ETALASE
Lo tauk Ananda Sukarlan (andystarblogger.blogspot.com/) nggak sih? Nggak tauk ya? Makanya, elo sih, kerjaannya molor sama browsing onlen shop melulu... Eh ini mah gue, yak, ho...hooo...hoo...
Ananda Sukarlan tuh pianis. Di Youtube ada banyak ABG yang jago mainin karya Bach dan sebagainya. Kalo Ananda mah udah Om-Om gituhhh, umurnya gocap. Nah, kelebihan dia apa dibandingkan ABG-ABG itu?
Pertama, Ananda pernah manggung di semua benua kecuali Antartika. Ya iyalah, lu kate die penguin. Eh tapi ada sih pianis yang pernah maen di situ, disuruh GreenPeace... Kedua, dia juga komposer dan conductor, dia pernah bikin komposisi piano 44 birama dalam 30 menit diselingi ngirim email. Lebih cepet dia bikin musik daripada emak-emak ngelukis alis sebelah.
Nggak heran kalo Ananda masuk dalam "2000 Outstanding Musicians of the 20th Century." Di dunia ada 7 miliar orang, jumlah anak yang les musik di satu kelurahan elite Jakarta lebih dari 2000, lha dia masuk daftar 2000 orang tapi levelnya sedunia terus durasinya seabad. Sakti mandraguna, euy.
Kelebihan ketiga: Dia bikin musik dengan identitas Indonesia yang sangat kuat namun dengan teknik musik klasik.
Ananda pernah ngomong begini…
Jika negara adalah sebuah toko, produk kesenian negara itu adalah etalasenya. Guna etalase? Untuk menarik calon konsumen agar liat-liat lalu masuk toko trus belanja.
Kita bisa lihat contohnya di Salzburg, tempat kelahiran Mozart. Kotanya tuh luasnya 66 km, penduduknya sekitar 153 ribu orang. Kalo Kabupaten Tangerang, gedenya 960 km dan punya warga sekitar 3,5 juta. Eh tapinya GDP Salzburg tahun 2017 nyampe €26.7 miliar euro. Elo kaliin aja dengan 15.500. Angkanya banyak banget jadi baru bisa keluar utuh kalo ngitungnya pake scientific calculator. Adapun pendapatan Kabupaten Tangerang di tahun yang sama cuma 5 triliunan rupiah.
Ini perbandingannya nggak apple to apple tapi tetep gue banding-bandingin biar kita tauk, pemasukan Salzburg tuh gede banget, kontribusi sektor pariwisata termasuk besar dan salah satu nama yang signifikan di sektor ini adalah Mozart. Dia memajang karyanya di etalase toko bernama Salzburg sehingga orang tertarik masuk toko lalu belanja. Di sana ada paket tur ke tempat-tempat yang berkaitan sama Mozart, tauk gak sih lo.
Nah, di titik ini omongan Ananda soal etalase jadi lebih jelas, gitu toh? Pada 13 Januari 2019 di Ciputra Artpreneur, Jakarta, dengan ditemani penyanyi dan beberapa musisi, Ananda akan memajang karya-karyanya di etalase sebuah toko. Nama tokonya?
Indonesia.
***
Gue pernah diprotes orang di rumah gara-gara bolak-balik dengerin ‘Sabda Alam’ dan 'Juwita Malam'. Dua lagu itu lahir dari tangan a romantic family-oriented one-woman man yang matinya pun bahkan saat sedang tidur di pangkuan istri: Ismail Marzuki.
Ananda menganggap musik Ismail layak banget dipajang di etalase. Musisi Indonesia jarang melakukan hal ini karena sulit: Yang dipajang harus musik dengan ciri Indonesia yang kuat dan ada partiturnya sehingga bisa dimainkan oleh musisi-musisi negara lain.
Ananda juga melakukannya melalui Rapsodia Nusantara, serial lagu daerah yang dimainkan secara virtuosik. Kenapa coba dia capek-capek bikin Rapsodia dan mementaskan musik Ismail Marzuki, bukan Beethoven atau Bach? Nggak usah capek-capek melakukan aransemen ulang, ‘kan?
Kalo Ananda mainin karya mereka, nama tokonya jadinya Eropa dong, bukan Indonesia.
BTW, yang memajang karya di etalase Indonesia tentu bukan cuma Ananda. Jokowi juga (Ya iyalah yaaa. Presiden, gituhhh). Beliau mengisi etalase Indonesia dengan prestasi dirinya sendiri plus pencapaian beberapa menterinya, jalan tol, keberhasilan penyelenggaraan Asian Games dan Forum Ekonomi di Bali, dan masih banyak lagi.
Hadirnya orang lain sebelum Jokowi tuntas mengisi etalase akan membuat isi etalase diganti. Kita tahu karakter orang yang akan mengganti isi etalase tersebut sehingga dengan mudah kita bisa menebak barang apa yang akan dia pajang: Penyelenggaraan berbagai event yang carut-marut, prestasi kerja nol, infrastruktur yang memburuk dan akhirnya hancur total…
Konsumen hanya akan melihat sekilas dan tak tertarik masuk toko.
Ananda tak mau etalase Indonesia berubah jelek maka ia memutuskan untuk menyumbangkan sebagian pendapatannya dari konser Millenial Marzukiana ini untuk kampenye Jokowi.
Nah. Ananda udah melakukan bagiannya. Bagaimana dengan kita?
4 Januari 2019, 09. 27 WIB
Ananda Sukarlan tuh pianis. Di Youtube ada banyak ABG yang jago mainin karya Bach dan sebagainya. Kalo Ananda mah udah Om-Om gituhhh, umurnya gocap. Nah, kelebihan dia apa dibandingkan ABG-ABG itu?
Pertama, Ananda pernah manggung di semua benua kecuali Antartika. Ya iyalah, lu kate die penguin. Eh tapi ada sih pianis yang pernah maen di situ, disuruh GreenPeace... Kedua, dia juga komposer dan conductor, dia pernah bikin komposisi piano 44 birama dalam 30 menit diselingi ngirim email. Lebih cepet dia bikin musik daripada emak-emak ngelukis alis sebelah.
Nggak heran kalo Ananda masuk dalam "2000 Outstanding Musicians of the 20th Century." Di dunia ada 7 miliar orang, jumlah anak yang les musik di satu kelurahan elite Jakarta lebih dari 2000, lha dia masuk daftar 2000 orang tapi levelnya sedunia terus durasinya seabad. Sakti mandraguna, euy.
Kelebihan ketiga: Dia bikin musik dengan identitas Indonesia yang sangat kuat namun dengan teknik musik klasik.
Ananda pernah ngomong begini…
Jika negara adalah sebuah toko, produk kesenian negara itu adalah etalasenya. Guna etalase? Untuk menarik calon konsumen agar liat-liat lalu masuk toko trus belanja.
Kita bisa lihat contohnya di Salzburg, tempat kelahiran Mozart. Kotanya tuh luasnya 66 km, penduduknya sekitar 153 ribu orang. Kalo Kabupaten Tangerang, gedenya 960 km dan punya warga sekitar 3,5 juta. Eh tapinya GDP Salzburg tahun 2017 nyampe €26.7 miliar euro. Elo kaliin aja dengan 15.500. Angkanya banyak banget jadi baru bisa keluar utuh kalo ngitungnya pake scientific calculator. Adapun pendapatan Kabupaten Tangerang di tahun yang sama cuma 5 triliunan rupiah.
Ini perbandingannya nggak apple to apple tapi tetep gue banding-bandingin biar kita tauk, pemasukan Salzburg tuh gede banget, kontribusi sektor pariwisata termasuk besar dan salah satu nama yang signifikan di sektor ini adalah Mozart. Dia memajang karyanya di etalase toko bernama Salzburg sehingga orang tertarik masuk toko lalu belanja. Di sana ada paket tur ke tempat-tempat yang berkaitan sama Mozart, tauk gak sih lo.
Nah, di titik ini omongan Ananda soal etalase jadi lebih jelas, gitu toh? Pada 13 Januari 2019 di Ciputra Artpreneur, Jakarta, dengan ditemani penyanyi dan beberapa musisi, Ananda akan memajang karya-karyanya di etalase sebuah toko. Nama tokonya?
Indonesia.
***
Gue pernah diprotes orang di rumah gara-gara bolak-balik dengerin ‘Sabda Alam’ dan 'Juwita Malam'. Dua lagu itu lahir dari tangan a romantic family-oriented one-woman man yang matinya pun bahkan saat sedang tidur di pangkuan istri: Ismail Marzuki.
Ananda menganggap musik Ismail layak banget dipajang di etalase. Musisi Indonesia jarang melakukan hal ini karena sulit: Yang dipajang harus musik dengan ciri Indonesia yang kuat dan ada partiturnya sehingga bisa dimainkan oleh musisi-musisi negara lain.
Ananda juga melakukannya melalui Rapsodia Nusantara, serial lagu daerah yang dimainkan secara virtuosik. Kenapa coba dia capek-capek bikin Rapsodia dan mementaskan musik Ismail Marzuki, bukan Beethoven atau Bach? Nggak usah capek-capek melakukan aransemen ulang, ‘kan?
Kalo Ananda mainin karya mereka, nama tokonya jadinya Eropa dong, bukan Indonesia.
BTW, yang memajang karya di etalase Indonesia tentu bukan cuma Ananda. Jokowi juga (Ya iyalah yaaa. Presiden, gituhhh). Beliau mengisi etalase Indonesia dengan prestasi dirinya sendiri plus pencapaian beberapa menterinya, jalan tol, keberhasilan penyelenggaraan Asian Games dan Forum Ekonomi di Bali, dan masih banyak lagi.
Hadirnya orang lain sebelum Jokowi tuntas mengisi etalase akan membuat isi etalase diganti. Kita tahu karakter orang yang akan mengganti isi etalase tersebut sehingga dengan mudah kita bisa menebak barang apa yang akan dia pajang: Penyelenggaraan berbagai event yang carut-marut, prestasi kerja nol, infrastruktur yang memburuk dan akhirnya hancur total…
Konsumen hanya akan melihat sekilas dan tak tertarik masuk toko.
Ananda tak mau etalase Indonesia berubah jelek maka ia memutuskan untuk menyumbangkan sebagian pendapatannya dari konser Millenial Marzukiana ini untuk kampenye Jokowi.
Nah. Ananda udah melakukan bagiannya. Bagaimana dengan kita?
4 Januari 2019, 09. 27 WIB