KENAPA PSIKOPAT JANGAN DIKONFRONTASI?
https://gurupenulis.weebly.com/wajib-dibacasebuah-pengantar.html
Minggu lalu gue mau konfrontasi psikopat yang ngerjain gue. Sebut aja nama dia sebagai Kertas Folio. Nanti kalo pake nama orang ada yang tersinggung.
Jadi gini, gue ‘kan kalo punya masalah selalu orangnya gue ajakin ngomong blak-blakan. Nah, dengan si Kertas Folio ini, belum kesampaian.
Matius 5:23,’Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkan persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
Gue nggak anggap dia sodara sih. Tujuan gue ketemu juga bukan untuk berdamai. Gue cuma ingin dia tau bahwa gue tau apa yang dia lakukan. Gue yakin ayat di atas ditulis untuk mereka yang bermasalah dengan orang normal, bukan dengan psikopat. Berdamai dengan psikopat identik dengan membuka peluang bagi diri kita untuk kembali menjadi korbannya. Ya tapi lu dapet ‘kan intinya: Percuma kita ibadah kalo kita punya konflik tapi kita cuek, nggak kita coba selesaikan.
Dua teman gue yang pernah dikerjain psikopat menyarankan supaya gue diam aja. Psikopat saat membuat masalah, jangan dikonfrontasi. Mereka harus dijauhi.Buku dan artikel juga ngomong begini, sih. Awalnya gue nurut tapi lama-lama gue jadi bete banget karena ini bukan kebiasaan gue.
Face the problem, don’t fake it, kata Rick Warren.
Gue pikir teman-teman gue menyarankan gue diam aja mungkin karena psikopat yang ngerjain mereka, tingkat psikopatiknya sangat tinggi. Kalo yang ngerjain gue ‘kan psikopat pinggiran. Psikopat sih tapi masuk kategori abal-abal, kayaknya sampe mati dia nggak bakal berani ngebunuh tetangganya dan minum rebusan tulang sumsumnya. Level dia cuma memecah-belah, bikin orang dipecat, kehilangan sahabat, kehilangan jabatan, ngeberantakin program kerja, ngincer laki-laki kaya...
Cemen 'kan? Jadi nggak papa dikonfrontasi, begitulah gue pikir. Akhirnya gue nanya ke mantan korbannya, gue mau konfrontasi dia, ada saran nggak? Gue sadar, memang dia cemen ya tapi tetap aja statusnya psikopat. Gue mutlak harus hati-hati. Liat screensyut WAnya deh, gue posting satu di sini. Dia bilang: Jangan, nggak ada bukti, nanti dituntut. Korbannya ini juga nanya ke temennya yang ngerti hukum. Nah, poin nomor 3 di WA mengacu pada rencana gue untuk ngomong ke si Kertas Folio,"Eh, elo membalas kebaikan dengan kejahatan padahal anjing gue membalas kebaikan dengan kebaikan, lho."
Itu yang disebut kasar oleh orang yang ngerti hukum tersebut. Yeah, truth hurts, man. It really does Her caste is definitely lower than my dog's. Sorry ya kalo lo nggak betah baca tulisan gue karena isinya ngomel. Gue nulis tujuan pertama untuk menyembuhkan luka gue jadi gue mesti jujur dong. Kalo gue nulisnya bagus-bagus, pencitraan, biar lu bilang gue baik, gue nggak akan pernah sembuh.
Eh, soal konfrontasi itu, untung gue nanya dulu. Gue lupa, itu ada lho di buku, gue pernah baca. Katanya kalo berkonflik dengan psikopat, kalo mau followup, harus ada bukti berupa rekaman atau tertulis, hitam di atas putih. Kalo nggak, mereka akan berkelit dan balik memfitnah. Mereka juga nggak segan-segan untuk bawa kasus sampe ke pengadilan.
Gue berasa aneh, sih. Lha beberapa konfrontasi yang pernah gue lakukan juga nggak ada bukti. Hampir semua dari kita saat bergaul 'kan nggak merekam omongan dan belum tentu masalah yang muncul pernah didiskusikan di email atau WhatsApp, jadi nggak ada bukti tertulis. Ya tapi masalahnya ada, kita paham itu ada dan kita selesaikan:Duduk, diskusi, ngomong baik-baik.
DAN SELESAI.
Nah, ini bedanya bermasalah dengan orang normal dan psikopat. Berkonflik dengan psikopat, senjatanya mesti lengkap. Teman gue yang pernah bermasalah dengan si KF dan akhirnya kena musibah akibat kejahatannya, cerita ke gue betapa KF dengan tenangnya memutarbalikkan fakta dan semuanya berbalik ke dia. Makanya akhirnya dia yang kena sanksi. Gue juga 'kan saksi mata, liat dengan mata kepala sendiri, KF nunjukkin karya-karya yang dipajang di dinding kantornya dan mengatakan kepada cowok yang dia incar (dan sebelumnya ke gue) bahwa itu semua dia yang buat padahal bukan.
She is a pathological liar. A psychopat is always a pathological liar. Bagi mereka berbohong adalah sebuah naluri sekaligus kebutuhan, sama kayak bernafas. Lu yakin mau berhadapan dengan orang kayak gini tanpa bukti tertulis atau rekaman ? Serius lu?
Di sebuah forum diskusi tentang psikopat, seorang cowok bercerita bahwa kakaknya yang psikopat terlibat kasus hukum dan di pengadlan, kakaknya dengan wajah cool menyangkal semua, memberikan bukti dan akhirnya lolos. Padahal, dia tau persis bahwa kakaknya bersalah. Dia pajang foto kakaknya. Bergidik gue. Fitur mukanya mirip dengan psikopat yang ngerjain gue. Sodara gue juga bilang bahwa dia pernah dikerjain orang yang mukanya mirip dengan psikopat tersebut. Gile. Ada kali ya di dunia template muka untuk psikopat. Duh, Tuhan kalo kreatif kadang suka kebangetan, yak.
Alasan lain kenapa kita jangan mengkonfrontasi psikopat adalah: Kalo kita pernah dekat dengan dia, sangat mungkin saat konfrontasi, ketika ketemu, kita dibuat klepekk…klepekkk…lagi. Ini nggak ada di buku, ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Dulu tuh yang ngerjain gue, orang-orang normal. Pas liat muka mereka, gue sebel. Nah, kalo psikopat tuh beda. Gue sebel banget dengan dia tapi gue beberapa kali mikir,” Baik ‘kan dia…Lu nggak malu, udah bikin tulisan soal psikopat padahal dia sebenarnya normal ?”
Tuh, psikopat tuh kayak gitu. Susunan syarafnya udah beda sejak lahir. Mereka punya kemampuan untuk memikat dan mengikat yang nggak dimiliki orang normal. Makanya, hubungan dengan psikopat biasanya berbentuk siklus. Liat aja mereka yang menikah dengan pelaku KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Pelaku KDRT diduga kuat tingkat psikopatiknya tinggi. Nah, siklus ‘kan? Korbannya digebukin, nangis-nangis, minta cerai…Lalu baikan lagi, jatuh kasian dengan si pelaku…Mesra lagi… Lalu digebukin lagi, nangis lagi, baik lagi…. Gitu aja deh terus sampe korbannya dapat keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu.
Atau terkadang sampe si korban meregang nyawa.
Nah, jadi, jelas ya kenapa kalo berkonflik dengan psikopat kita sebaiknya jangan konfrontasi. Pertama, harus ada rekaman atau bukti tertulis. Untuk kasus hukum, mungkin kita punya bukti. Untuk hal lain, sedikit yang punya bukti tertulis atau rekaman. Kedua, karena kalo ketemu muka dengan dia, kita bisa masuk lagi dalam perangkapnya.
Dan jika kita ada dalam perangkapnya, hidup kita akan jadi kayak roda: Terus berputar. Kadang di bawah, kadang di bawah banget.
19 Mei 2019 jam 07.01 WIB
Jadi gini, gue ‘kan kalo punya masalah selalu orangnya gue ajakin ngomong blak-blakan. Nah, dengan si Kertas Folio ini, belum kesampaian.
Matius 5:23,’Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkan persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
Gue nggak anggap dia sodara sih. Tujuan gue ketemu juga bukan untuk berdamai. Gue cuma ingin dia tau bahwa gue tau apa yang dia lakukan. Gue yakin ayat di atas ditulis untuk mereka yang bermasalah dengan orang normal, bukan dengan psikopat. Berdamai dengan psikopat identik dengan membuka peluang bagi diri kita untuk kembali menjadi korbannya. Ya tapi lu dapet ‘kan intinya: Percuma kita ibadah kalo kita punya konflik tapi kita cuek, nggak kita coba selesaikan.
Dua teman gue yang pernah dikerjain psikopat menyarankan supaya gue diam aja. Psikopat saat membuat masalah, jangan dikonfrontasi. Mereka harus dijauhi.Buku dan artikel juga ngomong begini, sih. Awalnya gue nurut tapi lama-lama gue jadi bete banget karena ini bukan kebiasaan gue.
Face the problem, don’t fake it, kata Rick Warren.
Gue pikir teman-teman gue menyarankan gue diam aja mungkin karena psikopat yang ngerjain mereka, tingkat psikopatiknya sangat tinggi. Kalo yang ngerjain gue ‘kan psikopat pinggiran. Psikopat sih tapi masuk kategori abal-abal, kayaknya sampe mati dia nggak bakal berani ngebunuh tetangganya dan minum rebusan tulang sumsumnya. Level dia cuma memecah-belah, bikin orang dipecat, kehilangan sahabat, kehilangan jabatan, ngeberantakin program kerja, ngincer laki-laki kaya...
Cemen 'kan? Jadi nggak papa dikonfrontasi, begitulah gue pikir. Akhirnya gue nanya ke mantan korbannya, gue mau konfrontasi dia, ada saran nggak? Gue sadar, memang dia cemen ya tapi tetap aja statusnya psikopat. Gue mutlak harus hati-hati. Liat screensyut WAnya deh, gue posting satu di sini. Dia bilang: Jangan, nggak ada bukti, nanti dituntut. Korbannya ini juga nanya ke temennya yang ngerti hukum. Nah, poin nomor 3 di WA mengacu pada rencana gue untuk ngomong ke si Kertas Folio,"Eh, elo membalas kebaikan dengan kejahatan padahal anjing gue membalas kebaikan dengan kebaikan, lho."
Itu yang disebut kasar oleh orang yang ngerti hukum tersebut. Yeah, truth hurts, man. It really does Her caste is definitely lower than my dog's. Sorry ya kalo lo nggak betah baca tulisan gue karena isinya ngomel. Gue nulis tujuan pertama untuk menyembuhkan luka gue jadi gue mesti jujur dong. Kalo gue nulisnya bagus-bagus, pencitraan, biar lu bilang gue baik, gue nggak akan pernah sembuh.
Eh, soal konfrontasi itu, untung gue nanya dulu. Gue lupa, itu ada lho di buku, gue pernah baca. Katanya kalo berkonflik dengan psikopat, kalo mau followup, harus ada bukti berupa rekaman atau tertulis, hitam di atas putih. Kalo nggak, mereka akan berkelit dan balik memfitnah. Mereka juga nggak segan-segan untuk bawa kasus sampe ke pengadilan.
Gue berasa aneh, sih. Lha beberapa konfrontasi yang pernah gue lakukan juga nggak ada bukti. Hampir semua dari kita saat bergaul 'kan nggak merekam omongan dan belum tentu masalah yang muncul pernah didiskusikan di email atau WhatsApp, jadi nggak ada bukti tertulis. Ya tapi masalahnya ada, kita paham itu ada dan kita selesaikan:Duduk, diskusi, ngomong baik-baik.
DAN SELESAI.
Nah, ini bedanya bermasalah dengan orang normal dan psikopat. Berkonflik dengan psikopat, senjatanya mesti lengkap. Teman gue yang pernah bermasalah dengan si KF dan akhirnya kena musibah akibat kejahatannya, cerita ke gue betapa KF dengan tenangnya memutarbalikkan fakta dan semuanya berbalik ke dia. Makanya akhirnya dia yang kena sanksi. Gue juga 'kan saksi mata, liat dengan mata kepala sendiri, KF nunjukkin karya-karya yang dipajang di dinding kantornya dan mengatakan kepada cowok yang dia incar (dan sebelumnya ke gue) bahwa itu semua dia yang buat padahal bukan.
She is a pathological liar. A psychopat is always a pathological liar. Bagi mereka berbohong adalah sebuah naluri sekaligus kebutuhan, sama kayak bernafas. Lu yakin mau berhadapan dengan orang kayak gini tanpa bukti tertulis atau rekaman ? Serius lu?
Di sebuah forum diskusi tentang psikopat, seorang cowok bercerita bahwa kakaknya yang psikopat terlibat kasus hukum dan di pengadlan, kakaknya dengan wajah cool menyangkal semua, memberikan bukti dan akhirnya lolos. Padahal, dia tau persis bahwa kakaknya bersalah. Dia pajang foto kakaknya. Bergidik gue. Fitur mukanya mirip dengan psikopat yang ngerjain gue. Sodara gue juga bilang bahwa dia pernah dikerjain orang yang mukanya mirip dengan psikopat tersebut. Gile. Ada kali ya di dunia template muka untuk psikopat. Duh, Tuhan kalo kreatif kadang suka kebangetan, yak.
Alasan lain kenapa kita jangan mengkonfrontasi psikopat adalah: Kalo kita pernah dekat dengan dia, sangat mungkin saat konfrontasi, ketika ketemu, kita dibuat klepekk…klepekkk…lagi. Ini nggak ada di buku, ini gue tulis berdasarkan pengalaman pribadi.
Dulu tuh yang ngerjain gue, orang-orang normal. Pas liat muka mereka, gue sebel. Nah, kalo psikopat tuh beda. Gue sebel banget dengan dia tapi gue beberapa kali mikir,” Baik ‘kan dia…Lu nggak malu, udah bikin tulisan soal psikopat padahal dia sebenarnya normal ?”
Tuh, psikopat tuh kayak gitu. Susunan syarafnya udah beda sejak lahir. Mereka punya kemampuan untuk memikat dan mengikat yang nggak dimiliki orang normal. Makanya, hubungan dengan psikopat biasanya berbentuk siklus. Liat aja mereka yang menikah dengan pelaku KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Pelaku KDRT diduga kuat tingkat psikopatiknya tinggi. Nah, siklus ‘kan? Korbannya digebukin, nangis-nangis, minta cerai…Lalu baikan lagi, jatuh kasian dengan si pelaku…Mesra lagi… Lalu digebukin lagi, nangis lagi, baik lagi…. Gitu aja deh terus sampe korbannya dapat keberanian untuk keluar dari lingkaran setan itu.
Atau terkadang sampe si korban meregang nyawa.
Nah, jadi, jelas ya kenapa kalo berkonflik dengan psikopat kita sebaiknya jangan konfrontasi. Pertama, harus ada rekaman atau bukti tertulis. Untuk kasus hukum, mungkin kita punya bukti. Untuk hal lain, sedikit yang punya bukti tertulis atau rekaman. Kedua, karena kalo ketemu muka dengan dia, kita bisa masuk lagi dalam perangkapnya.
Dan jika kita ada dalam perangkapnya, hidup kita akan jadi kayak roda: Terus berputar. Kadang di bawah, kadang di bawah banget.
19 Mei 2019 jam 07.01 WIB