Film 'The Son of God':
Perubahan Kronologi dan Pesan Utama yang Tinggal Tetap
‘The Son of God' menjadi box-office di Amerika. Hal paling menarik, film ini memberikan kita gambaran mengenai murid-murid Yesus, bukan hanya tentang Tuan mereka. Beberapa di antara mereka bersikap seperti centeng bos mafia atau anak pejabat:Petantang-petenteng, minta dijitak. Pasti memang ada murid-muridNya yang pecicilan mengingat Tuan mereka bisa buat apa saja dan bahkan penguasa panik saat melihatNya. Alkitab sendiri mencatat bahwa murid-muridNya memang pernah berdebat tentang siapa yang terhebat di antara mereka. Dari sekian film tentang Yesus yang pernah saya tonton, hanya ‘The Son of God’ yang memberikan kesempatan pada penonton untuk berimajinasi tentang apa rasanya menjadi murid Yesus.
Penggambaran Bunda Maria di film ini juga lebih baik dibandingkan apa yang dilakukan Mel Gibson. Di ‘Passion of the Christ’, Bunda Maria dilukiskan sebagai ibu yang sedang depresi dan hanya diam melihat Anaknya disiksa. Masa’ lihat anak kita dipecut 39 kali, kita ngga kalap ? Nah, di ‘The Son of God’, Bunda Maria digambarkan dengan manusiawi. Memang dia ngga kayak emak-emak dari etnis-etnis tertentu yang punya alokasi waktu khusus untuk nangis meraung-raung pas upacara adat kematian, namun paling ngga’, ada adegan yang menunjukkan Bunda Maria menangis dan ikut teriak-teriak minta anakNya dibebaskan.
Berbeda dengan film Yesus lainnya, film ini juga memvisualisasikan kekejaman Romawi yang replikanya bisa kita temui pada diri Orde Baru saat 1998. Pemeran Pontius Pilatus bisa jadi adalah salah satu tokoh yang dipilih melalui proses casting terketat: Wajahnya dingin dan bengis. Memberi perintah pada anak buahnya untuk mengeksekusi Yesus atau pun makan dengan istri sambil leyeh-leyeh, ia lakukan dengan raut wajah yang sama persis. Anak buahnya juga berhati sedingin atasannya dan kekerasan yang mereka lakukan tertangkap jelas oleh kamera.
Beberapa tokoh memang digambarkan dengan menarik. Petrus kerjaannya marah-marah melulu mirip kompor mleduk, Yohanes Pembaptis punya rambut gimbal macam Bob Marley, istri Pilatus cantik macam foto model (mengamini pendapat umum bahwa cowok kalo jelek asal kaya, ceweknya pasti cantik), kuku Yesus item-item karena kerjaanNya blusukan melulu dan tak sempat merawat diri. Bahkan saking sibuknya, saat pulang kampung, Ia tak mampir ke rumah ibuNya dan malah ibuNya yang mendatangi Dia.
Dalam beberapa adegan Yesus digambarkan seperti superstar:Cewek langsung berbinar-binar matanya saat wajahnya Ia usap, anak-anak kecil jingkrak-jingkrak melihatNya dan orang dewasa berkerumun lalu mencoba menyentuh jubahNya. Untuk melangkah, Ia harus dibantu para murid yang membukakan jalan, meminta para fans untuk membiarkan Ia lewat. KehadiranNya mengingatkan kita pada para penyanyi yang turun dari mobil dan dikerubuti para groupies. Anda merasa aneh ? Bayangkanlah Anda hidup di masa itu, tak tahu bahwa Ia adalah Tuhan dan tak tahu bahwa Anda dan Dia akan masuk Alkitab. Jangan-jangan Anda malah bersikap lebih norak daripada fans gadungan itu-fans yang tak lama kemudian juga meneriakiNya agar Ia disalib.
Namun sayang sekali, realisasi wajah dari tokoh Yesus terasa kurang pas. Kendati orang Yahudi, Yesus digambarkan sebagai sosok yang amat bule. Bintang film aslinya memiliki warna kulit putih kecoklatan namun di film, skin tonenya berubah total. Ide mengenai penampilan Barabas pun jangan-jangan digagas oleh orang yang juga menciptakan satu tokoh kriminal di sebuah film science-fiction keluaran tahun lalu yang sayang saya sudah lupa apa judulnya.
Film ini bagus dan ada dua hal yang bisa membuatnya menjadi lebih bagus.
Pertama, di ujung film ditulis bahwa murid-murid Yesus mati saat mengabarkan Injil, kecuali Yohanes yang dihukum dalam bentuk hidup sendirian di tempat terpencil alias pengasingan. Agar penonton tahu bahwa fakta kematian mereka tidaklah sederhana, semestinya dirinci bagaimana cara mereka mati. Petrus disalib terbalik, Markus diseret hidup-hidup oleh kuda dan melewati jalan berbatu, Lukas digantung,Thomas mati ditombak,dan lain-lain.
Kedua, bentuk cambukan dan bekas luka dibuat mirip asli. Di ujung cambuk ada bola besi berduri jadi cambukan tak menimbulkan bunyi karena duri-duri masuk ke daging punggung. Bekas lukanya pun bukan berupa garis merah melainkan badan yang hancur seperti kebun yang habis digali.
Ngga ada salahnya orang non-Kristiani menonton film ini, lumayan, nambah-nambah pengetahuan. Di dalamnya banyak kata bijak yang kualitasnya jauh melampaui kalimat-kalimat para motivator yang berhonor puluhan juta sekali seminar. Untuk non-Kristiani yang sangat alergi dengan Yesus: Anda tak akan menjadi petani hanya karena nyangkul di sawah satu kali. Kita tak akan jadi orang Amerika hanya karena makan di Mc Donalds. Berada di toko tetangga sehari penuh tak membuat kita serta-merta menjadi pedagang. Rileks aja....Anda tak akan jadi kafir hanya karena menonton film ini. Jadi, tenang aja, nonton deh.
Bagi pemeluk Kristiani, tontonlah. Bawa tu anak-anak ente, ponakan, engkong, babe, emak,....Bagi mereka yang over-analytical, yang hal-hal kecil diurus-urus sampe bikin puyeng, kronologi kata-kata yang disampaikan Yesus memang agak kacau dan mungkin akan mengganggu kenikmatan menonton. Apa yang di Kitab Yohanes ada di halaman-halaman depan, di film ini bisa jadi akan ditemukan di bagian tengah. Buat saya sih tidak masalah. Penuturan dilakukan tetap dalam konteks yang tepat. Walau penyampaian kata-kata terjadi dengan urutan yang perlu diperbaiki, pesan utamanya tetap sama dengan apa yang disampaikan film-film Yesus lainnya:
Saat Dia menciptakan dunia untuk kita, Dia hanya berkata-kata sambil duduk-duduk tenang di surgaNya yang bersih.
Namun saat Dia ingin mengungkapkan cinta kepada kita, Dia turun ke bumi yang kotor, merangkak,dipukuli,berdarah, hingga mati.
Pada akhirnya,The Son of God bukanlah hanya film mengenai Sosok bernama Yesus.
The Son of God adalah juga film tentang sebuah kisah cinta. Tepatnya:Cinta buta.
3 April 2014
14.20 WIB