Di Balik Kesuksesan Cakwe Galaxy:
Dari Pemasukan Rp 35 Ribu Sehingga
Minimal Rp 3 Juta Per Hari
Sugeng Sugiarto. Nama ini asing di telinga kita. Nah, kalo cakwe di Eat n Eat, gimana ? Yang segede bagong itu ukurannya? Untuk penggemar kuliner, cakwe berharga premium ini sangat mungkin bukan benda asing.
Sugeng Sugiarto adalah pemilik dari usaha cakwe unik ini. Disebut unik karena adonan yang digunakan sesungguhnya adalah adonan roti. Sebetulnya ia tak hanya berjualan cakwe melainkan juga sate kuah serta soto tangkar,nama outletnya adalah Cakwe Galaxy dan Sate Kuah Soto Tangkar Galaxy’. Bagaimanapun, cakwe berukuran jumbo memang langka dan karena itulah ini yang lantas jadi paling nempel di kepala konsumen.
Pemasukan Sugeng per hari dari tiap outlet cukup besar: Rata-rata 3 juta dan karyawannya berjumlah 50. Tentu tak instant, semuanya didahului dengan rasa marah, kecewa, frustasi, harap-harap cemas….Berawal dari jadi pelayan, sempat jualan indomie...Kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala supaya bisa nebus obat anaknya yang lagi demam...Dulu….
Jadi begini ceritanya....
Pria lulusan SMA Budi Utomo ini mengawali karirnya dengan bekerja di kapal pesiar Royal Carribean Cruise Line. Posisinya saat itu adalah pelayan, waiter gitu lah ya kalo mau kedengaran keren. Ya tapi sebenarnya pelayan memang profesi keren, ‘kan dia nggak makan uang rakyat. Sesungguhnyalah pemahaman kita tentang profesi keren nggak keren diuji saat membaca tulisan ini, hehehe...
Sugeng lalu mencoba adu nasib di Planet Hollywood, resto mahal yang diendorse bintang film semacam Bruce Willis dan Sylvester Stallone. Keluar dari Planet Hollywood, pada 1994 ia menjadi trainer coordinator di Fashion Cafe, restoran yang disebut Associated Press sebagai ‘acouture version of Planet Hollywood and the Hard Rock Cafe’. Tempat elite yang pendiriannya ikut dimodali oleh supermodel Naomi Campbell dan Cindy Crawford ini mempekerjakan Sugeng selama 2 tahun. Jabatan terakhirnya waktu meninggalkan FC di tahun 2001 adalah senior manager.
“Saya bukan fighter,”ujar ayah dari dua anak ini. “Dulu saya difitnah, udah enak posisinya, ya tapi keluar begitu aja, nggak pake klarifikasi. Males ah, ngapain klarifikasi segala ? Kata temen-temen,’elu nggak cocok kerja sama orang, mesti kerja sendiri’ “, begitu kata Sugeng di Eat N Eat, tak jauh dari outlet Cakwe dan Soto Tangkar Galaxy yang ia dirikan.
Setelah keluar dari perusahaan-perusahaan mapan, ia bergabung dengan kakaknya dalam menjalankan usaha leasing. Hal ini hanya bertahan sebentar karena duitnya nggak gede padahal statusnya saat itu sudah nggak single lagi. Tahun 2000 ia memutuskan untuk menikah jadi kesimpulannya ia meninggalkan pekerjaan yang sudah lumayan asik dalam status sudah ada anak orang yang harus ia tanggung kehidupannya. Termasuk nekad ya mengingat Sugeng jelas butuh uang untuk menjalankan rumah tangga. Akhirnya suami dari Tri ini memutuskan untuk naik kapal lagi dan ia pun kembali berlayar, kali ini dengan kapal Navigator of the Seas, sampai 2009.
“Kata temen-temen,’elu nggak cocok kerja sama orang, mesti kerja sendiri’,”begitu kata Sugeng.
Turun dari kapal, ia mulai berpikir serius mengenai bisnis kuliner. Di wilayah Cipinang, Jakarta, ia bertemu Pak Ace, seorang penjual bakwan Malang. Sugeng lantas mengundang Pak Ace datang ke rumah,”Tolong ajarin dong, Pak”, tuturnya. Kursus privat ini berlangsung satu hari dan Sugeng lantas menjalankan metode les serupa dalam mempelajari menu lainnya:Siomay serta dimsum. Panggil orang ke rumah, minta ajarin sehari, selesai.
Kursus-kursus di atas penting sekali mengingat Sugeng saat itu sebenarnya adalah seorang pengangguran. Tri Rahayu, istri Sugeng, ketika itu membantu orang tuanya menjalankan usaha. Biar nggak malu-malu amat, agar kalo ditanya nggak jawab,” Lagi nganggur, nih,” Sugeng pun menerima pesanan. Kadang ada orang yang memesan makanan 50 atau 100 porsi tapi frekwensinya termasuk jarang.
Tahun 2012, Sugeng mencoba untuk melangkah lebih jauh: Jualan beneran, bukan hanya terima pesanan. Jelas ini lebih repot dan resiko lumayan besar. Resiko rugi saat memenuhi pesanan nyaris tak ada karena pembelian bahan makanan disesuaikan dengan jumlah orderan. Lha kalo jualan ? Misalnya, udah capek-capek beli bahan untuk 50 piring lalu yang laku hanya 10 ? ‘Kan rugi bandar. Usahanya untuk aktif berjualan diawali dengan roti bakar dan Indomie, warung ini bertahan 2 bulan. Rugi sih nggak tapi,”...Untung sejuta aja udah bagus banget”, tutur Sugeng. Tentu ini tak cukup karena statusnya saat itu bukan hanya sekedar suami tapi juga ayah dari 2 anak. Sugeng pun putar otak lebih keras lalu memutuskan untuk berpindah hati ke siomay.
Lakukah siomaynya ? Laku dong. Laku 5 biji, hadeuuhhh... Penghasilannya saat itu Rp.35,000,-. Penghasilan lho, bukan profit.
Ada cerita menarik tentang si siomay ini, menarik buat pembaca tapi ngeselin buat Sugeng. Pria dengan mata berminus 2,5 ini pernah menitip siomay yang lagi ia kukus ke tetangga. Ia lupa kasih tahu bahwa kompor lagi menyala. Pas ia balik, ia lihat siomaynya udah item semua. Akhirnya malem-malem ia ke Pasar Cililitan beli tenggiri.
***
Di tengah-tengah kondisinya yang kere abis, Sugeng adu argumen dengan ibunya mengenai sebuah hal. “Nyeselllll minta ampun,”tutur Sugeng kepada penulis.”Saya seumur-umur belum pernah adu mulut sama ibu saya”, lanjutnya. Usai berantem kecil itu, ia sholat dan menangis saat berdoa. Ia lalu ngomong begini ke Tri, istrinya,”Mulai bulan depan, gue nggak mau listrik dibayarin lagi jadi siap-siap aja rumah gelap.”
Miskin tapi sombong, begitu kali komentar orang nyinyir mengenai Sugeng sedangkan orang yang otaknya waras mungkin akan berkata, “Keren lu Geng, miskin tapi punya martabat.”
Sesinis atau seramah apapun tanggapan orang, kondisi Sugeng tetap terpuruk. Kata-kata saja tidak bisa mengubah kemiskinan. Sugeng lantas melakukan tindakan nyata yaitu menghubungi beberapa teman untuk mencari pinjaman modal. Ia sudah bertekad menjalani bisnis kuliner dan…
”Kalo Tuhan udah buka jalan, nggak ada yang bisa menghalangi,” ujar penyuka mie ayam ini. Yup. Kalau Tuhan sudah buka pintu, memang tak akan ada yang bisa menutup dan kalau Tuhan sudah menutup pintu, tak ada yang bisa membuka.
Sebelum tagihan listrik bulan berikutnya datang, yaitu pada 7 Januari 2013, berkat bantuan teman-temannya, Sugeng membuka outlet pertama Cakwe Galaxy di Pasar Apung, Sentul. Sedemikian banyaknya pembeli yang antri sehingga beberapa ada yang hampir pingsan dan perlu digotong. Penjualan meledak. Jika dari siomay Sugeng mendapat pemasukan 35 ribu sehari dan dari Indomie serta roti bakar ia memperoleh keuntungan maksimal 1 juta sebulan, Cakwe Galaxy memberinya pemasukan minimal 3 juta per hari. “Kalo Sabtu Minggu bisa sampe 7 juta per hari,”kata Tri yang juga hadir saat wawancara berlangsung.
Hadirnya Cakwe Galaxy di Pasar Apung sebenarnya tak berawal dari doa yang dipanjatkan sambil menangis. Sugeng berproses bukan dari doa yang berfungsi seperti tongkat ajaib bidadari di dongeng anak balita: Pemegang tongkat meminta lalu permohonan dikabulkan dan mendadak ada di depan mata. Sugeng berproses lewat upaya panjang yang membosankan namun bernafaskan doa. Keberhasilannya di Sentul harus ditarik ke belakang hingga 2008. Saat itu Sugeng menawarkan makanan buatannya kepada seorang teman yang menjabat sebagai general manager di Eat n Eat. “Ditolak terus,”kata pria yang bercita-cita untuk punya resto sendiri ini. Dalam kurun waktu beberapa tahun, ia menyodorkan siomay, dimsum serta tahu gejrot tapi tak ada yang diterima. Manager tersebut kemudian memberi ide agar Sugeng mencoba untuk membuat cakwe,”Belum ada tuh cakwe...Cakwe aja deh.”
***
Akhirnya, tahun 2013, Sugeng melakukan serangkaian uji coba membuat cakwe dengan menggunakan kompor gas. Hal inilah yang membuat dia pada awalnya tak berani buka di mall karena kalau di mall, masak dilakukan dengan memakai kompor listrik sedangkan di Pasar Apung ia bisa menggunakan kompor gas.
Walau sudah sukses, usahanya tetap mengalami masalah namun tentu dengan jenis problem yang berbeda. Jika dulu ia kesulitan uang, kini ia menghadapi tantangan yang berkaitan dengan pegawai. Uang setoran pernah dibawa kabur karyawan dan rumah pribadinya dijarah. CCTV yang baru mau dipasang, uang, HP, baju-baju, diangkut 4 karyawan yang dia omelin karena “melakukan kesalahan yang bener-bener nggak perlu”. Urusan kayak begini, Sugeng memang tegas, saudaranya yang tak jujur dan kerja nggak beres, langsung ia keluarkan, apalagi anak orang lain. Feeling Sugeng sebenarnya saat awal udah nggak enak tapi keempat anak buah tersebut tetap dipekerjakan karena ia butuh karyawan.
Sumber daya manusia memang tantangan terbesar Sugeng. “Ngurus makanan gampang, yang sulit ngurus karyawan supaya punya mental melayani,” katanya. Padahal mental melayani itulah yang membuat pembeli bermetamorfosa jadi pelanggan. “Mereka sulit minta maaf,” ujar Sugeng melanjutkan. Kalo Sugeng sendiri lihai bergerak sigap. Kesalahan di outlet ia respons dengan cepat karena pelanggan adalah raja. Tak heran jika di paper bag Cakwe galaxy tercantum beberapa nomor HP, salah satunya adalah nomor dari HP yang ia pegang sendiri.
***
Akhir cerita? ''Dan Sugeng serta Tri, istrinya, hidup berbahagia sampai selama-lamanya karena pemasukan minimal mereka sudah mencapai minimal 6 digit per hari', begitu ?
Tentu tidak. Bisnis kuliner butuh pengawasan melekat, janganlah kita lupa dengan Gibran, anak tertua presiden kita, Joko Widodo, dan pemilik katering elite di Solo, yang pada 2014 nggak satu kalipun mengikuti ayahnya kampanye pilpres karena tak bisa meninggalkan bisnis katering yang ia kelola. "Susah-susah gampanglah," tutur Sugeng tentang usaha yang ia jalani,"yang udah pasti, gue nggak mau bikin jadi franchise," tuturnya. Keputusan ini diambil lewat pemikiran panjang. " Saya pernah tuh franchise, sambelnya diubah sama yang buka booth," ujarnya menceritakan pengalaman buruk yang ia alami saat resep sambal yang sudah ia buat lewat proses panjang , seenak-enaknya diubah si pedagang.
Tak masalah kalau ia tidak melirik franchise karena outlet yang ia buka toh terus bertambah jumlahnya, ketika tulisan ini dibuat Cakwe Galaxy sudah tersedia di sekitar 20 titik, termasuk Carrefour, Beach Walk dan Park 23 di Bali. Harkat cakwe nampaknya terdongkrak tinggi karena makanan yang identik dengan pinggir jalan ini sekarang juga dijual di mal berkelas semacam Kota Kasablanka, Kuningan, Jakarta. Adapun kota lain yang akan dirambah Sugeng dan Tri nampaknya adalah Medan, Surabaya serta Pekanbaru.
Jika ada pembaca yang berdecak iri,"Ih...Puluhan juta per bulan dari cakwe doang, mau dong...."
Ceritanya jangan dicomot-comot seenaknya ya...Cakwenya aja yang dicomot-comot...
Jangan pernah lupa, puluhan juta rupiah dari cakwe ini kisahnya berada dalam paket yang sama dengan cerita tentang tangis dan doa, beli tenggiri malam-malam, penghasilan 35 ribu rupiah sehari, berhutang kiri-kanan, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya...
Sugeng dan Tri sudah sukses melewati itu semua. Menarik untuk melihat bahwa Sugeng bisa disebut 'late-starter', orang yang meraih sukses saat umur tidak lagi muda: Usianya sekitar 46 tahun saat pengunjung berjejal di depan outlet cakwenya hingga beberapa ada yang sempoyongan karena kurang oksigen.
Nah, berapa usia Anda ? Giliran Anda kapan ?
3 April 2017
Meicky Shoreamanis Panggabean
www.gurudanpenulis.com
Penulis biografi 'Ahok:Politik Akal Sehat'
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Sugeng Sugiarto adalah pemilik dari usaha cakwe unik ini. Disebut unik karena adonan yang digunakan sesungguhnya adalah adonan roti. Sebetulnya ia tak hanya berjualan cakwe melainkan juga sate kuah serta soto tangkar,nama outletnya adalah Cakwe Galaxy dan Sate Kuah Soto Tangkar Galaxy’. Bagaimanapun, cakwe berukuran jumbo memang langka dan karena itulah ini yang lantas jadi paling nempel di kepala konsumen.
Pemasukan Sugeng per hari dari tiap outlet cukup besar: Rata-rata 3 juta dan karyawannya berjumlah 50. Tentu tak instant, semuanya didahului dengan rasa marah, kecewa, frustasi, harap-harap cemas….Berawal dari jadi pelayan, sempat jualan indomie...Kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala supaya bisa nebus obat anaknya yang lagi demam...Dulu….
Jadi begini ceritanya....
Pria lulusan SMA Budi Utomo ini mengawali karirnya dengan bekerja di kapal pesiar Royal Carribean Cruise Line. Posisinya saat itu adalah pelayan, waiter gitu lah ya kalo mau kedengaran keren. Ya tapi sebenarnya pelayan memang profesi keren, ‘kan dia nggak makan uang rakyat. Sesungguhnyalah pemahaman kita tentang profesi keren nggak keren diuji saat membaca tulisan ini, hehehe...
Sugeng lalu mencoba adu nasib di Planet Hollywood, resto mahal yang diendorse bintang film semacam Bruce Willis dan Sylvester Stallone. Keluar dari Planet Hollywood, pada 1994 ia menjadi trainer coordinator di Fashion Cafe, restoran yang disebut Associated Press sebagai ‘acouture version of Planet Hollywood and the Hard Rock Cafe’. Tempat elite yang pendiriannya ikut dimodali oleh supermodel Naomi Campbell dan Cindy Crawford ini mempekerjakan Sugeng selama 2 tahun. Jabatan terakhirnya waktu meninggalkan FC di tahun 2001 adalah senior manager.
“Saya bukan fighter,”ujar ayah dari dua anak ini. “Dulu saya difitnah, udah enak posisinya, ya tapi keluar begitu aja, nggak pake klarifikasi. Males ah, ngapain klarifikasi segala ? Kata temen-temen,’elu nggak cocok kerja sama orang, mesti kerja sendiri’ “, begitu kata Sugeng di Eat N Eat, tak jauh dari outlet Cakwe dan Soto Tangkar Galaxy yang ia dirikan.
Setelah keluar dari perusahaan-perusahaan mapan, ia bergabung dengan kakaknya dalam menjalankan usaha leasing. Hal ini hanya bertahan sebentar karena duitnya nggak gede padahal statusnya saat itu sudah nggak single lagi. Tahun 2000 ia memutuskan untuk menikah jadi kesimpulannya ia meninggalkan pekerjaan yang sudah lumayan asik dalam status sudah ada anak orang yang harus ia tanggung kehidupannya. Termasuk nekad ya mengingat Sugeng jelas butuh uang untuk menjalankan rumah tangga. Akhirnya suami dari Tri ini memutuskan untuk naik kapal lagi dan ia pun kembali berlayar, kali ini dengan kapal Navigator of the Seas, sampai 2009.
“Kata temen-temen,’elu nggak cocok kerja sama orang, mesti kerja sendiri’,”begitu kata Sugeng.
Turun dari kapal, ia mulai berpikir serius mengenai bisnis kuliner. Di wilayah Cipinang, Jakarta, ia bertemu Pak Ace, seorang penjual bakwan Malang. Sugeng lantas mengundang Pak Ace datang ke rumah,”Tolong ajarin dong, Pak”, tuturnya. Kursus privat ini berlangsung satu hari dan Sugeng lantas menjalankan metode les serupa dalam mempelajari menu lainnya:Siomay serta dimsum. Panggil orang ke rumah, minta ajarin sehari, selesai.
Kursus-kursus di atas penting sekali mengingat Sugeng saat itu sebenarnya adalah seorang pengangguran. Tri Rahayu, istri Sugeng, ketika itu membantu orang tuanya menjalankan usaha. Biar nggak malu-malu amat, agar kalo ditanya nggak jawab,” Lagi nganggur, nih,” Sugeng pun menerima pesanan. Kadang ada orang yang memesan makanan 50 atau 100 porsi tapi frekwensinya termasuk jarang.
Tahun 2012, Sugeng mencoba untuk melangkah lebih jauh: Jualan beneran, bukan hanya terima pesanan. Jelas ini lebih repot dan resiko lumayan besar. Resiko rugi saat memenuhi pesanan nyaris tak ada karena pembelian bahan makanan disesuaikan dengan jumlah orderan. Lha kalo jualan ? Misalnya, udah capek-capek beli bahan untuk 50 piring lalu yang laku hanya 10 ? ‘Kan rugi bandar. Usahanya untuk aktif berjualan diawali dengan roti bakar dan Indomie, warung ini bertahan 2 bulan. Rugi sih nggak tapi,”...Untung sejuta aja udah bagus banget”, tutur Sugeng. Tentu ini tak cukup karena statusnya saat itu bukan hanya sekedar suami tapi juga ayah dari 2 anak. Sugeng pun putar otak lebih keras lalu memutuskan untuk berpindah hati ke siomay.
Lakukah siomaynya ? Laku dong. Laku 5 biji, hadeuuhhh... Penghasilannya saat itu Rp.35,000,-. Penghasilan lho, bukan profit.
Ada cerita menarik tentang si siomay ini, menarik buat pembaca tapi ngeselin buat Sugeng. Pria dengan mata berminus 2,5 ini pernah menitip siomay yang lagi ia kukus ke tetangga. Ia lupa kasih tahu bahwa kompor lagi menyala. Pas ia balik, ia lihat siomaynya udah item semua. Akhirnya malem-malem ia ke Pasar Cililitan beli tenggiri.
***
Di tengah-tengah kondisinya yang kere abis, Sugeng adu argumen dengan ibunya mengenai sebuah hal. “Nyeselllll minta ampun,”tutur Sugeng kepada penulis.”Saya seumur-umur belum pernah adu mulut sama ibu saya”, lanjutnya. Usai berantem kecil itu, ia sholat dan menangis saat berdoa. Ia lalu ngomong begini ke Tri, istrinya,”Mulai bulan depan, gue nggak mau listrik dibayarin lagi jadi siap-siap aja rumah gelap.”
Miskin tapi sombong, begitu kali komentar orang nyinyir mengenai Sugeng sedangkan orang yang otaknya waras mungkin akan berkata, “Keren lu Geng, miskin tapi punya martabat.”
Sesinis atau seramah apapun tanggapan orang, kondisi Sugeng tetap terpuruk. Kata-kata saja tidak bisa mengubah kemiskinan. Sugeng lantas melakukan tindakan nyata yaitu menghubungi beberapa teman untuk mencari pinjaman modal. Ia sudah bertekad menjalani bisnis kuliner dan…
”Kalo Tuhan udah buka jalan, nggak ada yang bisa menghalangi,” ujar penyuka mie ayam ini. Yup. Kalau Tuhan sudah buka pintu, memang tak akan ada yang bisa menutup dan kalau Tuhan sudah menutup pintu, tak ada yang bisa membuka.
Sebelum tagihan listrik bulan berikutnya datang, yaitu pada 7 Januari 2013, berkat bantuan teman-temannya, Sugeng membuka outlet pertama Cakwe Galaxy di Pasar Apung, Sentul. Sedemikian banyaknya pembeli yang antri sehingga beberapa ada yang hampir pingsan dan perlu digotong. Penjualan meledak. Jika dari siomay Sugeng mendapat pemasukan 35 ribu sehari dan dari Indomie serta roti bakar ia memperoleh keuntungan maksimal 1 juta sebulan, Cakwe Galaxy memberinya pemasukan minimal 3 juta per hari. “Kalo Sabtu Minggu bisa sampe 7 juta per hari,”kata Tri yang juga hadir saat wawancara berlangsung.
Hadirnya Cakwe Galaxy di Pasar Apung sebenarnya tak berawal dari doa yang dipanjatkan sambil menangis. Sugeng berproses bukan dari doa yang berfungsi seperti tongkat ajaib bidadari di dongeng anak balita: Pemegang tongkat meminta lalu permohonan dikabulkan dan mendadak ada di depan mata. Sugeng berproses lewat upaya panjang yang membosankan namun bernafaskan doa. Keberhasilannya di Sentul harus ditarik ke belakang hingga 2008. Saat itu Sugeng menawarkan makanan buatannya kepada seorang teman yang menjabat sebagai general manager di Eat n Eat. “Ditolak terus,”kata pria yang bercita-cita untuk punya resto sendiri ini. Dalam kurun waktu beberapa tahun, ia menyodorkan siomay, dimsum serta tahu gejrot tapi tak ada yang diterima. Manager tersebut kemudian memberi ide agar Sugeng mencoba untuk membuat cakwe,”Belum ada tuh cakwe...Cakwe aja deh.”
***
Akhirnya, tahun 2013, Sugeng melakukan serangkaian uji coba membuat cakwe dengan menggunakan kompor gas. Hal inilah yang membuat dia pada awalnya tak berani buka di mall karena kalau di mall, masak dilakukan dengan memakai kompor listrik sedangkan di Pasar Apung ia bisa menggunakan kompor gas.
Walau sudah sukses, usahanya tetap mengalami masalah namun tentu dengan jenis problem yang berbeda. Jika dulu ia kesulitan uang, kini ia menghadapi tantangan yang berkaitan dengan pegawai. Uang setoran pernah dibawa kabur karyawan dan rumah pribadinya dijarah. CCTV yang baru mau dipasang, uang, HP, baju-baju, diangkut 4 karyawan yang dia omelin karena “melakukan kesalahan yang bener-bener nggak perlu”. Urusan kayak begini, Sugeng memang tegas, saudaranya yang tak jujur dan kerja nggak beres, langsung ia keluarkan, apalagi anak orang lain. Feeling Sugeng sebenarnya saat awal udah nggak enak tapi keempat anak buah tersebut tetap dipekerjakan karena ia butuh karyawan.
Sumber daya manusia memang tantangan terbesar Sugeng. “Ngurus makanan gampang, yang sulit ngurus karyawan supaya punya mental melayani,” katanya. Padahal mental melayani itulah yang membuat pembeli bermetamorfosa jadi pelanggan. “Mereka sulit minta maaf,” ujar Sugeng melanjutkan. Kalo Sugeng sendiri lihai bergerak sigap. Kesalahan di outlet ia respons dengan cepat karena pelanggan adalah raja. Tak heran jika di paper bag Cakwe galaxy tercantum beberapa nomor HP, salah satunya adalah nomor dari HP yang ia pegang sendiri.
***
Akhir cerita? ''Dan Sugeng serta Tri, istrinya, hidup berbahagia sampai selama-lamanya karena pemasukan minimal mereka sudah mencapai minimal 6 digit per hari', begitu ?
Tentu tidak. Bisnis kuliner butuh pengawasan melekat, janganlah kita lupa dengan Gibran, anak tertua presiden kita, Joko Widodo, dan pemilik katering elite di Solo, yang pada 2014 nggak satu kalipun mengikuti ayahnya kampanye pilpres karena tak bisa meninggalkan bisnis katering yang ia kelola. "Susah-susah gampanglah," tutur Sugeng tentang usaha yang ia jalani,"yang udah pasti, gue nggak mau bikin jadi franchise," tuturnya. Keputusan ini diambil lewat pemikiran panjang. " Saya pernah tuh franchise, sambelnya diubah sama yang buka booth," ujarnya menceritakan pengalaman buruk yang ia alami saat resep sambal yang sudah ia buat lewat proses panjang , seenak-enaknya diubah si pedagang.
Tak masalah kalau ia tidak melirik franchise karena outlet yang ia buka toh terus bertambah jumlahnya, ketika tulisan ini dibuat Cakwe Galaxy sudah tersedia di sekitar 20 titik, termasuk Carrefour, Beach Walk dan Park 23 di Bali. Harkat cakwe nampaknya terdongkrak tinggi karena makanan yang identik dengan pinggir jalan ini sekarang juga dijual di mal berkelas semacam Kota Kasablanka, Kuningan, Jakarta. Adapun kota lain yang akan dirambah Sugeng dan Tri nampaknya adalah Medan, Surabaya serta Pekanbaru.
Jika ada pembaca yang berdecak iri,"Ih...Puluhan juta per bulan dari cakwe doang, mau dong...."
Ceritanya jangan dicomot-comot seenaknya ya...Cakwenya aja yang dicomot-comot...
Jangan pernah lupa, puluhan juta rupiah dari cakwe ini kisahnya berada dalam paket yang sama dengan cerita tentang tangis dan doa, beli tenggiri malam-malam, penghasilan 35 ribu rupiah sehari, berhutang kiri-kanan, dan lain sebagainya, dan lain seterusnya...
Sugeng dan Tri sudah sukses melewati itu semua. Menarik untuk melihat bahwa Sugeng bisa disebut 'late-starter', orang yang meraih sukses saat umur tidak lagi muda: Usianya sekitar 46 tahun saat pengunjung berjejal di depan outlet cakwenya hingga beberapa ada yang sempoyongan karena kurang oksigen.
Nah, berapa usia Anda ? Giliran Anda kapan ?
3 April 2017
Meicky Shoreamanis Panggabean
www.gurudanpenulis.com
Penulis biografi 'Ahok:Politik Akal Sehat'
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-