Kebetulan Adalah Saat Ketika Tuhan Bekerja Namun Tak Ingin Dikenali:Di Balik Upaya Menulis Tentang
Presiden Paraguay, Fernando Lugo
Akhirnya saya batal nulis soal Lugo. Pertemuan dengan Lugo sudah diatur oleh Dubes Paraguay, saya bisa ketemu itu dubes ceritanya juga lumayan ribet. Orangnya doyan ngobrol dan saking gaulnya malah sempet berdua dengan anak cowoknya ikutan murid-murid saya fieldtrip ke desa di Bogor. Sayangnya, 10 hari sebelum Hari-H saya dikasih tau bahwa Lugo ngga jadi datang karena SBY ngga berani nrima Lugo (dia anti Amrik) dan belakangan juga saya dikasihtahu bahwa kunjungan kenegaraan tersebut dibatalkan karena Lugo punya istri walaupun beliau pastor. Kalangan gereja males nrima dia karena mereka memandang kedatangan Lugo sebagai kedatangan 'pastor beristri' bukan sebagai presiden (ya elah,absurd bener...). Saya stres berat karena saat itu saya sudah print 200 halaman berita tentang Lugo dan menyusun pertanyaan yang jawabannya ngga ada di 200 halaman itu. Saya masih nyimpen 14 halaman tulisan soal Lugo di laptop, buat kenang-kenangan. Belum, belum nulis tentang Lugonya sih, baru draft doang soal teologi pembebasan.
Sekarang, stresnya udah ngga bersisa. Pas tadi nemu ini tulisan, saya bacanya malah sambil nyengir-nyengir, inget waktu saya stres dan berdoa sambil ngomel. Sekarang, saya bersyukur setengah mati saya mengalami perjuangan jungkir balik kayak gitu. Walau penulis amatir, saya berani-berani aja nyamperin orang yang topnya kelas berat buat saya tawarin bikin buku. Saya juga ngga malu nawarin diri, lha emang kelasnya belum kelas dilamar. Eh, tapi udah sih sebenarnya (Yehh...Mamer dikit ye, gue kan banting tulangnya udah lama). Saya pernah beberapa kali dilamar orang, diminta mereka buat bukunya, cuma karena beberapa halangan, rencana itu ada yang belum jadi, ada juga yang batal, ada juga yang saya tolak (Hehehe...Sumprit, saya berasa keren pas nulis 'saya tolak', jiaahhhh).
Kalo lu ngerasa lu orang baik, ngejalanin hidup mah yang agresif ajalah, dunia jadi rusak kan antara lain karena orang jahat lebih agresif daripada orang baik. Buat yang masih penasaran pengen nulis dan bukunya belum terbit, tabahkan hatimu. Gue tahu rasanya kayak apa, I've been there. Yang penting, jatuh cintalah dengan menulis. Jangan jatuh cinta dengan keinginan untuk menulis.Lah kalo begitu, lu kapan nulisnya???
______________________________________________________________________________________________________
“Ngapain sih nulis soal Presiden Paraguay? Kok susah amat? Kenapa ngga nulis tentang yang deket-deket aja?” Ini adalah pertanyaan dari mereka yang tahu bahwa saya sangat ingin membukukan Fernando Lugo. Nama Hispanik ini saya kenal Maret 2008 melalui harian Kompas yang memberitakan kemenangannya dalam pemilu. Saya langsung tertarik menulis buku mengenai dirinya tapi ketika itu saya sedang dalam proses menyelesaikan biografi Munir.
Beberapa teman lantas mengajukan pertanyaan di atas dengan penuh rasa ingin tahu. Izinkan saya untuk menjelaskannya dengan analogi yang mungkin terkesan dramatis tapi sesungguhnya mengandung substansi yang saya sangat ingin anda ketahui. Topik sebuah penulisan bagi saya kadang memiliki cara kerja yang mirip dengan tujuan kepergian bagi seorang rohaniwan. Jika seorang rohaniwan merasa terpanggil untuk melayani di Nigeria yang ramai konflik, walau ia diberi tawaran untuk melakukan aktivitas di negara tentram semacam Singapura, ia tetap akan pergi ke Nigeria. Hal serupa terjadi pada diri saya. Sebagai guru yang sudah mengajar 12 tahun di sekolah bersarana lengkap dan dikelilingi oleh rekan-rekan sekerja yang pandai, saya bisa dengan cukup mudah menulis buku bertema pendidikan. Namun, dorongan yang ada amatlah berbeda dan saya berkomitmen untuk mengikutinya.
***
Saya terberkati dengan kesempatan untuk menjalani dua profesi termulia di muka bumi: Menjadi guru dan seorang ibu. Bagaimanapun, profesi ini tidak membuka pintu lebar-lebar bagi para pekerjanya untuk memiliki kesempatan dan kualifikasi menulis tentang seorang pemimpin negara. Lihatlah Notes saya yang cukup banyak di FaceBook dan anda akan tahu bahwa gagasan-gagasan saya jauh dari jenial. Pencapaian tertinggi saya dalam aktivitas berpikir adalah biografi Munir yang baru rampung ditulis dalam tiga tahun. Anda tidak akan menjumpai saya sedang membagikan ilmu di seminar-seminaratau menjadi sosok penting dalam sebuah lembaga think-thank. Nama saya juga tak masuk dalam daftar penerima penghargaan atau berkelebat sebagai penulis artikel di berbagai media. Anda bisa menemui orang macam saya dengan amat mudah dalam kerumunan perempuan yang digelayuti anak, sedang sibuk bertukar nomor telpon badut untuk acara ulang tahun. Sosok-sosok seperti saya bisa juga dijumpai di ruang tunggu tempat kursus atau area mall tempat lomba mewarnai gambar diadakan. Saya orang biasa dengan arti biasa yang paling biasa. Oleh karena itulah, keinginan membuat buku tentang presiden negara asing membuat saya merasa seperti siput yang dipaksa ikut lomba lari antar kijang. Pikiran saya dililit rasa rendah diri serta keyakinan bahwa saya tidak realistis.
Walau merasa impian saya janggal, saya tetap memulai upaya menghubungi Lugo pada November 2008 dengan cara terlebih dahulu mencari Pater Martin Bhisu, mantan sekretaris pribadi Lugo yang berkebangsaan Indonesia. Saya hanya tahu beliau berkiprah di Paraguay, itu saja. Saya hubungi kedutaan besar Paraguay di Korea dan Argentina serta beberapa paroki di Indonesia Timur, wilayah asal Pater Martin. Saya juga menelpon dan kirim faks ke Paraguay beberapa kali, mencari artikel mengenai Lugo dan Pater Martin lalu menghubungi penulisnya. Tak ada hasil. Saya minta rekomendasi kepada petinggi sebuah penerbit buku, ditolak.Saya mencoba cari akses melalui Departemen Luar Negeri, gagal juga. Saya mendapatkan email pribadi Fernando Lugo dan mudah ditebak, surat saya kembali dengan sukses ke inbox. Saya telpon,kirim email dan SMS serta kirim fax maupun surat (yang saya selipi buku Munir) melalui pos ke seseorang yang mengenal Pater Martin. Sia-sia. Saya kontak orang lain yang juga pernah bertemu Pater Martin, tidak ada balasan. Saya lalu menghubungi beberapa orang yang pernah menetap di Amerika Latin dan para pastor.Nol besar.
Saya mulai goyah. Penulis amatiran mau nulis soal presiden? Haiyahhh…..Nunggu ayam numbuh gigi dulu deh, baru ‘kali kesampean. Kegagalan beruntun dalam mencari akses membuat saya merasa seperti lalat yang bermimpi jadi pesawat terbang. Sebagai solusi terakhir, saya mulai berandai-andai untuk mendatangi kantor seseorang yang pernah bertemu Pater Martin (orang yang ngecuekin email, faks, SMS, telpon dan surat saya itu, lho…). Jauh di hati kecil, saya merasa ragu untuk benar-benar melakukannya karena harga diri saya retak saat membayangkan diusir oleh satpam kantor. Saya bukan wartawan tangguh yang biasa ditolak nara sumber atau dibentak penjaga pintu. Namun karena putus asa, walau sadar bahwa mental saya tidak sekuat beton, saya membulatkan tekad untuk benar-benar nongkrongin orang ini di kantornya saat libur sekolah tiba, yaitu Oktober ketika saudara-saudara Muslim merayakan Lebaran. Sambil menunggu waktu bergeser ke bulan puasa, saya tetap berusaha mencari akses ke Pater Martin. Buah dari ketekunan ini jatuh dari pohonnya di pertengahan bulan ke sepuluh, tepatnya pada 16 Agustus 2009:Seorang teman memberi saya alamat email Pater Martin.
***
Saya menulis surat bukan hanya dengan tinta tapi juga dengan air mata. Oh ya, satu lagi:Dengan hati marah. Sepucuk kertas itu akan saya kirim ke Tuhan. Ya, betul, anda tidak salah baca:T.U.H.A.N.Saya sudah berdoa hampir sepuluh bulan dan saya teramat lelah. Sering saya berdoa tiga kali sehari seperti dosis minum obat, lebih sering lagi lebih dari tiga kali. Saya mencari kontak Pater Martin hampir tiap minggu. Hasilnya tidak ada. Saya bosen banget, rasanya garing dan bete abis. Jadi saya katakan padaNya bahwa kali itu saya akan menulis surat karena doa ternyata tidak mempan. Saya kecewa dan marah kepadaNya:Mau berbuat baik aja kok susah amat sih ? Kenapa email saya ke Pater Martin balik lagi ke inbox? Teman saya ternyata memberi alamat yang salah. Saya tulis itu semua di selembar kertas yang lalu saya biarkan terbuka di atas meja. Dengan judes saya bergumam,”Nih…Tuhan…..Baca deh…Bacaaa…”. Beberapa menit kemudian saya mendongak dan bertanya dengan nada yang tetap ketus,”Udah selesai bacanya?”
Peristiwa di atas akan terus saya kenang sebagai momen saat saya bersikap paling kurang ajar kepada Sang Pencipta, Sosok yang berbaik hati membiarkan saya tetap jadi manusia kendati sebagai hukuman atas ketidaksopanan saya, Ia bisa saja menyulap saya jadi kodok hanya dengan satu kali kedipan mata. Saat itu, masih sambil ngomel, dengan frustasi saya memodifikasi alamat email Pater Martin:Saya beri titik, kasih garis, saya sambung, huruf h-nya dipindah ke belakang, taruh lagi di depan, macam-macamlah. Proses modifikasi itu menghasilkan sekitar tujuh alamat email yang seluruhnya saya letakkan di kolom ‘To’. Surat tersebut kemudian saya kirim dengan hati galau.
Kurang dari satu hari, Pater Martin mengirimkan balasan. Sebuah kebetulan belaka? Bisa jadi. Kebetulan adalah saat ketika Tuhan bekerja namun tak ingin dikenali, bukankah begitu kata orang bijak ?
***
Singkat cerita, Pater Martin mengajak saya (dan 2-3 orang lainnya) untuk menulis bersama. Sungguh sebuah kehormatan besar bagi saya untuk memiliki kesempatan berkolaborasi dengan mereka yang amat piawai dalam bernalar. Semoga saja kelak saya bisa mewawancarai Lugo secara langsung karena hal ini pasti akan meningkatkan kualitas tulisan serta menaikkan prestise buku. Di atas itu semua, perjumpaan dengan beliau akan menjadi sebuah pengingat yang manis bagi orang biasa seperti saya yang jumlahnya tak terbilang, bahwa doa dan ketekunan bisa mengalahkan kekuatan jaringan serta uang, dua hal yang sering didengungkan sebagai faktor penentu keberhasilan.
Pertemuan saya dengan beliau juga berpotensi untuk mengingatkan kita semua bahwa ada begitu banyak kemustahilan dalam hidup namun butuh upaya panjang dan waktu yang lama untuk tiba pada kesimpulan bahwa apa yang kita ingin capai adalah sebuah ketidakmungkinan.
Kawan, bagaimanapun, usaha mendapat akses hanya saya lakoni dari depan komputer serta ujung gagang telpon. Ketekunan saya tentu saja tidak bisa disebut fenomenal karena,katakanlah, ‘masih bisa ditakar’. Mari kini kita simak penuturan Andrea Hirata, penulis yang pernah demikian lelah ditolak penerbit sehingga membuang naskahnya ke Kali Ciliwung. Kini novel perdananya tercatat sebagai karya paling laris di sepanjang sejarah sastra modern Indonesia. Tak pelak lagi, Andrea adalah kampiun dalam pertandingan gulat melawan halangan. Jutaan jiwa terlilit keengganan untuk membangun istana di langit karena mereka merasa puas dengan rumah yang sudah berdiri kokoh di daratan. Dalam ‘Laskar Pelangi’, Andrea dengan cekatan mengurai ikatan tersebut untuk membebaskan sesama dari belenggu mediokritas. Si miskin papa yang berhasil keliling dunia dan studi di Sorbonne ini bertutur dengan kerongkongan tercekat karena keyakinannya demikian mencekik leher,”Bermimpilah…”,demikian ia mulai meniupkan sihir ke atas kita,”Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu…’, begitulah ia menyudahi bisikan profetisnya.
Ayo kawan, teruslah bermimpi. Bukan saat tidur namun ketika terjaga.
Salam!
Jun 17, 2010
Sekarang, stresnya udah ngga bersisa. Pas tadi nemu ini tulisan, saya bacanya malah sambil nyengir-nyengir, inget waktu saya stres dan berdoa sambil ngomel. Sekarang, saya bersyukur setengah mati saya mengalami perjuangan jungkir balik kayak gitu. Walau penulis amatir, saya berani-berani aja nyamperin orang yang topnya kelas berat buat saya tawarin bikin buku. Saya juga ngga malu nawarin diri, lha emang kelasnya belum kelas dilamar. Eh, tapi udah sih sebenarnya (Yehh...Mamer dikit ye, gue kan banting tulangnya udah lama). Saya pernah beberapa kali dilamar orang, diminta mereka buat bukunya, cuma karena beberapa halangan, rencana itu ada yang belum jadi, ada juga yang batal, ada juga yang saya tolak (Hehehe...Sumprit, saya berasa keren pas nulis 'saya tolak', jiaahhhh).
Kalo lu ngerasa lu orang baik, ngejalanin hidup mah yang agresif ajalah, dunia jadi rusak kan antara lain karena orang jahat lebih agresif daripada orang baik. Buat yang masih penasaran pengen nulis dan bukunya belum terbit, tabahkan hatimu. Gue tahu rasanya kayak apa, I've been there. Yang penting, jatuh cintalah dengan menulis. Jangan jatuh cinta dengan keinginan untuk menulis.Lah kalo begitu, lu kapan nulisnya???
______________________________________________________________________________________________________
“Ngapain sih nulis soal Presiden Paraguay? Kok susah amat? Kenapa ngga nulis tentang yang deket-deket aja?” Ini adalah pertanyaan dari mereka yang tahu bahwa saya sangat ingin membukukan Fernando Lugo. Nama Hispanik ini saya kenal Maret 2008 melalui harian Kompas yang memberitakan kemenangannya dalam pemilu. Saya langsung tertarik menulis buku mengenai dirinya tapi ketika itu saya sedang dalam proses menyelesaikan biografi Munir.
Beberapa teman lantas mengajukan pertanyaan di atas dengan penuh rasa ingin tahu. Izinkan saya untuk menjelaskannya dengan analogi yang mungkin terkesan dramatis tapi sesungguhnya mengandung substansi yang saya sangat ingin anda ketahui. Topik sebuah penulisan bagi saya kadang memiliki cara kerja yang mirip dengan tujuan kepergian bagi seorang rohaniwan. Jika seorang rohaniwan merasa terpanggil untuk melayani di Nigeria yang ramai konflik, walau ia diberi tawaran untuk melakukan aktivitas di negara tentram semacam Singapura, ia tetap akan pergi ke Nigeria. Hal serupa terjadi pada diri saya. Sebagai guru yang sudah mengajar 12 tahun di sekolah bersarana lengkap dan dikelilingi oleh rekan-rekan sekerja yang pandai, saya bisa dengan cukup mudah menulis buku bertema pendidikan. Namun, dorongan yang ada amatlah berbeda dan saya berkomitmen untuk mengikutinya.
***
Saya terberkati dengan kesempatan untuk menjalani dua profesi termulia di muka bumi: Menjadi guru dan seorang ibu. Bagaimanapun, profesi ini tidak membuka pintu lebar-lebar bagi para pekerjanya untuk memiliki kesempatan dan kualifikasi menulis tentang seorang pemimpin negara. Lihatlah Notes saya yang cukup banyak di FaceBook dan anda akan tahu bahwa gagasan-gagasan saya jauh dari jenial. Pencapaian tertinggi saya dalam aktivitas berpikir adalah biografi Munir yang baru rampung ditulis dalam tiga tahun. Anda tidak akan menjumpai saya sedang membagikan ilmu di seminar-seminaratau menjadi sosok penting dalam sebuah lembaga think-thank. Nama saya juga tak masuk dalam daftar penerima penghargaan atau berkelebat sebagai penulis artikel di berbagai media. Anda bisa menemui orang macam saya dengan amat mudah dalam kerumunan perempuan yang digelayuti anak, sedang sibuk bertukar nomor telpon badut untuk acara ulang tahun. Sosok-sosok seperti saya bisa juga dijumpai di ruang tunggu tempat kursus atau area mall tempat lomba mewarnai gambar diadakan. Saya orang biasa dengan arti biasa yang paling biasa. Oleh karena itulah, keinginan membuat buku tentang presiden negara asing membuat saya merasa seperti siput yang dipaksa ikut lomba lari antar kijang. Pikiran saya dililit rasa rendah diri serta keyakinan bahwa saya tidak realistis.
Walau merasa impian saya janggal, saya tetap memulai upaya menghubungi Lugo pada November 2008 dengan cara terlebih dahulu mencari Pater Martin Bhisu, mantan sekretaris pribadi Lugo yang berkebangsaan Indonesia. Saya hanya tahu beliau berkiprah di Paraguay, itu saja. Saya hubungi kedutaan besar Paraguay di Korea dan Argentina serta beberapa paroki di Indonesia Timur, wilayah asal Pater Martin. Saya juga menelpon dan kirim faks ke Paraguay beberapa kali, mencari artikel mengenai Lugo dan Pater Martin lalu menghubungi penulisnya. Tak ada hasil. Saya minta rekomendasi kepada petinggi sebuah penerbit buku, ditolak.Saya mencoba cari akses melalui Departemen Luar Negeri, gagal juga. Saya mendapatkan email pribadi Fernando Lugo dan mudah ditebak, surat saya kembali dengan sukses ke inbox. Saya telpon,kirim email dan SMS serta kirim fax maupun surat (yang saya selipi buku Munir) melalui pos ke seseorang yang mengenal Pater Martin. Sia-sia. Saya kontak orang lain yang juga pernah bertemu Pater Martin, tidak ada balasan. Saya lalu menghubungi beberapa orang yang pernah menetap di Amerika Latin dan para pastor.Nol besar.
Saya mulai goyah. Penulis amatiran mau nulis soal presiden? Haiyahhh…..Nunggu ayam numbuh gigi dulu deh, baru ‘kali kesampean. Kegagalan beruntun dalam mencari akses membuat saya merasa seperti lalat yang bermimpi jadi pesawat terbang. Sebagai solusi terakhir, saya mulai berandai-andai untuk mendatangi kantor seseorang yang pernah bertemu Pater Martin (orang yang ngecuekin email, faks, SMS, telpon dan surat saya itu, lho…). Jauh di hati kecil, saya merasa ragu untuk benar-benar melakukannya karena harga diri saya retak saat membayangkan diusir oleh satpam kantor. Saya bukan wartawan tangguh yang biasa ditolak nara sumber atau dibentak penjaga pintu. Namun karena putus asa, walau sadar bahwa mental saya tidak sekuat beton, saya membulatkan tekad untuk benar-benar nongkrongin orang ini di kantornya saat libur sekolah tiba, yaitu Oktober ketika saudara-saudara Muslim merayakan Lebaran. Sambil menunggu waktu bergeser ke bulan puasa, saya tetap berusaha mencari akses ke Pater Martin. Buah dari ketekunan ini jatuh dari pohonnya di pertengahan bulan ke sepuluh, tepatnya pada 16 Agustus 2009:Seorang teman memberi saya alamat email Pater Martin.
***
Saya menulis surat bukan hanya dengan tinta tapi juga dengan air mata. Oh ya, satu lagi:Dengan hati marah. Sepucuk kertas itu akan saya kirim ke Tuhan. Ya, betul, anda tidak salah baca:T.U.H.A.N.Saya sudah berdoa hampir sepuluh bulan dan saya teramat lelah. Sering saya berdoa tiga kali sehari seperti dosis minum obat, lebih sering lagi lebih dari tiga kali. Saya mencari kontak Pater Martin hampir tiap minggu. Hasilnya tidak ada. Saya bosen banget, rasanya garing dan bete abis. Jadi saya katakan padaNya bahwa kali itu saya akan menulis surat karena doa ternyata tidak mempan. Saya kecewa dan marah kepadaNya:Mau berbuat baik aja kok susah amat sih ? Kenapa email saya ke Pater Martin balik lagi ke inbox? Teman saya ternyata memberi alamat yang salah. Saya tulis itu semua di selembar kertas yang lalu saya biarkan terbuka di atas meja. Dengan judes saya bergumam,”Nih…Tuhan…..Baca deh…Bacaaa…”. Beberapa menit kemudian saya mendongak dan bertanya dengan nada yang tetap ketus,”Udah selesai bacanya?”
Peristiwa di atas akan terus saya kenang sebagai momen saat saya bersikap paling kurang ajar kepada Sang Pencipta, Sosok yang berbaik hati membiarkan saya tetap jadi manusia kendati sebagai hukuman atas ketidaksopanan saya, Ia bisa saja menyulap saya jadi kodok hanya dengan satu kali kedipan mata. Saat itu, masih sambil ngomel, dengan frustasi saya memodifikasi alamat email Pater Martin:Saya beri titik, kasih garis, saya sambung, huruf h-nya dipindah ke belakang, taruh lagi di depan, macam-macamlah. Proses modifikasi itu menghasilkan sekitar tujuh alamat email yang seluruhnya saya letakkan di kolom ‘To’. Surat tersebut kemudian saya kirim dengan hati galau.
Kurang dari satu hari, Pater Martin mengirimkan balasan. Sebuah kebetulan belaka? Bisa jadi. Kebetulan adalah saat ketika Tuhan bekerja namun tak ingin dikenali, bukankah begitu kata orang bijak ?
***
Singkat cerita, Pater Martin mengajak saya (dan 2-3 orang lainnya) untuk menulis bersama. Sungguh sebuah kehormatan besar bagi saya untuk memiliki kesempatan berkolaborasi dengan mereka yang amat piawai dalam bernalar. Semoga saja kelak saya bisa mewawancarai Lugo secara langsung karena hal ini pasti akan meningkatkan kualitas tulisan serta menaikkan prestise buku. Di atas itu semua, perjumpaan dengan beliau akan menjadi sebuah pengingat yang manis bagi orang biasa seperti saya yang jumlahnya tak terbilang, bahwa doa dan ketekunan bisa mengalahkan kekuatan jaringan serta uang, dua hal yang sering didengungkan sebagai faktor penentu keberhasilan.
Pertemuan saya dengan beliau juga berpotensi untuk mengingatkan kita semua bahwa ada begitu banyak kemustahilan dalam hidup namun butuh upaya panjang dan waktu yang lama untuk tiba pada kesimpulan bahwa apa yang kita ingin capai adalah sebuah ketidakmungkinan.
Kawan, bagaimanapun, usaha mendapat akses hanya saya lakoni dari depan komputer serta ujung gagang telpon. Ketekunan saya tentu saja tidak bisa disebut fenomenal karena,katakanlah, ‘masih bisa ditakar’. Mari kini kita simak penuturan Andrea Hirata, penulis yang pernah demikian lelah ditolak penerbit sehingga membuang naskahnya ke Kali Ciliwung. Kini novel perdananya tercatat sebagai karya paling laris di sepanjang sejarah sastra modern Indonesia. Tak pelak lagi, Andrea adalah kampiun dalam pertandingan gulat melawan halangan. Jutaan jiwa terlilit keengganan untuk membangun istana di langit karena mereka merasa puas dengan rumah yang sudah berdiri kokoh di daratan. Dalam ‘Laskar Pelangi’, Andrea dengan cekatan mengurai ikatan tersebut untuk membebaskan sesama dari belenggu mediokritas. Si miskin papa yang berhasil keliling dunia dan studi di Sorbonne ini bertutur dengan kerongkongan tercekat karena keyakinannya demikian mencekik leher,”Bermimpilah…”,demikian ia mulai meniupkan sihir ke atas kita,”Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu…’, begitulah ia menyudahi bisikan profetisnya.
Ayo kawan, teruslah bermimpi. Bukan saat tidur namun ketika terjaga.
Salam!
Jun 17, 2010