Gue Pernah Deket Banget Sama Gay, Loh.
Gue udah lama terganggu dengan cara kaum moralis dan agamis mengelola isu LGBT. Mereka...
Ehm. Bentar ya, gue ngaca dulu. Jadi takut, jangan-jangan gue mesti pake 'kami'... Lanjut. Gue teteup pake 'mereka' ya (Sok PD aje deh gue nggak masuk kategori itu, pura-pura nggak ngerasa...).
Mereka kalo menghujat LGBT, ampunnnn. Lagaknya udah kayak kebagusan aja, gituh. Padahal kemudahan dan keindahan di dunia banyak diciptakan oleh kaum LGBT. Alan Turing bikin komputer. Walt Whitman nyiptain puisi bagus-bagus. Liberace main pianonya keren (lu coba cari filmnya, bagus. Gue nonton pas jaman batu, kayaknya waktu gue SMA). Ellen de Genres bikin hidup gue jadi meriah tiap kali gue liat talkshownya...
Secara teologis gue termasuk sangat konservatif jadi otomatis gue nggak mendukung LGBT. Bagaimanapun, gue pernah bekerja sama dengan lesbian serta gay dan pernah punya teman ngobrol yang gay juga.
Kesan gue:Mereka ya sama aja kayak heteroseksual. Yang baik ya baik, yang ngeselin ya minta digetok. Bagaimanapun, lebih mudah untuk mengasihi mereka daripada mengasihi penghujat mereka. Para penghujat rata-rata adalah kaum agamis yang menganggap kasih adalah properti eksklusif mereka padahal kasih 'kan nggak mengenal agama. Bener begitu 'kan ?
Gue pernah loh beberapa tahun bersahabat dengan seorang gay. Ada yang bilang ‘gay is a girl’s best friend.’ Bener itu, enak banget main sama dia. Apakah gue naksir? Ya oloooo, dia gay. Ngapain dah naksir gay. Menderita banget. Kagak bakal ditaksir balik, yak? Naksir cowok normal aja pusing. Naksir siapapun nggak enak lah, naksir mana ada sih yang enak makanya disebutnya JATUH cinta. Bikin sakit soalnya, uhuk...uhukkk...
Apakah saat bergaul dengan mereka, gue mendukung LGBT? Nggak. Trus, kok mau main sama mereka? Lah, memangnya gue cuma bisa dan boleh main dengan orang sejenis? BTW, definisi sejenis apa ya? Maksudnya sama gitu kayak gue: Sama-sama sipit, misalnya? Yeh. Ini hidup kagak keren amat, yak. Segregated banget. Berasa kayak Amerika jaman Martin Luther King, Jr.masih idup. #TepokJidat
Dalam hal preferensi seksual, ada perdebatan tentang iman, natur manusia, hakekat dosa, kehendak bebas, tentang sains termasuk mengenai hereditas dan genetika, konstruksi sosial, aspek psikologis, dan lain-lain. Urusannya jangan disederhanakan menjadi ‘kita kutuk perbuatannya lalu doakan orangnya dan…Tadaaa… Pasti nanti Bambang mutusin Eko terus naksir Siti dan mereka hidup bahagia sampai selama-lamanya’. Ya olo...Nggak gitu-gitu amat, dah. Ribet urusannya.
... dan oleh karena itulah kita pantang menyederhanakan masalah.
Kalo mau radikal, dalam beberapa aspek cukup ke dalam aja. Nggak semua hal perlu diumumkan dengan lantang. Ada yang lebih baik disimpan. Ada yang harus disuarakan tapi dengan strategi, bukan asal buka mulut.1-2 isu bisa diangkat jika sikon memungkinkan. Jika nggak mungkin, ya diam saja. Ya tapi bisa saja sih ketidakmungkinan itu adalah suara yang berteriak pada kita untuk berjerih-lelah membuatnya menjadi mungkin. Ada juga isu yang cukup hanya diperbincangkan sembari santai ngopi-ngopi.
We are adults, we can handle differences, begitu bukan? Walau kita tak mendukung pilihan mereka tentang orientasi seksual, sebagai saudara dalam kemanusiaan kita wajib menolong. Mereka dibully dan dipinggirkan. Banyak orang yang mendadak jadi tuhan, eh salah, jadi setan deh, saat berhadapan dengan mereka:Menghukum, mencaci, menghujat. Padahal, mereka maunya simpel: Hanya ingin dimanusiakan. Sedih, ya?
Kalo lo nggak dukung LGBT, daripada waktu lo diabisin buat nyumpahin mereka, coba deh lo pake itu waktu untuk belajar mengekang lidah. Cobalah untuk bicara lebih jarang, membaca lebih banyak serta mendengarkan lebih lama. Tugas kitalah untuk menunjukkan kepada kaum LGBT bahwa walau beda prinsip, kita menghargai hak mereka untuk hidup dan berkarya. Tugas kita jugalah untuk mengatakan kepada yang membenci bahwa kita tak usah menghujat dan justru semestinya berteman dengan mereka. Tugas kitalah untuk belajar memahami mereka berikut pilihan hidup yang mereka ambil walau kita tak akan pernah bisa menyetujui dan membenarkan.
Percuma lo nambah umur tiap tahun kalo buntut-buntutnya hanya sekedar bertambah tua tapi nggak menjadi dewasa. Orang dewasa mah tau bahwa mengerti dan menyetujui adalah dua hal yang berlainan.
Hidup kita jauh lebih luas dibandingkan rumah ibadah. Isi hidup nggak melulu perihal dosa dan urusan ritual. Sangat picik, bodoh, dan jahat jika kita fokus pada upaya untuk meningkatkan hubungan dengan Tuhan tapi lalu melupakan relasi dengan sesama.
Kehidupan yang sarat dengan ibadah individual tapi defisit kesalehan sosial? Yaela.
Gue nggak bisa bilang gue mencintai Nyokap gue kalau gue membenci kakak-kakak gue karena membenci orang-orang yang beliau cintai akan membuat hatinya patah. ‘Payah’nya, hanya sekedar nggak membenci ternyata nggak cukup. Gue bahkan nggak bisa bilang gue mencintai Nyokap kalau gue nggak mencintai kakak-kakak gue.
Kalimat cinta gue ke Ibu hanya valid jika gue juga mencintai anak-anaknya yang lain.
Kalian mendaras doa setiap hari. Tidakkah hal di atas berlaku juga dalam ungkapan cinta kalian kepada Tuhan?
30 Juni 2018, 22.33 WIB
Ehm. Bentar ya, gue ngaca dulu. Jadi takut, jangan-jangan gue mesti pake 'kami'... Lanjut. Gue teteup pake 'mereka' ya (Sok PD aje deh gue nggak masuk kategori itu, pura-pura nggak ngerasa...).
Mereka kalo menghujat LGBT, ampunnnn. Lagaknya udah kayak kebagusan aja, gituh. Padahal kemudahan dan keindahan di dunia banyak diciptakan oleh kaum LGBT. Alan Turing bikin komputer. Walt Whitman nyiptain puisi bagus-bagus. Liberace main pianonya keren (lu coba cari filmnya, bagus. Gue nonton pas jaman batu, kayaknya waktu gue SMA). Ellen de Genres bikin hidup gue jadi meriah tiap kali gue liat talkshownya...
Secara teologis gue termasuk sangat konservatif jadi otomatis gue nggak mendukung LGBT. Bagaimanapun, gue pernah bekerja sama dengan lesbian serta gay dan pernah punya teman ngobrol yang gay juga.
Kesan gue:Mereka ya sama aja kayak heteroseksual. Yang baik ya baik, yang ngeselin ya minta digetok. Bagaimanapun, lebih mudah untuk mengasihi mereka daripada mengasihi penghujat mereka. Para penghujat rata-rata adalah kaum agamis yang menganggap kasih adalah properti eksklusif mereka padahal kasih 'kan nggak mengenal agama. Bener begitu 'kan ?
Gue pernah loh beberapa tahun bersahabat dengan seorang gay. Ada yang bilang ‘gay is a girl’s best friend.’ Bener itu, enak banget main sama dia. Apakah gue naksir? Ya oloooo, dia gay. Ngapain dah naksir gay. Menderita banget. Kagak bakal ditaksir balik, yak? Naksir cowok normal aja pusing. Naksir siapapun nggak enak lah, naksir mana ada sih yang enak makanya disebutnya JATUH cinta. Bikin sakit soalnya, uhuk...uhukkk...
Apakah saat bergaul dengan mereka, gue mendukung LGBT? Nggak. Trus, kok mau main sama mereka? Lah, memangnya gue cuma bisa dan boleh main dengan orang sejenis? BTW, definisi sejenis apa ya? Maksudnya sama gitu kayak gue: Sama-sama sipit, misalnya? Yeh. Ini hidup kagak keren amat, yak. Segregated banget. Berasa kayak Amerika jaman Martin Luther King, Jr.masih idup. #TepokJidat
Dalam hal preferensi seksual, ada perdebatan tentang iman, natur manusia, hakekat dosa, kehendak bebas, tentang sains termasuk mengenai hereditas dan genetika, konstruksi sosial, aspek psikologis, dan lain-lain. Urusannya jangan disederhanakan menjadi ‘kita kutuk perbuatannya lalu doakan orangnya dan…Tadaaa… Pasti nanti Bambang mutusin Eko terus naksir Siti dan mereka hidup bahagia sampai selama-lamanya’. Ya olo...Nggak gitu-gitu amat, dah. Ribet urusannya.
... dan oleh karena itulah kita pantang menyederhanakan masalah.
Kalo mau radikal, dalam beberapa aspek cukup ke dalam aja. Nggak semua hal perlu diumumkan dengan lantang. Ada yang lebih baik disimpan. Ada yang harus disuarakan tapi dengan strategi, bukan asal buka mulut.1-2 isu bisa diangkat jika sikon memungkinkan. Jika nggak mungkin, ya diam saja. Ya tapi bisa saja sih ketidakmungkinan itu adalah suara yang berteriak pada kita untuk berjerih-lelah membuatnya menjadi mungkin. Ada juga isu yang cukup hanya diperbincangkan sembari santai ngopi-ngopi.
We are adults, we can handle differences, begitu bukan? Walau kita tak mendukung pilihan mereka tentang orientasi seksual, sebagai saudara dalam kemanusiaan kita wajib menolong. Mereka dibully dan dipinggirkan. Banyak orang yang mendadak jadi tuhan, eh salah, jadi setan deh, saat berhadapan dengan mereka:Menghukum, mencaci, menghujat. Padahal, mereka maunya simpel: Hanya ingin dimanusiakan. Sedih, ya?
Kalo lo nggak dukung LGBT, daripada waktu lo diabisin buat nyumpahin mereka, coba deh lo pake itu waktu untuk belajar mengekang lidah. Cobalah untuk bicara lebih jarang, membaca lebih banyak serta mendengarkan lebih lama. Tugas kitalah untuk menunjukkan kepada kaum LGBT bahwa walau beda prinsip, kita menghargai hak mereka untuk hidup dan berkarya. Tugas kita jugalah untuk mengatakan kepada yang membenci bahwa kita tak usah menghujat dan justru semestinya berteman dengan mereka. Tugas kitalah untuk belajar memahami mereka berikut pilihan hidup yang mereka ambil walau kita tak akan pernah bisa menyetujui dan membenarkan.
Percuma lo nambah umur tiap tahun kalo buntut-buntutnya hanya sekedar bertambah tua tapi nggak menjadi dewasa. Orang dewasa mah tau bahwa mengerti dan menyetujui adalah dua hal yang berlainan.
Hidup kita jauh lebih luas dibandingkan rumah ibadah. Isi hidup nggak melulu perihal dosa dan urusan ritual. Sangat picik, bodoh, dan jahat jika kita fokus pada upaya untuk meningkatkan hubungan dengan Tuhan tapi lalu melupakan relasi dengan sesama.
Kehidupan yang sarat dengan ibadah individual tapi defisit kesalehan sosial? Yaela.
Gue nggak bisa bilang gue mencintai Nyokap gue kalau gue membenci kakak-kakak gue karena membenci orang-orang yang beliau cintai akan membuat hatinya patah. ‘Payah’nya, hanya sekedar nggak membenci ternyata nggak cukup. Gue bahkan nggak bisa bilang gue mencintai Nyokap kalau gue nggak mencintai kakak-kakak gue.
Kalimat cinta gue ke Ibu hanya valid jika gue juga mencintai anak-anaknya yang lain.
Kalian mendaras doa setiap hari. Tidakkah hal di atas berlaku juga dalam ungkapan cinta kalian kepada Tuhan?
30 Juni 2018, 22.33 WIB