Di atas adalah gambar orang depresi, keliatannya biasa-biasa aja ya. Memang nggak ada orang yang 'modelnya kayak orang depresi’, adanya ‘orang cemberut, orang ramah, rapi, berantakan, dll’. Jadi, jangan kira orang di sebelah kita yang lagi ketawa keras-keras itu bakal meninggal karena tua atau kanker. Bisa aja besok dia gantung diri. Depresi ada banyak jenis, yang gue alami namanya situational depression, kayaknya baru kali ini deh gue depresi, biasanya hanya stres. Walau (kayaknya) gue depresi, gue sama sekali nggak ingin bunuh diri. Salah satu hal yang nyebelin dari depresi adalah cara orang-orang religius meresponsnya. Sebagian dari mereka menganggapnya sebagai tanda kurang iman. Oleh karena itulah doa serta penggunaan jargon-jargon agama mereka anggap dapat dengan mudah menyelesaikan depresi. Pada gak mikir bahwa depresi bukan semata-mata urusan rasa tapi juga berkaitan dengan peristiwa traumatis, reaksi kimiawi, problem medis, dan masih banyak lagi. Oleh sebagian kaum fundamentalis, kalimat yang gue tulis miring tuh dianggap kalimat kurang iman. Mereka memang hobi menganggap Tuhan dan sains nggak bisa akur.
Kenapa Seniman Mudah Depresi (dan Gue Akhirnya Depresi Juga, Kakakkkkk…)
Depresi ada banyak tipe dan sebaiknya kita bilang kita depresi kalo udah menjalani konsultasi serta assessment. Bagaimanapun, ini bukan tulisan akademik. Sebagai postingan curhat bertema depresi, referensi tulisan ini adalah dua seniman yang sering depresi dan bukan para ahli dengan berbagai teori.
Bicara tentang depresi, orang yang bergerak di bidang kreatif (musisi, penari, pelukis, penulis, dll) adalah golongan yang punya kecenderungan kuat untuk menyandang bipolar disorder serta mengalami depresi sampe ke titik mau bunuh diri. Ananda Sukarlan, yang pianis itu lho, nggak terkecuali. Dia ‘kan Aspie atau penyandang Asperger's Syndrome alias High-Functioning Autism. Kecenderungan depresi dan punya bakat di atas rata-rata adalah karakteristik Aspie pada umumnya. Contoh, dalam satu minggu temen-temennya waktu kuliah hanya bisa bikin satu komposisi yang rumit, kalo Mas Ananda bisa bikin beberapa. Ada yang bikinnya pas lagi di kamar mandi, ada yang sambil nungguin nasi mateng…
Kay Redfield Jamison, psikolog dari Johns Hopkins University, menyebut orang kayak gitu dengan istilah ‘the tortured genius.’ Selain sering depresi, Mas Ananda bisa tiba-tiba merasa kesepian banget dan lumayan sering kepikiran untuk bunuh diri tapi,”Apartemen gue di lantai 2 jadi kalo loncat paling cuma benjol,” gitu katanya.
Mas Ananda menulis dalam salah satu postingannya,”Saya percaya bahwa mereka yang diberi kreativitas di atas rata-rata akan mengalami kehilangan karena ada sesuatu yang diambil dari mereka. Ini adalah cara alam (atau mungkin Tuhan) untuk menciptakan keseimbangan.” Sedangkan Haruki Murakami dalam ‘Colorless’ nulis begini,“Orang-orang dengan bakat sebesar itu membayar harga untuk kejeniusan mereka, lewat kehidupan yang lebih singkat dan kematian yang lebih cepat. Mereka bertaruh nyawa.”
Eh, gue ngutip kalimat di atas bukan buat nyumpahin Mas Ananda cepet mati, loh. Dia pianis, bukan koruptor. Kerjanya di gedung konser, bukan Senayan. Ngapain dah nyumpahin dia cepet mati.
#Eh
***
Kalimat Murakami di atas ditujukan kepada Shiro, pianis sakit jiwa yang berhalusinasi (?) lalu ‘ngefitnah’ sahabatnya, Tsukuru, sampe semua teman se-gank Tsukuru nggak mau lagi main bareng dengan Tsukuru. Kondisi Shiro parah? Nggak jika dibandingkan dengan Paul Gauguin, pelukis yang hobi mabuk dan pernah coba bunuh diri pake arsenik. Pengobatan sifilis yang dia jalani bikin dia depresi trus dia motong telinga Vincent van Gogh pas mereka berdua berantem.
Nah, pertanyaannya sekarang:Kenapa seniman rentan terhadap depresi?
Cedar Lee, pelukis Amerika yang sudah berkali-kali mengadakan pameran tunggal, bilang bahwa nggak menghasilkan karya seni membuat dia merasa nggak berguna serta kehilangan motivasi dan tujuan hidup. Menciptakan sesuatu memberikan seniman sebuah identitas. Mereka jadi bangga dan merasa penting karena berkarya artinya mampu mengalahkan tantangan, menghasilkan sesuatu yang khas dan menjadikan mereka unik. Berkreasi juga berarti mengeluarkan apa yang ada di diri mereka yang puncaknya adalah kepuasan batin. Lee juga bilang bahwa intensitas emosi yang dia rasakan saat melihat lukisannya baru jadi mirip dengan perasaan dia waktu menatap bayinya pertama kali.
Sama kayak Lee, Ananda juga menganggap kerja sebagai antidote depresi. Dia pernah bikin musik seharian, capek, lalu mengeluh, ”Sekarang jadi nggak ada obat depresi, deh.” Padahal itu cuma istirahat doang, aslinya komposisinya belum selesai. Lha gimana kalo beneran nganggur, ya? Eh tapinya dia pernah juga depresi saat merevisi sebuah komposisi. Dia bilang “this is a half of hour full of sh*t” padahal pertunjukannya diapresiasi berbagai media. Gue cuma bilang,”Perfeksionis, sih.” Jadi, Lee nggak sepenuhnya benar. Bisa aja seniman merasa depresi karena nggak berkarya tapi bisa juga aktivitas berkarya itu justru menggiring mereka ke dalam depresi (Mas Ananda pasti situasinya lebih kompleks karena dia adalah penyandang Autisme).
Mas Ananda sendiri beranggapan bahwa seni adalah muntahan atau kotoran para seniman. Ya, itu bisa sangat menjijikkan. Kami menciptakan seni karena itu adalah sesuatu yang perlu keluar dari tubuh atau sistem kami, jika tidak maka itu akan jadi racun. Itulah sebabnya kadang-kadang kami tidak tahan mendengarkan musik kami atau melihat lukisan kami sendiri. Karya seni yang paling indah begitu sering lahir dari rasa sakit dan penderitaan. Yang hurufnya miring gue ambil dari salah satu tulisannya. Dia punya www.bloganandasukarlan.com dan ada beberapa postingan tentang depresi di www.andystarblogger.blogspot.com.
Karena berpendapat bahwa kalo gak dikeluarin akan jadi racun, walau tau gue depresi (antara lain) karena tulisan gue jelek, dia teteup maksa gue nulis karena katanya kalo depresi tuh ‘produce, do not consume, do not absorb.’ Lah, justru gue depresi karena tulisan gue jelek !?? Dia bilang,”Ya nulis aja, jangan kebanyakan mikir, why not soal conversation ini misalnya. Tetap depressed nanti tapi much better.”
Gue bilang gue lagi banyak baca biar kalo nulis hasilnya bagus tapi dia ngotot,”Jangan baca, nulis. Too much sh*t inside you, keluarin.” Gue bilang ‘gue udah tua tapi tulisan gue kok masih jelek ya’ terus dia bilang ‘bukannya elo udah tua tapi tulisan elo masih jelek’ melainkan ‘elo udah tua tapi BELUM CUKUP NULIS'. Gimana mau bagus, nulisnya aja jarang.” Dia sendiri bikin musik tiap hari tapi kalo menurut dia jelek, ya dibuang atau direvisi.
Lo bisa aja bilang dia ngomongnya nylekit tapi gue bosen ngeluh tulisan gue jelek dan dengar orang nanggepinnya begini,”Elo nulis biografi Ahok dan Munir, masuk Kick Andy dua kali, elo tuh keren…” 10 kali ngeluh, 10x disautinnya kayak gitu. Respons Mas Ananda berbeda tapi bikin gue ‘seneng’ karena gue merasa, ‘Nah, gue depresi alasannya bener ‘kan…’.
Gitu deh kira-kira ceritanya. Gue ikutin sarannya dan hasilnya ya tulisan ini.
Kamis, 13/9/2018
17.15 WIB