dengan kaget, seingat saya bercampur sedikit rasa rikuh, namun ya itu duit tetap diterima juga. Saya sangat yakin waktu itu Nyokap memang pas bokek berat jadi duit dari anak SMP ya diterima juga. Beliau juga pernah membuka kantin di Universitas Trisakti di Jakarta-Pusat, tempat kuliah kakak saya yang nomor tiga yaitu Mbak Ezki. Nyokap juga sempat mempekerjakan beberapa orang untuk jualan air keliling kampung ketika kami mengontrak rumah di wilayah Kebon Nanas, Jakarta Timur. Beliau juga dulu sering menerima pesanan katering termasuk orderan roti tanpa bahan pengawet. Saya, dan tentu saja kakak-kakak saya, adalah saksi hidup yang melihat langsung bahwa beliau sangat jarang kalah dalam peperangan yang tak pernah henti melawan berbagai masalah dalam hidup. Banyak keinginan kami, anak-anaknya, yang tak bisa diwujudkan namun semua kebutuhan tercukupi dengan sempurna.
Dengan pengeluaran besar di tangan kiri dan uang yang jumlahnya tak pernah benar-benar banyak di tangan kanan, Nyokap melakukan akrobatik finansial yang amat menakjubkan. Tentu ini butuh ketrampilan khusus mengingat keluarga kami ‘pada zaman dahulu kala’ pernah bergelimang materi dan Nyokap bahkan sempat sering bolak-balik Indonesia-Singapura-Indonesia untuk berbisnis. Kelihaian Nyokap dalam berakrobat layak mendapat tepuk tangan yang riuh karena tidak pernah sekalipun saya kelaparan. Pun ketika saya tergila-gila Michael Jackson sampai 9 tahun lamanya, saya tak pernah dilarang membeli beragam merchandisetermasuk sepatu yang diiklankan Michael Jackson yaitu LA Gear. Sepatu itu dibeli Nyokap di Amerika saat beliau kabur karena dikejar aparat sesaat setelah anak-anak Leste yang menginap di rumah melompati pagar kedutaan besar Amerika Serikat. Nyokap tak pernah membuat saya hidup berlimpah materi namun kerja kerasnya berhasil menjauhkan saya dari kemiskinan. Saya bisa menjalani hidup layaknya anak remaja kota besar: Ikut kursus Bahasa Inggris, makan dengan teman-teman di restoran–walau bukan resto mahal—dan pergi ke bioskop walau ngga bisa sering-sering. Saat kuliah saya bahkan dianggap ‘orang kaya’ karena Nyokap tiap dua bulan sekali, dengan dibantu oleh kakak-kakak saya, mengirim uang sedikit berlebih dengan pesan,”…siapa tahu kamu mau nraktir temen”.
Mental Nyokap yang setebal beton saat menghidupi keluarga telah menyelamatkan hidup saya dan mental yang sama itu jugalah yang menolong Nyokap untuk tetap tegar saat beliau terpuruk. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, sebagian hartanya habis dipakai untuk berobat dan sebagian lainnya lenyap dikuras serigala berbulu domba. Sabtu pagi adalah jadwal beliau menelpon saya dan mengeluh tentang uangnya yang tak bisa kembali, bercerita secara detil tentang tukang tilep yang tak mau mengembalikan hasil jarahan padahal obat yang harus dikonsumsi Nyokap jumlahnya kian banyak dan harganya semakin tinggi. Saya kerap menyarankan supaya Nyokap bersikap keras. Saya katakan bahwa Tuhan bahkan pernah ngamuk sampe nebalikin meja segala macem,”Bersikap keras ngga apa-apa, yang ngga boleh itu ‘kan bersikap kasar”, demikian saya sering katakan. Mudah diduga, beliau selalu menolak saran tersebut mentah-mentah. Hal ini membuat kami kerap berantem karena Nyokap terlalu baik sedangkan too much good is not good, begitu bukan ? Kalimat pamungkasnya yang khas untuk menyudahi omelan saya adalah,”Udahlah….Tuhan juga ngerti”.
Di masa-masa sulit itulah saya berulang kali menyaksikan pemandangan langka: Di hadapan saya berbaringlah seorang ibu tua yang fisik dan mentalnya kian rapuh karena terus-menerus digerus masalah. Bagaimanapun di tengah-tengah himpitan problem kesehatan dan finansial yang menjerat leher, perempuan sepuh ini masih terus konsisten memikirkan kebutuhan orang lain dan tetap perduli dengan topik global semacam anti milterisme, hapus hukuman mati serta nasib TKI. Lebih dari sekedar perduli, beliau tetap melakukan sesuatu kendati skalanya termasuk sangat kecil dibandingkan apa yang beliau lakukan ketika masih sehat. Saat dirawat tahun 2010 di RSCM, Nyokap berusaha mengumpulkan dana untuk pasien di sebelahnya yang mulai kehabisan uang. Saat pasien itu meninggal, Nyokap menangis tersedu-sedu karena merasa dirinya adalah manusia gagal,”…kok bantu kayak gitu aja ngga bisa. Padahal dulu Mama bisa tolong si A, si B, si C, si D, bla…bla…bla…”, demikian saat itu beliau mengeluh sambil menyebutkan sederet nama yang pernah ditolong.
Keluar dari ruang perawatan, kendati tenaganya kian habis tetap saja tak ada satu hal pun yang bisa memenjara semangatnya untuk menolong. Secara rutin Nyokap mengumpulkan wadah plastik air mineral seusai rapat untuk disumbangkan kepada seorang pemulung agar ia bisa tetap mencari nafkah. Jika diberi temannya uang, selalu saja ada yang beliau sisihkan untuk mereka yang dianggapnya lebih susah dibandingkan dirinya. Dalam kondisi kaki patah, sekitar satu bulan sebelum meninggal Nyokap masih bertanya di mana beliau bisa membeli komputer murah untuk pendidikan informal yang akan diselenggarakan di halaman rumah. Walau segala sesuatu yang ada pada dirinya sudah meredup, kecuali optimismenya untuk membahagiakan sesama yang justru kian gila, beliau tetap menyusun rencana hidup jangka menengah dan bahkan jangka panjang. Nyokap juga beberapa kali mengutarakan keinginannya untuk,”…tinggal di rumah yang ada kebun dan kolam ikan kalo nanti Mama udah tua”. Menarik melihat nenek-nenek umur 70an yang sering masuk rumah sakit berbicara seperti itu. Beliau mengelola hidup seolah-olah kematian adalah dongeng pengantar tidur yang tak akan pernah benar-benar datang untuk menjemputnya di dunia nyata.
Tubuhnya yang ringkih tak bisa memberangus semangat hidupnya yang meledak-ledak. Fisiknya yang terus melemah mengirimkan pesan yang bergaung keras di telinganya sendiri: If you rest, you rust. Hal ini membuat beliau tetap bekerja dengan antusias hingga akhir hidupnya. Di ranjang rumah sakit, ketika panggulnya retak dan untuk membalikkan tubuh saja butuh bantuan perawat, Nyokap masih kerap menghubungi sahabat-sahabatnya untuk menanyakan perkembangan isu-isu pelanggaran HAM. Tahun 2009 saat sakit parah di Timor Leste dan ditanya tentang kesiapan untuk mati, kepada Mbak Ezki beliau berkata,”Meninggal? Siap sih…. Masuk surganya sih siap tapi Leste gimana nih ya???”
Cintanya terhadap kemanusiaan melampaui nalar. Beliau terus-menerus gelisah, tak kunjung berhenti memikirkan dan membantu sesama walau semakin lama hidupnya bertambah berat. Nyokap mulai keluar-masuk rumah sakit tiap 3-4 bulan sekali sejak 2008 atau 2009. Bibirnya mulai sering mengajukan pertanyaan yang sebelumnya tak pernah dikeluarkan, ”Tuhan, kok begini ya? Dari dulu kok begini terus?” Bagaimanapun, kebingungan tersebut tetap tak mampu menghentikan beliau untuk berpikir dan berkarya hingga beliau koma di penghujung hidupnya. Beliau tak sadarkan diri selama satu setengah hari. Puluhan saudara dan sahabat ketika itu masuk ke kamarnya satu per satu untuk membisikkan pesan-pesan terakhir. Kemudian dengan ditemani oleh hampir semua anak, menantu serta cucu yang mengelilingi tempat tidurnya dan diiringi oleh seratusan orang di sekitar kamar perawatan, tanggal 8 Juli 2011 jam 23.32 WIB beliau pergi ke tempat di mana tak ada air mata dan rasa sakit. Tempat di mana seluruh pertanyaan yang kerap diajukannya semasa hidup bisa tuntas terjawab. Tempat di mana tak ada satu orang pun bisa menusuk hatinya dan tak satu penyakit pun bisa membuatnya merintih.
Tiga minggu terakhir kehidupannya dihabiskan di bangsal rumah sakit dengan AC rusak yang berisi enam tempat tidur di satu ruangan. Tiga minggu penuh beliau diperlakukan tidak layak oleh para perawat yang kayaknya sih lulusan STM atau Tata Boga. Operasi terus ditunda karena keluarga kekurangan uang. Kondisi tiga minggu yang sangat mengenaskan ini ditutup dengan sangat manis oleh sebuah kemegahan yang mengharukan di hari terakhirnya.
Kepergian dari rumah duka ke pemakaman dihantar oleh begitu banyak pelayat. Mobil dari depan RS Carolus hingga belokan Jalan Salemba menuju Pramuka berjejer hingga tiga lapis. Karangan bunga kalau dikumpulkan bisa dipakai buat bikin toko bunga. Dari mulai bunga sangat indah kiriman Xanana Gusmao yang pasti dipesan dengan tulus hingga bunga dari Hendroprijono serta SBY yang pastinya sih dikirim cuma buat pencitraan. Pelayat datang dari semua kalangan. “Some people have lots of money. Some others are rich”, kata sebuah pepatah. Di hari terakhir hidupnya, sama dengan di hari-hari sebelumnya, Nyokap membuktikan bahwa dirinya masuk dalam kategori kedua: Manusia kaya.
***
Saya tahu bahwa hampir semua orang berkata bahwa ibu mereka adalah orang tua terbaik di muka bumi. Izinkanlah saya untuk sedikit bersikap pongah di halaman ini. Saya sangat yakin bahwa Ibu Ade Rostina Sitompul adalah salah satu wanita termulia yang pernah ada. Saya begitu bangga bisa berasal dari dirinya. Saya teramat bangga bisa menyebutnya ibu. Saya demikian bangga bisa disebut anaknya….
…dan oleh karena itulah tulisan ini ada.
8 Agustus 2011