I’m Free At Last!:
Akhirnya Gue Memaafkan Psikopat Tersebut
(Tulisan ke-1 dari 2 Tulisan)
Gue dikerjain psikopat. Gue nggak nulis detil ya, udah kebanyakan nulis soal ini. Kita sebut aja si psikopat sebagai Es Teh Tawar. Gak ada maksud apa-apa, tadi siang gue minum es teh tawar hampir 2 gelas jadi inget ini pas nulis. Kalo pake nama orang nanti ada yang tersinggung.
Gue berdoa setiap hari supaya hidup si Es Teh Tawar susah dan agar Tuhan membalaskan dendam gue ke dia (di agama gue ada ayat yang bunyinya “Pembalasan adalah hak-Ku”). Temen-temen gue nyuruh gue maafin dia. Gue nggak mau karena gue waktu itu pikir,” Lah, Tuhan ‘kan nyuruh kita maafin manusia, bukan maafin setan.”
Gue berbulan-bulan stress berat karena gue hanya butuh 30an menit untuk menghancurkan dia: Buka Google Drive trus kumpulin screensyut WA dan postingan dia di sosmed yang menunjukkan bahwa dia punya ciri-ciri psikopat dan bahwa dia selingkuh dengan ‘orang penting’.
Print dan kirim hardcopynya ke ibunya, suaminya, dan bosnya. Kirim softcopynya ke Mak Lambe Turah. Trus gue cengengesan deh depan laptop, ngeliatin berita soal dia sliweran di sosmed. Siiip!
Walau gampang, gue nggak mau lakukan itu karena cuma binatang yang balas mencakar ketika dicakar. Makanya gue stress berat. Lha gue kepengen banget liat dia susah dan gue punya cara cepat untuk bikin dia susah. Gratis, cuma modal jempol.
Sungguh sebuah godaan yang asoy geboy.
Stress gue yang segede gunung itu akhirnya turun ke titik nol, mungkin karena gue (ke)banyak(an) menulis. Ini ‘kan katarsis, ya. Walaupun begitu gue masih ingin liat dia susah.
Dari awal gue berkonflik dengan Es Teh Tawar, gue udah bilang ke sahabat-sahabat gue supaya nggak kasih tahu gue si psikopat lagi ngapain. Gue pengen bebas dari orang toxic.
Tapi ‘kan ada orang-orang yang nggak tahu bahwa gue berkonflik dengan dia. Nah, 1-2 bulan belakangan ini mereka cerita tentang apa yang dia lakukan dan mereka mulai berasa ada yang aneh.
Akhirnya gue mikir lama:
Yaelah elo, kapan puasnya? Pengen banget sih liat si Es Teh Tawar susah!? Udahlah…Dia hidupnya nggak bahagia sedangkan keluarga lu fungsional, suami baik, anak sehat. Sahabat ada, pekerjaan punya. Produktif? Lumayan. Berkarya? Udah. Dengan hidup sebagus ini, ngapain lu buang waktu dan tenaga untuk membenci? Elu aja dimaafin Tuhan, masa’ elu nggak maafin dia? ‘Kan lebih jelek sikap elo ke Tuhan daripada sikap dia ke elo?”
Pikiran kayak gitu udah sering mampir di otak tapi baru kemarin gue ngeklik. Gue lalu memutuskan untuk memaafkan:Melepas keinginan untuk balas dendam, mengalahkan rasa sakit hati, dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Hidup gue terlalu berharga untuk dikendalikan rasa benci.
Waktu gue ambil keputusan memaafkan, gue benar-benar merasa ada beban berat diangkat dari pundak gue. Untuk pertama kali dalam sekian bulan, di gereja pas kebaktian gue mengucapkan Doa Bapa Kami dengan komplet. Biasanya gue langsung diam tiap kali doa tersebut tiba di bagian “Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Sebelum memaafkan, hidup gue terasa berat. Kebencian ternyata kayak rantai yang membelenggu kaki para napi di penjara jaman dulu: Bikin langkah jadi berat karena beban yang dibawa melebihi kapasitas.
Kebebasan para napi ditandai dengan dilepasnya rantai dari kaki mereka. Lewis Smedes adalah professor di Fuller Theological Seminary, Amerika. Dia bilang begini,”To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you.”
And now, I’m free at last!
Gambar:Anonymous
Gue berdoa setiap hari supaya hidup si Es Teh Tawar susah dan agar Tuhan membalaskan dendam gue ke dia (di agama gue ada ayat yang bunyinya “Pembalasan adalah hak-Ku”). Temen-temen gue nyuruh gue maafin dia. Gue nggak mau karena gue waktu itu pikir,” Lah, Tuhan ‘kan nyuruh kita maafin manusia, bukan maafin setan.”
Gue berbulan-bulan stress berat karena gue hanya butuh 30an menit untuk menghancurkan dia: Buka Google Drive trus kumpulin screensyut WA dan postingan dia di sosmed yang menunjukkan bahwa dia punya ciri-ciri psikopat dan bahwa dia selingkuh dengan ‘orang penting’.
Print dan kirim hardcopynya ke ibunya, suaminya, dan bosnya. Kirim softcopynya ke Mak Lambe Turah. Trus gue cengengesan deh depan laptop, ngeliatin berita soal dia sliweran di sosmed. Siiip!
Walau gampang, gue nggak mau lakukan itu karena cuma binatang yang balas mencakar ketika dicakar. Makanya gue stress berat. Lha gue kepengen banget liat dia susah dan gue punya cara cepat untuk bikin dia susah. Gratis, cuma modal jempol.
Sungguh sebuah godaan yang asoy geboy.
Stress gue yang segede gunung itu akhirnya turun ke titik nol, mungkin karena gue (ke)banyak(an) menulis. Ini ‘kan katarsis, ya. Walaupun begitu gue masih ingin liat dia susah.
Dari awal gue berkonflik dengan Es Teh Tawar, gue udah bilang ke sahabat-sahabat gue supaya nggak kasih tahu gue si psikopat lagi ngapain. Gue pengen bebas dari orang toxic.
Tapi ‘kan ada orang-orang yang nggak tahu bahwa gue berkonflik dengan dia. Nah, 1-2 bulan belakangan ini mereka cerita tentang apa yang dia lakukan dan mereka mulai berasa ada yang aneh.
Akhirnya gue mikir lama:
Yaelah elo, kapan puasnya? Pengen banget sih liat si Es Teh Tawar susah!? Udahlah…Dia hidupnya nggak bahagia sedangkan keluarga lu fungsional, suami baik, anak sehat. Sahabat ada, pekerjaan punya. Produktif? Lumayan. Berkarya? Udah. Dengan hidup sebagus ini, ngapain lu buang waktu dan tenaga untuk membenci? Elu aja dimaafin Tuhan, masa’ elu nggak maafin dia? ‘Kan lebih jelek sikap elo ke Tuhan daripada sikap dia ke elo?”
Pikiran kayak gitu udah sering mampir di otak tapi baru kemarin gue ngeklik. Gue lalu memutuskan untuk memaafkan:Melepas keinginan untuk balas dendam, mengalahkan rasa sakit hati, dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Hidup gue terlalu berharga untuk dikendalikan rasa benci.
Waktu gue ambil keputusan memaafkan, gue benar-benar merasa ada beban berat diangkat dari pundak gue. Untuk pertama kali dalam sekian bulan, di gereja pas kebaktian gue mengucapkan Doa Bapa Kami dengan komplet. Biasanya gue langsung diam tiap kali doa tersebut tiba di bagian “Seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”
Sebelum memaafkan, hidup gue terasa berat. Kebencian ternyata kayak rantai yang membelenggu kaki para napi di penjara jaman dulu: Bikin langkah jadi berat karena beban yang dibawa melebihi kapasitas.
Kebebasan para napi ditandai dengan dilepasnya rantai dari kaki mereka. Lewis Smedes adalah professor di Fuller Theological Seminary, Amerika. Dia bilang begini,”To forgive is to set a prisoner free and discover that the prisoner was you.”
And now, I’m free at last!
Gambar:Anonymous