Kampanye Greenpeace:When the Words Fail, Music Speaks
Besok kabarnya Ananda Sukarlan, orang Indonesia pertama yang tampil di kampanye Greenpeace, akan memainkan piano di atas kapal "Rainbow Warrior" yang sedang berlabuh di Singapura*.
Green Peace memang rajin memanfaatkan seni sebagai media kampanye. Earth without art is just ‘eh’, begitu bukan ?Mereka pernah pake mural dan lukisan 3 dimensi untuk kampanye tapi di luar iklan layanan masyarakat, seringnya sih pake musik. Bisa jadi karena musik dianggap bahasa universal. Bisa juga terjadi karena ada anggapan bahwa nada bisa lebih kuat dalam menyentuh jiwa dibandingkan gambar maupun kata. Musik sepertinya memang lebih sublim, makanya ada ungkapan ‘When the words fail, music speaks.’
Selain strategi kampanye mereka yang sangat layak liput, hasilnya pun benar-benar pantas diapresiasi. Tahun 2015, Greenpeace menghentikan 50 tahun kerjasama Lego dengan Shell, perusahaan minyak yang mengeksploitasi Kutub Utara. Sebenernya yang berantem Greenpeace dengan Shell tapi dengan cerdik Greenpeace melibatkan Lego dan akhirnya semua produksi Lego berlogo Shell dihentikan penjualannya.
Kita tentu berharap kampanye Greenpeace besok juga membuahkan keberhasilan serupa. Isu dalam negeri yang diusung bukan di rumah sendiri semoga saja bisa lebih memantik reaksi publik baik dari negara sendiri maupun dari tempat lain.
Nah, sekarang pertanyaan urgent setelah seremonial kampanye besok selesai, bisa jadi adalah ini: Ananda dan Greenpeace sudah kampanye, terus kita ngapain dong?
Kita kerap berpikir bahwa isu lingkungan hidup hanyalah porsi para aktivis. Kita (pura-pura) lupa bahwa nasib generasi sesudah kita sampe ke titik tertentu, kitalah yang menentukan. Di hidup mereka kelak pasti ada sidik jari kita. Gue pikir kadang kita absurd gitu, ya. Kita aktif melakukan ini itu yang jumlahnya hanya 2-3 kegiatan, foto-foto lalu bubar, namun tiap minggu kita melepas puluhan kesempatan kecil untuk berkontribusi. Di level pribadi, tentang lingkungan hidup, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan. Misalnya...
Gue lumayan disiplin matiin lampu kalo nggak dibutuhkan, ke mana-mana bawa kantung plastik biar nggak nyampah sembarangan dan juga bawa botol minum untuk mengurangi pemakaian botol plastik sekali pakai. Gue juga disiplin mematikan air waktu sikat gigi karena tiap kali melakukan ini, kita menghemat 200 galon air per bulan. Yang gue ‘selalu lupa’ adalah matiin air pas lagi bersihin tangan padahal rutin mengerjakan ini akan menghemat 6 galon air per bulan. Gue juga ‘selalu lupa’ memanfaatkan kertas bekas, seenaknya membuang kertas walau yang dipake baru satu sisi.
BTW, lupa tuh kalo frekwensinya ‘selalu’ mungkin artinya nggak niat kali, ya ?
#Hadeuh
Di luar keputusan-keputusan domestik di atas, karena berbagai keterbatasan, gue hanya biasa ikutan ngisi petisi. Di ujung video klip Greenpeace biasanya ditaruh link untuk dukung petisi. Di websitenya juga ada. Kita juga bisa daftarin Twitter kita ke Greenpeace trus nanti secara rutin kita ngetwit atas nama mereka. Coba cek di http://www.greenpeace.org (internasional) dan http://www.greenpeace.org/seasia/id/ (Indonesia). Banyaklah caranya.
Ada banyak orang yang mengaitkan kerusakan lingkungan 'hanya' dengan banjir atau sampah. Padahal, Paus Francis pernah mengecam kerusakan lingkungan dengan amat keras karena hal ini bisa menyebabkan sebuah wilayah jadi rentan terhadap bencana dan konflik, melahirkan banyak pengungsi dan memaksa orang tua untuk berpisah dengan anak. Padahal...
no one leaves home unless
home is the mouth of a shark
...
and you have to understand,
that no one puts their children in a boat
unless the water is safer than the land**
29 Mei 2018.22.51 WIB
*makassar.tribunnews.com/2018/05/27/keren-ananda-sukarlan-jadi-orang-pertama-indonesia-tampil-di-kampanye-greenpeace
**Puisi 'Home' karya Warsan Shire