Kalo yang Ngomong Begini 88% Penduduk Indonesia, Ribet Juga Ya...
Kemarin gue liat pertunjukan British Council di Galeri Nasional, namanya Festival Bebas Batas. Ini kerjasama Inggris-Indonesia, komponisnya orang Indonesia trus yang nari plus koreografernya dari Inggris. Acara jadi istimewa karena yang nari adalah kaum difabel. Ada yang tuna rungu, kakinya satu, tangan satu, dan lain-lain. Abis mereka nari trus Ananda Sukarlan main piano.
Difabel mengacu ke kondisi fisik dan Ananda nggak difabel, dia penyandang Asperger’s Syndrome atau High-Functioning Autism. Kemarin, komposisi-komposisi yang dia mainkan, unik-unik banget. Ada yang dimaininnya bisa pake dua jari aja, pake satu tangan aja, pake pinsil, pake tuts piano yang putih aja. Gue nggak tau ini orang makannya apaan yak tiap hari, idenya progresif bener. Yang bikin asik, penonton diceritain kenapa lagu-lagu itu bisa ada. Ceritanya antara lain beginiii…
Ananda dan istrinya bergantian menggendong Alicia, anak mereka, waktu Alicia masih bayi. Trus Ananda mikir,”Susah ya main piano sambil gendong anak.” Maklum, namanya juga laki-laki. Kalo cewek ‘kan bisa gendong anak sambil browsing dan terima telfon sekaligus nonton tipi plus motong-motong semangka. Ya alhamdullilah deh dia laki-laki, makanya lahirlah ide untuk bikin komposisi yang bisa dimainkan hanya dengan satu tangan.
Selain dimainkan hanya pake satu tangan, ada juga komposisi yang dimainkannya bisa pake pinsil tapi bukan pinsil alis ya melainkan pinsil yang ujungnya ada penghapusnya supaya tutsnya nggak rusak. Ini berlaku untuk tangan kanan aja. Judulnya ‘Lonely Child’, ini lagu favorit gue sodarah-sodarahhh. Gue nyaris nggak pernah kesepian tapi pas dengar ini pertama kali gue nangis karena merasa dapetin banget soul anak yang lagi kesepian.
Trus ada juga komposisi yang terdiri dari tuts yang putih semua. Inspirasinya dari Alicia yang lagi terbungkus lampin, selimut, bedong, atau apalah gitu, yang pasti bukan tas kresek. Lu kate gorengan. Judulnya ‘Pretty in White’.
Nah, gitu deh cerita soal acara kemarin. Ada penonton nyeletuk begini,”Anak saya jarinya sakit permanen. Ini mungkin bisa jadi solusi buat dia supaya tetap bisa main musik, ya.” Hadeuhh…Meleleh gak sih lo denger komentar kayak gitu.
Intinya, nggak salah deh acara ini diberi judul Bebas Batas. Kalo Tanpa Batas ya omong kosong lah, emang kita Tuhan?! Bahwa kita terbatas adalah sebuah kebenaran absolut, yang relatif adalah di mana garis pembatas tersebut bisa ditarik. Ini mah fleksibel, tergantung hasil riset terbaru, teknologi, kreativitas, dll. Lewat kreativitas menciptakan lagu yang bisa dimainin pake satu tangan misalnya, Ananda berusaha menarik garis pembatas menjadi lebih jauh sehingga area gerak kaum difabel jadi lebih luas.
Selesai liat pertunjukan kemarin, gue mikir abis ini giliran kita kali ya untuk melakukan hal yang sama di bidang kita masing-masing. Biografi Munir yang gue tulis baru aja keluar versi audionya sedangkan biografi Ahok yang gue buat dan terbit 2016, versi Braillenya keluar di tahun yang sama. Keduanya ada untuk membuat kaum tuna netra jadi lebih leluasa mengakses informasi. Ini gue sedang mikir nih, apa lagi cara yang bisa gue lakukan untuk bikin ruang gerak kaum difabel jadi lebih luas.
Kalo elo belum melakukan ini, yuk mulai mikirin hal-hal beginian.
Jumlah orang difabel di Indonesia sekitar 12% populasi keseluruhan, jauh lebih banyak yang nggak difabel dan sangat mungkin elo adalah salah satu di antaranya. Mungkin lo komentarnya kayak gini,”Ah, udah ada yang ngurusin mereka, nyantai aja, banyak kok yang mau bantu…”
Tugas orang di dunia emang beda-beda sih tapi, hhmmmm…Kalo yang ngomong kayak gitu tuh semua dari 88% penduduk Indonesia, ribet juga yak.
Ya nggak?
Minggu, 14 Oktober 2018
Jam 17.46 WIB
Difabel mengacu ke kondisi fisik dan Ananda nggak difabel, dia penyandang Asperger’s Syndrome atau High-Functioning Autism. Kemarin, komposisi-komposisi yang dia mainkan, unik-unik banget. Ada yang dimaininnya bisa pake dua jari aja, pake satu tangan aja, pake pinsil, pake tuts piano yang putih aja. Gue nggak tau ini orang makannya apaan yak tiap hari, idenya progresif bener. Yang bikin asik, penonton diceritain kenapa lagu-lagu itu bisa ada. Ceritanya antara lain beginiii…
Ananda dan istrinya bergantian menggendong Alicia, anak mereka, waktu Alicia masih bayi. Trus Ananda mikir,”Susah ya main piano sambil gendong anak.” Maklum, namanya juga laki-laki. Kalo cewek ‘kan bisa gendong anak sambil browsing dan terima telfon sekaligus nonton tipi plus motong-motong semangka. Ya alhamdullilah deh dia laki-laki, makanya lahirlah ide untuk bikin komposisi yang bisa dimainkan hanya dengan satu tangan.
Selain dimainkan hanya pake satu tangan, ada juga komposisi yang dimainkannya bisa pake pinsil tapi bukan pinsil alis ya melainkan pinsil yang ujungnya ada penghapusnya supaya tutsnya nggak rusak. Ini berlaku untuk tangan kanan aja. Judulnya ‘Lonely Child’, ini lagu favorit gue sodarah-sodarahhh. Gue nyaris nggak pernah kesepian tapi pas dengar ini pertama kali gue nangis karena merasa dapetin banget soul anak yang lagi kesepian.
Trus ada juga komposisi yang terdiri dari tuts yang putih semua. Inspirasinya dari Alicia yang lagi terbungkus lampin, selimut, bedong, atau apalah gitu, yang pasti bukan tas kresek. Lu kate gorengan. Judulnya ‘Pretty in White’.
Nah, gitu deh cerita soal acara kemarin. Ada penonton nyeletuk begini,”Anak saya jarinya sakit permanen. Ini mungkin bisa jadi solusi buat dia supaya tetap bisa main musik, ya.” Hadeuhh…Meleleh gak sih lo denger komentar kayak gitu.
Intinya, nggak salah deh acara ini diberi judul Bebas Batas. Kalo Tanpa Batas ya omong kosong lah, emang kita Tuhan?! Bahwa kita terbatas adalah sebuah kebenaran absolut, yang relatif adalah di mana garis pembatas tersebut bisa ditarik. Ini mah fleksibel, tergantung hasil riset terbaru, teknologi, kreativitas, dll. Lewat kreativitas menciptakan lagu yang bisa dimainin pake satu tangan misalnya, Ananda berusaha menarik garis pembatas menjadi lebih jauh sehingga area gerak kaum difabel jadi lebih luas.
Selesai liat pertunjukan kemarin, gue mikir abis ini giliran kita kali ya untuk melakukan hal yang sama di bidang kita masing-masing. Biografi Munir yang gue tulis baru aja keluar versi audionya sedangkan biografi Ahok yang gue buat dan terbit 2016, versi Braillenya keluar di tahun yang sama. Keduanya ada untuk membuat kaum tuna netra jadi lebih leluasa mengakses informasi. Ini gue sedang mikir nih, apa lagi cara yang bisa gue lakukan untuk bikin ruang gerak kaum difabel jadi lebih luas.
Kalo elo belum melakukan ini, yuk mulai mikirin hal-hal beginian.
Jumlah orang difabel di Indonesia sekitar 12% populasi keseluruhan, jauh lebih banyak yang nggak difabel dan sangat mungkin elo adalah salah satu di antaranya. Mungkin lo komentarnya kayak gini,”Ah, udah ada yang ngurusin mereka, nyantai aja, banyak kok yang mau bantu…”
Tugas orang di dunia emang beda-beda sih tapi, hhmmmm…Kalo yang ngomong kayak gitu tuh semua dari 88% penduduk Indonesia, ribet juga yak.
Ya nggak?
Minggu, 14 Oktober 2018
Jam 17.46 WIB
Permainan piano dengan satu tangan