https://gurupenulis.weebly.com/wajib-dibacasebuah-pengantar.html
ELO KELAINAN JUGA NGGAK KAYAK JOKER ?
Kemarin malam gue mimpi ada psikopat mau bunuh gue dan anak gue tapi gagal. Gue baru wawancara cewek yang pernah pacaran sama psikopat trus baca-baca soal Joker makanya tadi malem mimpi itu.
Ini cewek ditawarin sama temennya,"Elo mau itu cowok cacat, miskin atau mati?" Dia sama kayak gue, mau balas dendam tapi nggak bisa karena terbentur hati nurani. Tapi kalo gue kadang masih ingin balas dendam jadi gue nanya, "Apa sebaiknya gue nulis DAN balas dendam? Kalo pake prinsip utilitarianisme, lebih baik gue ngancurin 1 psikopat daripada membiarkan dia ngerusak 10 orang lainnya."
Gue lagi bikin buku soal psikopat, berdua dengan psikolog. Kita sebut aja si psikopat dengan nama "Ubi Rebus."Kalo pake nama orang, ntar ada yang tersinggung.
Tujuan menulis buku adalah untuk edukasi masyarakat agar elo-elo yang otaknya njeblug kayak gue, nggak mengulangi kebodohan yang gue lakukan. Eh cocok tuh. Kata temen gue,"Jangan. Kita arahkan mata ke masyarakat, bukan ke psikopatnya. Kita edukasi masyarakat. Memang capek tapi ini solusi terbaik."
OK. Baiklah.
Dan psikopat itu pun hidup berbahagia dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
The end.
***
Apakah elo atau keluarga elo ada yang mengalami neurological disorders kayak Joker? Tingkat depresinya tinggi atau punya kecenderungan bunuh diri? Penyandang narsisme, manic depressive, atau OCD? Tosss...Sama dong. Gue juga OCD:Obsessive Cumberbatch Disorder. Atau mungkin elo punya masalah lain, bukan masalah syaraf atau mental, tapi masalah itu sangat berpengaruh pada kondisi mental?
Kalo elo mau, tulis aja trus posting. Kalo di referensi barat banyak penyandang, korban, atau keluarga mereka yang bikin tulisan soal pengalamannya. Di Indonesia, dikitttt banget. Apa perlunya nulis hal-hal kayak begini? Gue kasih contoh, ya.
Di bab tentang 'apa yang harus kita lakukan kalo kita udah masuk jerat psikopat', gue kasih saran agar korban berhati-hati menggunakan istilah psikopat saat curhat. Kenapa? Karena orang yang jadi tempat curhat, pengetahuannya jauh di bawah kita. Udah gitu kita mengalami, mereka ngggak. Ada gap pengetahuan yang besar. Nggak semua orang bisa terima kalimat semacam,"Berdasarkan observasi empiris dan studi literatur, dia gue duga kuat sebagai psikopat." Nggakkk....Nggak semua orang cermat mendengarkan kalimat kayak gitu. Sebagaian besar akan fokus ke kata "psikopat". Titik.
***
Ada teman yang peduli sama gue. Dia nelfon orang dari sebuah kesatuan trus kasih tau gue,”Elo takut-takutin si Ubi Rebus, bikin dia marah atau balas dendam. Abis itu orang dari kesatuan tersebut akan datang ke rumah si psikopat buat bikin dia takut.”
Psikopat tau serba-serbi rasa tapi tak bisa merasakan. Gue bilang,”Ya olo, nggak ada efeknya. Psikopat nggak bisa takut.” Ngapain coba itu orang jauh-jauh datang cuma buat ketemu cewek yang playing victim, pura-pura takut??? Lebih baik itu orang jagain Jokowi. Teman gue marah karena menganggap gue menolak bantuan sedangkan gue marah karena merasa kalo gue lakukan itu selain percuma, derajat gue jadi sama rendahnya dengan psikopat tersebut.
Nah, elo liat ya. Beda ‘kan apa yang gue tulis dengan apa yang elo baca di buku pegangan mahasiswa psikologi, misalnya. Bedanya bukan hanya karena beda genre buku tapi beda karena gue mengalami sendiri. Isinya praktis, membumi, autentik, orisinil. Langsung dari tangan pertama.
Orang-orang lain butuh topik lain. Elo mungkin bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Hati-hati ya kalo elo memutuskan untuk nulis. Kalo kecenderungan depresi lo tinggi misalnya, elo posting aja di IG dan fitur komentarnya elo matiin. Kalo lo belum siap menulis, tetap tulis aja tapi simpan, jangan diposting. Kalo siap, baru diposting. Menulis itu kegiatan eksplorasi diri dan punya efek terapeutik. Nulis mah nulis aja.
Elo tulis aja soal perjuangan elo sehari-hari tapi tanya dulu ke keluarga elo, setuju nggak. Siapa tau elo udah bisa lega nerima kenyataan tapi keluarga elo masih menganggap itu aib. Kalo mereka belum setuju, elo edukasi keluarga lo dulu. Suami dan anak gue nggak keberatan gue jelas-jelas nunjukkin kalo gue bodoh pangkat 9 di buku gue, Ya udah, gue tulis aja apa adanya. Abis baca buku gue, elo pasti kasih komentar begini,"Meick, gue nggak mau nanya otak elo di mana pas elo dikerjain si Ubi Rebus. Yang gue pengen tanya:Elo sebenernya punya otak apa nggak???!!!"
Kesulitannya apa, elo ngobrol apa, nggak nyambungnya di mana, kegagalan dan keberhasilan lo gimana, dan lain-lain, elo tulis deh. Elo pecah-pecah jadi beberapa tulisan. Kalo ternyata elo posting, kasih hashtag yang umum misalnya #Empath tapi juga pake yang spesifik, misal #Empath123456. Ini mempermudah orang lain saat cari postingan-postingan elo. Posting tulisan elo sendiri. Jangan tulis ulang orang karya orang lain apalagi ngambil tulisan orang lalu mengakui itu sebagai tulisan elo.
Elo mengalami ‘kan betapa sulitnya jadi orang bermasalah atau jadi anggota keluarga dari orang yang bermasalah? Elo capek dan bingung. Elo merasa sendiri. Padahal yang senasib banyak tapi nggak ketauan karena banyak yang ngumpet. Malu berbagi karena menganggap pengalamannya adalah aib.
Nah, tulisan-tulisan elo akan membuat orang-orang yang senasib dengan elo paham bahwa mereka nggak sendirian. Kata Rick Warren,”Why waste a pain? Use it to help others.”
Naikkin level elo, udah kelamaan elo mencari jawaban. Sekarang jadilah jawaban. Tinggalkan legacy, hidup hanya satu kali.
Selamat memperingati World Mental Health Day, 10 Oktober 2019.
10 Oktober 2019, 15.43 WIB
Ini cewek ditawarin sama temennya,"Elo mau itu cowok cacat, miskin atau mati?" Dia sama kayak gue, mau balas dendam tapi nggak bisa karena terbentur hati nurani. Tapi kalo gue kadang masih ingin balas dendam jadi gue nanya, "Apa sebaiknya gue nulis DAN balas dendam? Kalo pake prinsip utilitarianisme, lebih baik gue ngancurin 1 psikopat daripada membiarkan dia ngerusak 10 orang lainnya."
Gue lagi bikin buku soal psikopat, berdua dengan psikolog. Kita sebut aja si psikopat dengan nama "Ubi Rebus."Kalo pake nama orang, ntar ada yang tersinggung.
Tujuan menulis buku adalah untuk edukasi masyarakat agar elo-elo yang otaknya njeblug kayak gue, nggak mengulangi kebodohan yang gue lakukan. Eh cocok tuh. Kata temen gue,"Jangan. Kita arahkan mata ke masyarakat, bukan ke psikopatnya. Kita edukasi masyarakat. Memang capek tapi ini solusi terbaik."
OK. Baiklah.
Dan psikopat itu pun hidup berbahagia dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
The end.
***
Apakah elo atau keluarga elo ada yang mengalami neurological disorders kayak Joker? Tingkat depresinya tinggi atau punya kecenderungan bunuh diri? Penyandang narsisme, manic depressive, atau OCD? Tosss...Sama dong. Gue juga OCD:Obsessive Cumberbatch Disorder. Atau mungkin elo punya masalah lain, bukan masalah syaraf atau mental, tapi masalah itu sangat berpengaruh pada kondisi mental?
Kalo elo mau, tulis aja trus posting. Kalo di referensi barat banyak penyandang, korban, atau keluarga mereka yang bikin tulisan soal pengalamannya. Di Indonesia, dikitttt banget. Apa perlunya nulis hal-hal kayak begini? Gue kasih contoh, ya.
Di bab tentang 'apa yang harus kita lakukan kalo kita udah masuk jerat psikopat', gue kasih saran agar korban berhati-hati menggunakan istilah psikopat saat curhat. Kenapa? Karena orang yang jadi tempat curhat, pengetahuannya jauh di bawah kita. Udah gitu kita mengalami, mereka ngggak. Ada gap pengetahuan yang besar. Nggak semua orang bisa terima kalimat semacam,"Berdasarkan observasi empiris dan studi literatur, dia gue duga kuat sebagai psikopat." Nggakkk....Nggak semua orang cermat mendengarkan kalimat kayak gitu. Sebagaian besar akan fokus ke kata "psikopat". Titik.
***
Ada teman yang peduli sama gue. Dia nelfon orang dari sebuah kesatuan trus kasih tau gue,”Elo takut-takutin si Ubi Rebus, bikin dia marah atau balas dendam. Abis itu orang dari kesatuan tersebut akan datang ke rumah si psikopat buat bikin dia takut.”
Psikopat tau serba-serbi rasa tapi tak bisa merasakan. Gue bilang,”Ya olo, nggak ada efeknya. Psikopat nggak bisa takut.” Ngapain coba itu orang jauh-jauh datang cuma buat ketemu cewek yang playing victim, pura-pura takut??? Lebih baik itu orang jagain Jokowi. Teman gue marah karena menganggap gue menolak bantuan sedangkan gue marah karena merasa kalo gue lakukan itu selain percuma, derajat gue jadi sama rendahnya dengan psikopat tersebut.
Nah, elo liat ya. Beda ‘kan apa yang gue tulis dengan apa yang elo baca di buku pegangan mahasiswa psikologi, misalnya. Bedanya bukan hanya karena beda genre buku tapi beda karena gue mengalami sendiri. Isinya praktis, membumi, autentik, orisinil. Langsung dari tangan pertama.
Orang-orang lain butuh topik lain. Elo mungkin bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Hati-hati ya kalo elo memutuskan untuk nulis. Kalo kecenderungan depresi lo tinggi misalnya, elo posting aja di IG dan fitur komentarnya elo matiin. Kalo lo belum siap menulis, tetap tulis aja tapi simpan, jangan diposting. Kalo siap, baru diposting. Menulis itu kegiatan eksplorasi diri dan punya efek terapeutik. Nulis mah nulis aja.
Elo tulis aja soal perjuangan elo sehari-hari tapi tanya dulu ke keluarga elo, setuju nggak. Siapa tau elo udah bisa lega nerima kenyataan tapi keluarga elo masih menganggap itu aib. Kalo mereka belum setuju, elo edukasi keluarga lo dulu. Suami dan anak gue nggak keberatan gue jelas-jelas nunjukkin kalo gue bodoh pangkat 9 di buku gue, Ya udah, gue tulis aja apa adanya. Abis baca buku gue, elo pasti kasih komentar begini,"Meick, gue nggak mau nanya otak elo di mana pas elo dikerjain si Ubi Rebus. Yang gue pengen tanya:Elo sebenernya punya otak apa nggak???!!!"
Kesulitannya apa, elo ngobrol apa, nggak nyambungnya di mana, kegagalan dan keberhasilan lo gimana, dan lain-lain, elo tulis deh. Elo pecah-pecah jadi beberapa tulisan. Kalo ternyata elo posting, kasih hashtag yang umum misalnya #Empath tapi juga pake yang spesifik, misal #Empath123456. Ini mempermudah orang lain saat cari postingan-postingan elo. Posting tulisan elo sendiri. Jangan tulis ulang orang karya orang lain apalagi ngambil tulisan orang lalu mengakui itu sebagai tulisan elo.
Elo mengalami ‘kan betapa sulitnya jadi orang bermasalah atau jadi anggota keluarga dari orang yang bermasalah? Elo capek dan bingung. Elo merasa sendiri. Padahal yang senasib banyak tapi nggak ketauan karena banyak yang ngumpet. Malu berbagi karena menganggap pengalamannya adalah aib.
Nah, tulisan-tulisan elo akan membuat orang-orang yang senasib dengan elo paham bahwa mereka nggak sendirian. Kata Rick Warren,”Why waste a pain? Use it to help others.”
Naikkin level elo, udah kelamaan elo mencari jawaban. Sekarang jadilah jawaban. Tinggalkan legacy, hidup hanya satu kali.
Selamat memperingati World Mental Health Day, 10 Oktober 2019.
10 Oktober 2019, 15.43 WIB