Give Credit Where Credit Is Due:
Rekayasa Penerbitan Surat-Surat Kartini
Partai NasDem, 21 April pagi, melalui iklan TV menampilkan beberapa perempuan cantik berkebaya yang bicara tentang kemajuan wanita dan mengaitkannya dengan Kartini. Cucu kyai dan anak bupati ini memang amat dikenal sebagai perintis dibukanya kesempatan untuk bersekolah bagi kaum perempuan. Sesudah menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, di usia 24 tahun kutu buku yang sempat jadi vegetarian ini membuka sekolah untuk perempuan di rumahnya.
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 dan sempat mengenyam pendidikan hingga ia memasuki usia puber yaitu 12 tahun. Saat ia berhenti bersekolah secara formal itulah, ia mulai menggunakan banyak waktu untuk membaca. Ketika berusia 20 tahun, kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis berkebangsaan Belanda, Kartini menyatakan keinginannya untuk menjadi gadis yang independen, modern, dan ikut berperan dalam tugas-tugas kemanusiaan.
Kartini juga rajin bersurat-suratan dengan sahabatnya yang lain, Rosa Abendanon, seorang feminis kelahiran Puerto Rico.
Tahun 1902, ketua Partai Sosial Demokratik Belanda, H.H van Kol, memaksa parlemen untuk memberi bea siswa bagi Kartini untuk bersekolah di Belanda. Ayahnya jatuh sakit dan bea siswa itu, atas permintaan Kartini, dialihkan kepada Agus Salim. Kartini lalu menikah, membuka sekolah namun meninggal pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun, 4 hari setelah ia melahirkan.
***
Korespondensi Kartini dengan teman-temannya lalu dibukukan oleh J.H Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda periode 1900-1905, dan diterbitkan pada 1911. Banyak ahli sejarah yang yakin bahwa penerbitan ini mengandung agenda tersembunyi pemerintah Belanda. Abendanon adalah pendukung politik etis (politik balas budi) Belanda dan ia hanya memasukkan sebagian surat Kartini ke dalam buku yang ia terbitkan. Apa yang kita baca sekarang adalah hasil seleksi Abendanon yang ingin menunjukkan bahwa Belanda punya andil amat signifikan dalam progresivitas berpikir wanita Indonesia. Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar, Doktor Sosiologi lulusan Harvard University, terhadap Kartini berujung pada kesimpulan bahwa Kartini memang secara sengaja dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka”. Keyakinan Harsja ini dipertegas oleh fakta bahwa Abendanon sesungguhnya memberi perhatian kepada Kartini atas permintaan Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda.
Walau pikirannya termasuk amat maju di zamannya, Kartini memang bukan perempuan pejuang yang bisa dengan mudah menarik perhatian publik terutama akademisi. Para ahli sejarah punya segudang data tentang perempuan-perempuan yang lahir sebelum Kartini atau satu era dengannya, yang berkiprah dalam format yang lebih nyata dan dalam skala yang jauh lebih besar dibanding Kartini.
Kartini pernah menerbitkan beberapa tulisan di media Belanda, yang otomatis hanya dibaca oleh penduduk Belanda, dan membuka sekolah di rumahnya. Rohana Kudus (1884-1947) dari Padang menerbitkan tulisannya di beberapa media antara lain Wanita Bergerak (Padang) dan Cahaya Sumatra (Medan) serta mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916). Rohana tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Dewi Sartika dari Bandung juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) di Bandung yang akhirnya juga merambah wilayah di luar Bandung.
Kartini hanya bergerak di wilayah ide dan dalam surat-suratnya tak pernah sekalipun ia menentang penjajahan Belanda. Ia juga dikritik keras karena protes tentang poligami di beberapa suratnya namun akhirnya rela dipersunting sebagai istri keempat oleh Bupati Rembang. Ketika itu, beberapa perempuan lain sudah bergerak lebih maju dengan melawan Belanda secara aktif. Cut Nyak Dhien (1850-1908) juga lahir dari keluarga terpandang, terkenal cantik serta cerdas dan menikah dalam usia 12 tahun. Tahun 1880, setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien dilamar beberapa kali oleh Teuku Umar. Lamaran akhirnya diterima setelah Umar mengizinkannya ikut serta dalam peperangan melawan Belanda.
Malahayati, perempuan Aceh lainnya, memimpin 2.000 janda pahlawan berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Ia juga berani bertempur satu lawan satu di geladak kapal melawan Belanda. Sedangkan Sultanah Safiatudin mahir berbahasa Melayu, Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, 1644-1675, pendidikan dan kesusastraan berkembang pesat dan VOC digagalkan dari upaya mereka untuk menduduki Aceh dan untuk memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Tentu saja masih banyak perempuan pejuang lainnya, Enny Saelan dari Makasar, misalnya. Perawat Rumah Sakit Stella Maris ini menggerakkan para pelajar untuk menyerbu kantor NICA (Nederland Indisch Civil Administration) pada 1945. Dalam sebuah pertempuran di 1946, 9 korban tewas berhasil diidentifikasi:8 prajurit Belanda dan...Emmy Saelan.
Satu lagi, hmmm...Siapa lagi kalau bukan Ade Rostina Sitompul ? Peraih penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thien Hien Awards di tahun 1996, masuk daftar 1000 Women for the Nobel Peace Prize 2005, dianugrahi medali oleh pemerintah Timor Leste pada 2009, berdiri di garis depan dalam begitu banyak aksi demonstrasi dan dikejar-kejar Front Pembela Islam saat usianya sekitar 70 tahun. Beliau memang tidak mungkin ditasbihkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia karena beliau banyak membantu orang Timor-Timur (nama Timor Leste sebelum merdeka) dari penindasan kolonial Jakarta semasa Soeharto menjadi raja. Justru di situ letak keistimewaannya:Beliau menunjukkan bahwa welas asih dan semangat melawan penindasan harusnya melintasi batas negara. Kemanusiaan adalah ide universal.
***
Tak bisa disangkal, Kartini punya jasa besar dalam kemajuan Indonesia. Dri Arbaningsih dalam bukunya, Kartini dari Sisi Lain, menulis bahwa pada 1903, Kartini membentuk komunitas Jong Java bersama para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arts). Ini bisa dianggap salah satu benih kebangkitan Jawa sebagai bangsa dan akhirnya berkaitan dengan pendirian Boedi Oetomo di tahun 1908 dan lahirnya Soempah Poemuda pada 1928.
Bagaimanapun, kita tak bisa menyisihkan nama-nama pejuang perempuan lainnya. Tak perlu mengurangi rasa hormat kita pada Kartini namun mutlak harus mengangkat nama sebagian perempuan pejuang ke tempat yang lebih tinggi daripada Kartini. Sebagai guru, saya berharap sekolah-sekolah berhenti memperingati Hari Kartini pada 21 April. Pengganti ideal adalah memperingati Hari Perempuan yang jatuh pada 22 Desember tapi saat itu, setahu saya, sekolah-sekolah sudah libur. Tentu saja saya juga berharap instansi-instansi atau organisasi lain tak lagi memperingati hari Kartini.
Kartini adalah seorang pemikir cerdas dan juga punya kiprah nyata dalam memajukan bangsa. Namun, tengoklah para perempuan pejuang lainnya. Mereka berpikir aktif , bergerak secara agresif , menyisihkan lengan baju dalam arti literal, mengangkat senjata dalam makna yang sesungguhnya, berperang baik dari segi gagasan maupun secara harafiah.
Give credits where the credit is due. Berilah penghargaan kepada mereka yang layak menerimanya, begitu bukan ?
Lippo-Cikarang, 21 April 2012, 10.50 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 dan sempat mengenyam pendidikan hingga ia memasuki usia puber yaitu 12 tahun. Saat ia berhenti bersekolah secara formal itulah, ia mulai menggunakan banyak waktu untuk membaca. Ketika berusia 20 tahun, kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis berkebangsaan Belanda, Kartini menyatakan keinginannya untuk menjadi gadis yang independen, modern, dan ikut berperan dalam tugas-tugas kemanusiaan.
Kartini juga rajin bersurat-suratan dengan sahabatnya yang lain, Rosa Abendanon, seorang feminis kelahiran Puerto Rico.
Tahun 1902, ketua Partai Sosial Demokratik Belanda, H.H van Kol, memaksa parlemen untuk memberi bea siswa bagi Kartini untuk bersekolah di Belanda. Ayahnya jatuh sakit dan bea siswa itu, atas permintaan Kartini, dialihkan kepada Agus Salim. Kartini lalu menikah, membuka sekolah namun meninggal pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun, 4 hari setelah ia melahirkan.
***
Korespondensi Kartini dengan teman-temannya lalu dibukukan oleh J.H Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda periode 1900-1905, dan diterbitkan pada 1911. Banyak ahli sejarah yang yakin bahwa penerbitan ini mengandung agenda tersembunyi pemerintah Belanda. Abendanon adalah pendukung politik etis (politik balas budi) Belanda dan ia hanya memasukkan sebagian surat Kartini ke dalam buku yang ia terbitkan. Apa yang kita baca sekarang adalah hasil seleksi Abendanon yang ingin menunjukkan bahwa Belanda punya andil amat signifikan dalam progresivitas berpikir wanita Indonesia. Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar, Doktor Sosiologi lulusan Harvard University, terhadap Kartini berujung pada kesimpulan bahwa Kartini memang secara sengaja dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka”. Keyakinan Harsja ini dipertegas oleh fakta bahwa Abendanon sesungguhnya memberi perhatian kepada Kartini atas permintaan Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda.
Walau pikirannya termasuk amat maju di zamannya, Kartini memang bukan perempuan pejuang yang bisa dengan mudah menarik perhatian publik terutama akademisi. Para ahli sejarah punya segudang data tentang perempuan-perempuan yang lahir sebelum Kartini atau satu era dengannya, yang berkiprah dalam format yang lebih nyata dan dalam skala yang jauh lebih besar dibanding Kartini.
Kartini pernah menerbitkan beberapa tulisan di media Belanda, yang otomatis hanya dibaca oleh penduduk Belanda, dan membuka sekolah di rumahnya. Rohana Kudus (1884-1947) dari Padang menerbitkan tulisannya di beberapa media antara lain Wanita Bergerak (Padang) dan Cahaya Sumatra (Medan) serta mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916). Rohana tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Dewi Sartika dari Bandung juga mendirikan Sakola Kautamaan Istri (1910) di Bandung yang akhirnya juga merambah wilayah di luar Bandung.
Kartini hanya bergerak di wilayah ide dan dalam surat-suratnya tak pernah sekalipun ia menentang penjajahan Belanda. Ia juga dikritik keras karena protes tentang poligami di beberapa suratnya namun akhirnya rela dipersunting sebagai istri keempat oleh Bupati Rembang. Ketika itu, beberapa perempuan lain sudah bergerak lebih maju dengan melawan Belanda secara aktif. Cut Nyak Dhien (1850-1908) juga lahir dari keluarga terpandang, terkenal cantik serta cerdas dan menikah dalam usia 12 tahun. Tahun 1880, setelah suaminya meninggal, Cut Nyak Dhien dilamar beberapa kali oleh Teuku Umar. Lamaran akhirnya diterima setelah Umar mengizinkannya ikut serta dalam peperangan melawan Belanda.
Malahayati, perempuan Aceh lainnya, memimpin 2.000 janda pahlawan berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Ia juga berani bertempur satu lawan satu di geladak kapal melawan Belanda. Sedangkan Sultanah Safiatudin mahir berbahasa Melayu, Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, 1644-1675, pendidikan dan kesusastraan berkembang pesat dan VOC digagalkan dari upaya mereka untuk menduduki Aceh dan untuk memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Tentu saja masih banyak perempuan pejuang lainnya, Enny Saelan dari Makasar, misalnya. Perawat Rumah Sakit Stella Maris ini menggerakkan para pelajar untuk menyerbu kantor NICA (Nederland Indisch Civil Administration) pada 1945. Dalam sebuah pertempuran di 1946, 9 korban tewas berhasil diidentifikasi:8 prajurit Belanda dan...Emmy Saelan.
Satu lagi, hmmm...Siapa lagi kalau bukan Ade Rostina Sitompul ? Peraih penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thien Hien Awards di tahun 1996, masuk daftar 1000 Women for the Nobel Peace Prize 2005, dianugrahi medali oleh pemerintah Timor Leste pada 2009, berdiri di garis depan dalam begitu banyak aksi demonstrasi dan dikejar-kejar Front Pembela Islam saat usianya sekitar 70 tahun. Beliau memang tidak mungkin ditasbihkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia karena beliau banyak membantu orang Timor-Timur (nama Timor Leste sebelum merdeka) dari penindasan kolonial Jakarta semasa Soeharto menjadi raja. Justru di situ letak keistimewaannya:Beliau menunjukkan bahwa welas asih dan semangat melawan penindasan harusnya melintasi batas negara. Kemanusiaan adalah ide universal.
***
Tak bisa disangkal, Kartini punya jasa besar dalam kemajuan Indonesia. Dri Arbaningsih dalam bukunya, Kartini dari Sisi Lain, menulis bahwa pada 1903, Kartini membentuk komunitas Jong Java bersama para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arts). Ini bisa dianggap salah satu benih kebangkitan Jawa sebagai bangsa dan akhirnya berkaitan dengan pendirian Boedi Oetomo di tahun 1908 dan lahirnya Soempah Poemuda pada 1928.
Bagaimanapun, kita tak bisa menyisihkan nama-nama pejuang perempuan lainnya. Tak perlu mengurangi rasa hormat kita pada Kartini namun mutlak harus mengangkat nama sebagian perempuan pejuang ke tempat yang lebih tinggi daripada Kartini. Sebagai guru, saya berharap sekolah-sekolah berhenti memperingati Hari Kartini pada 21 April. Pengganti ideal adalah memperingati Hari Perempuan yang jatuh pada 22 Desember tapi saat itu, setahu saya, sekolah-sekolah sudah libur. Tentu saja saya juga berharap instansi-instansi atau organisasi lain tak lagi memperingati hari Kartini.
Kartini adalah seorang pemikir cerdas dan juga punya kiprah nyata dalam memajukan bangsa. Namun, tengoklah para perempuan pejuang lainnya. Mereka berpikir aktif , bergerak secara agresif , menyisihkan lengan baju dalam arti literal, mengangkat senjata dalam makna yang sesungguhnya, berperang baik dari segi gagasan maupun secara harafiah.
Give credits where the credit is due. Berilah penghargaan kepada mereka yang layak menerimanya, begitu bukan ?
Lippo-Cikarang, 21 April 2012, 10.50 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-