Ketika Saya Hendak Berhenti Mengajar…
(Bahkan Saat Mengkhayalpun Saya Diinterupsi…)
Saya terberkati dengan kesempatan untuk menjalani dua profesi termulia di muka bumi secara bersamaan:Menjadi seorang ibu dan juga guru. Saya bersyukur bisa mengajar di sekolah yang murid-muridnya berasal dari crème de la crème of society. Mansur Fakih dalam sebuah bukunya secara praktis-analistis pernah mengupas cara mengaplikasikan metode Pendidikan Kritis Paulo Freire, pedagog Brazil , di kalangan akar rumput. Aktivis LSM terberkati dengan ribuan kesempatan berharga untuk bekerja sama dengan lapisan bawah. Saya terberkati dengan sebuah kesempatan langka untuk menerapkan metode Freire di kalangan atas yang kerap diposisikan berseberangan dengan mereka yang di bawah.
Bagaimanapun, mengajar bagi saya bukanlah hanya semata-mata sebuah kesempatan emas untuk melakukan perubahan. Mengajar di tempat saya bekerja sekarang ini berarti juga sebuah kesempatan untuk mencicipi surga. Bagaimana tidak? Lingkungan kerja yang sangat demokratis dan egaliter. Rekan-rekan kerja yang pandai namun rendah hati. Fasilitas Wi-fi a la café di Kemang. Kolam renang maha bersih dan gratisan yang membuat saya hemat karena tak perlu pergi ke sport club dan membayar iuran keanggotaan. Murid-murid yang yang bukan hanya schooled tapi juga educated (contoh schooled tapi tidak educated adalah Ruhut Sitompul). Puluhan ribu buku di perpustakaan dengan AC dan sofa yang nyaman. Permintaan buku dan film untuk kepentingan mengajar yang selalu saja disetujui atasan. Sebagai guru sastra saya juga dimanja dengan tiket kelas I atau VIP pertunjukan teater, tinggal pilih judul, lapor bos, pesan mobil dan supir sekolah pun siap mengantar-jemput.Oh ya, satu lagi (rasanya ini yang terpenting):Seingat saya, dari hari pertama saya bekerja hingga hari ini, selalu saja ada adegan yang menbuat saya tertawa ngakak. Saya berani taruhan, sedikit kok orang yang bisa ngakak setiap hari di tempat kerja. Jadi…Lengkaplah sudah keberuntungan saya…Saya terberkati dengan kesempatan untuk melakukan perubahan, mencicipi surga dan tertawa keras-keras setiap hari.
Bagaimanapun, manusia tak pernah bisa lepas dari problem. Di tengah-tengah segala kenikmatan di atas, saya menghadapi satu masalah serius: Bosan Saya sudah mengajar sejak 1998. Tak perduli seindah apapun tempat kerja kita, jika kita ada di situ selama belasan tahun, hanya ada satu kata yang nyantol di kepala:Bosan.
***
Saya percaya bahwa kita semua dipanggil untuk melakukan sesuatu yang amat spesifik. Tentu saja karena Tuhan adalah Sosok demokratis, kita bisa menutup telinga rapat-rapat terhadap panggilanNya dan mengatakan ‘tidak’ dengan tegas, lalu lenggang-kangkung meninggalkanNya. Bagaimanapun, saya yakin bahwa hati kita telah Ia buat seperti donat:Ada kekosongan di tengahnya yang hanya bisa diisi jika kita memercayaiNya dan mengikuti panggilanNya.
Setiap tahun saya selalu saja ditanya murid,”Gimana sih Ms, cara membedakan panggilan dari hobi?Kita tau dari mana bahwa kita dipanggil untuk melakukan A dan bukan untuk melakukan B misalnya?” Jawaban saya dari dulu masih saja sama (tanda-tanda bukan guru kreatif kali ya,ha ha ha ha),”Definisi panggilan adalah ‘jika kita tidak mengikutinya maka kita akan gelisah. Jika kita tidak mentaatinya maka kita akan merasa ‘aduhhh…kayaknya mau gila nih gue sebentar lagi…’ “.
Pertanyaan rutin lainnya adalah,”Tau dari mana kalo Dia sedang ngomong ke kita?” Saya percaya kita semua punya cara berkomunikasi yang khas dan amat spesifik. Saat seorang pemilik warung menghampiri tukang daging dan menggerakkan tiga jarinya, mereka sudah sama-sama paham bahwa yang dimaksud adalah ‘dagingnya 3 kilo ya’. Jika si pemilik warung pergi ke hipermarket atau bengkel dan melakukan body language yang sama, tentulah kasir atau si montir akan terbengong-bengong. Di sebuah rumah tangga, ketika seorang laki-laki memandang tajam istrinya di ruang tamu tetangga, si istri paham bahwa itu adalah pertanda bahwa mereka harus segera pulang karena sudah bertamu terlalu lama. Adapun di sebuah sekolah yang murid-muridnya belum lepas dari kultur bullying, saat tatapan serupa dilemparkan seorang kakak kelas kepada yuniornya , bisa saja itu berarti,” Gue tunggu lo ntar di belakang kantin!Siap-siap aja lo gue gebukin sampe badan lo memar-memar!”
Kita semua menyembah Tuhan yang maha kreatif. Ia yang menciptakan milyaran manusia dengan puluhan milyar sidik jari yang berlainan adalah Ia yang juga punya cara tak terbilang untuk berkomunikasi dengan umatNya. Ia bisa bicara dengan kita melalui hati nurani. Lewat saudara, orang tua, papan reklame, buku,acara televisi,murid, masalah pekerjaan, problem rumah tangga, friksi dalam persahabatan, pencapaian yang baru kita raih, pembantu rumah tangga, piala yang sedang kita genggam,tetangga, tulisan di kaos atau apapun itu. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengenali gaya yang Ia pilih untuk berkomunikasi dengan kita. Dalam hidup saya terkadang, sini deh saya kasih tahu, saya rasa Ia bicara,hmmm…Melalui surat.
***
Surat Pertama.
Tahun 1998, saya pernah mau berhenti mengajar. Beberapa hari sebelum saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri, Lisa, seorang murid 3 SD mengirimi saya sepucuk surat yang membuat mata saya basah. Isinya kurang lebih ucapan terima kasihnya karena saya telah menjadi gurunya. Seorang kolega nyeletuk,”Gue yakin…Lo pasti ga jadi mundur,’kan?” Ya betul. Saya memang tidak mengundurkan diri SAAT ITU namun tahun berikutnya, 1999,tekad saya membulat. Saya masih amat muda dan ingin merasakan warna-warni dunia. Saya penasaran,”Kerja di kantor rasanya kayak apa,sih?” Dalam waktu 4 bulan saya terdampar di 3 tempat. 6 bulan setelah mengundurkan diri, dengan nebel-nebelin muka dan sok cuek, saya pun kembali lagi ke habitat semula.
Surat Kedua.
Tahun 2010. Sudah beberapa tahun saya menghadapi beberapa masalah yang kelihatan jelas pangkalnya namun terkesan seperti tak berujung. Kelelahan kronis dalam menghadapi semua problem yang amat menguras emosi dan juga antusiasme meledak-ledak untuk lebih produktif dalam membuat buku, membuat saya teramat yakin bahwa saya harus berhenti mengajar. Jadi ibu rumah tangga. Belajar masak. Belajar bikin kue. Riset dan wawancara untuk keperluan menulis buku. Stamina saya sudah di ambang batas. Di saat secara emosional-spiritual saya merasa sudah ‘habis’, Joan Josephine, seorang murid 3 SMA, memberikan saya selembar surat yang, lagi-lagi, membuat mata saya basah.
Surat Ketiga.
Awal September 2010.Libur Lebaran baru saja dimulai. Sudah berhari-hari saya mengkhayal tentang apa yang akan saya kerjakan jika saya berhenti mengajar. Di luar dugaan Aldo, seorang alumni,sent message ke inbox FB. Untuk ketiga kalinya, mata saya basah. Ah,bahkan ketika mengkhayal sekalipun saya diinterupsi, diingatkan bahwa panggilan yang sekarang sedang saya tanggapi belumlah usai dijalani…
***
Saya berulang kali menerima ucapan terima kasih dari murid secara lisan dan juga melalui sebaris-dua baris kalimat lewat posting-an di wall atau email. Selama 13 tahun mengajar baru tiga kali saya menerima surat secara khusus yang semuanya dilayangkan pada titik-titik kritis. Lisa, Jossie dan Aldo tak tahu bahwa saat surat itu dikirim, saya sedang berada pada titik krusial dalam hidup. Sebuah kebetulan? Ah, saya percaya bahwa kebetulan adalah dua keharusan yang terjadi secara bersamaan. Kebetulan adalah juga cara Tuhan untuk menyembunyikan diriNya saat Ia ingin berkarya tanpa dikenali.
Teman-teman,
ketahuilah bahwa menulis notes ini butuh nyali lebih besar dibandingkan saat saya menulis biografi Munir. Ketika itu saya sempat berhenti menulis sekitar 4 bulan karena takut anak saya diculik musuh Munir. Di luar dugaan, menulis notes ini butuh keberanian khusus. Entah mengapa, ada sedikit perasaan janggal, mungkin karena notes ini membahas panggilan Ilahi dan Suara Tuhan sementara saya adalah manusia berlumur dosa yang bisa jadi ribuan kali lebih buruk daripada siapapun yang membaca notes ini. Saya yakin pasti ada yang tertawa geli lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkomentar,”Ah…Absurd nih…Tuhan ngomong?Lewat surat?? Ada-ada aja.Lagian lo aneh, kayaknya lo relijius banget sih nulis soal beginian…”Bagaimanapun, saya putuskan untuk tetap menguploadnya karena saya pikir banyak yang menguplaod materi pornografis di FB sementara saya punya sesuatu yang (paling tidak bagi saya) positif untuk dibagi….jadi, kenapa tidak? Alasan lain adalah saya sadar bahwa kita memaknai Tuhan dengan cara yang berlainan dan perbedaan ini akan memunculkan reaksi beragam terhadapa notes ini….Bukankah keberagaman memperkaya hidup ??
Teman-teman,
Izinkan saya untuk menutup tulisan ini dengan sebuah kisah yang terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Seorang pria melamar kerja di sebuah kantor pos. Dengan belasan pelamar lainnya ia menanti dengan sabar di ruang tunggu. Situasi agak riuh karena ruangan cukup kecil dan berbatasan dengan ruang kerja beberapa departemen di kantor pos. Jam demi jam berlalu namun tak ada satu pegawai pun yang keluar dari kantor untuk memanggil nama pelamar untuk sesi wawancara. Mereka pun mulai merasa gelisah. Namun secara tiba-tiba, tanpa disuruh, si pria berdiri dan masuk ke ruang atasan. Tak lama kemudian ia keluar sambil tersenyum.”Sudah ya…Bapak Ibu boleh pulang…Lowongan sudah ditutup. Bapak ini yang akan mengisinya”, ujar pegawai HRD yang mendampingi pria itu. Belasan pelamar lainnya kontan marah-marah saat mendengar pengumuman tersebut,”Dia datang paling akhir kok dia sih ya diterima?”Demikian protes mereka. Pegawai HRD langsung menjawab,”Nama Bapak-Ibu sebenarnya sudah dipanggil tapi melalui kode morse, pakai mesin telegraf, dipancarkan lewat speaker. Kan kami cari operator telegraf? Memang situasi agak ribut dan Bapak-Ibu tidak mendengarnya tapi bapak yang ini dengar. Dia sangat tajam pendengarannya….”.
Teman-teman, dunia begitu ramai dan hidup kita demikian penuh dengan berbagai suara. Semoga di tengah keriuhan tersebut kita masih bisa mendengar suaraNya, mengetahui panggilanNya dan menaatiNya.
________________________________________________________________________________________________________________
Note:Terima kasih sebesar-besarnya dari lubuk hati yang sedalam-dalamnya buat Lisa, Jossie dan Aldo. Terima kasih karena kalian bertiga sudah mengingatkan (walau kalian ga sadar…) bahwa panggilan Ms belum selesai dijalani….
Sabtu, 12 September, 2010, 12:22pm
Bagaimanapun, mengajar bagi saya bukanlah hanya semata-mata sebuah kesempatan emas untuk melakukan perubahan. Mengajar di tempat saya bekerja sekarang ini berarti juga sebuah kesempatan untuk mencicipi surga. Bagaimana tidak? Lingkungan kerja yang sangat demokratis dan egaliter. Rekan-rekan kerja yang pandai namun rendah hati. Fasilitas Wi-fi a la café di Kemang. Kolam renang maha bersih dan gratisan yang membuat saya hemat karena tak perlu pergi ke sport club dan membayar iuran keanggotaan. Murid-murid yang yang bukan hanya schooled tapi juga educated (contoh schooled tapi tidak educated adalah Ruhut Sitompul). Puluhan ribu buku di perpustakaan dengan AC dan sofa yang nyaman. Permintaan buku dan film untuk kepentingan mengajar yang selalu saja disetujui atasan. Sebagai guru sastra saya juga dimanja dengan tiket kelas I atau VIP pertunjukan teater, tinggal pilih judul, lapor bos, pesan mobil dan supir sekolah pun siap mengantar-jemput.Oh ya, satu lagi (rasanya ini yang terpenting):Seingat saya, dari hari pertama saya bekerja hingga hari ini, selalu saja ada adegan yang menbuat saya tertawa ngakak. Saya berani taruhan, sedikit kok orang yang bisa ngakak setiap hari di tempat kerja. Jadi…Lengkaplah sudah keberuntungan saya…Saya terberkati dengan kesempatan untuk melakukan perubahan, mencicipi surga dan tertawa keras-keras setiap hari.
Bagaimanapun, manusia tak pernah bisa lepas dari problem. Di tengah-tengah segala kenikmatan di atas, saya menghadapi satu masalah serius: Bosan Saya sudah mengajar sejak 1998. Tak perduli seindah apapun tempat kerja kita, jika kita ada di situ selama belasan tahun, hanya ada satu kata yang nyantol di kepala:Bosan.
***
Saya percaya bahwa kita semua dipanggil untuk melakukan sesuatu yang amat spesifik. Tentu saja karena Tuhan adalah Sosok demokratis, kita bisa menutup telinga rapat-rapat terhadap panggilanNya dan mengatakan ‘tidak’ dengan tegas, lalu lenggang-kangkung meninggalkanNya. Bagaimanapun, saya yakin bahwa hati kita telah Ia buat seperti donat:Ada kekosongan di tengahnya yang hanya bisa diisi jika kita memercayaiNya dan mengikuti panggilanNya.
Setiap tahun saya selalu saja ditanya murid,”Gimana sih Ms, cara membedakan panggilan dari hobi?Kita tau dari mana bahwa kita dipanggil untuk melakukan A dan bukan untuk melakukan B misalnya?” Jawaban saya dari dulu masih saja sama (tanda-tanda bukan guru kreatif kali ya,ha ha ha ha),”Definisi panggilan adalah ‘jika kita tidak mengikutinya maka kita akan gelisah. Jika kita tidak mentaatinya maka kita akan merasa ‘aduhhh…kayaknya mau gila nih gue sebentar lagi…’ “.
Pertanyaan rutin lainnya adalah,”Tau dari mana kalo Dia sedang ngomong ke kita?” Saya percaya kita semua punya cara berkomunikasi yang khas dan amat spesifik. Saat seorang pemilik warung menghampiri tukang daging dan menggerakkan tiga jarinya, mereka sudah sama-sama paham bahwa yang dimaksud adalah ‘dagingnya 3 kilo ya’. Jika si pemilik warung pergi ke hipermarket atau bengkel dan melakukan body language yang sama, tentulah kasir atau si montir akan terbengong-bengong. Di sebuah rumah tangga, ketika seorang laki-laki memandang tajam istrinya di ruang tamu tetangga, si istri paham bahwa itu adalah pertanda bahwa mereka harus segera pulang karena sudah bertamu terlalu lama. Adapun di sebuah sekolah yang murid-muridnya belum lepas dari kultur bullying, saat tatapan serupa dilemparkan seorang kakak kelas kepada yuniornya , bisa saja itu berarti,” Gue tunggu lo ntar di belakang kantin!Siap-siap aja lo gue gebukin sampe badan lo memar-memar!”
Kita semua menyembah Tuhan yang maha kreatif. Ia yang menciptakan milyaran manusia dengan puluhan milyar sidik jari yang berlainan adalah Ia yang juga punya cara tak terbilang untuk berkomunikasi dengan umatNya. Ia bisa bicara dengan kita melalui hati nurani. Lewat saudara, orang tua, papan reklame, buku,acara televisi,murid, masalah pekerjaan, problem rumah tangga, friksi dalam persahabatan, pencapaian yang baru kita raih, pembantu rumah tangga, piala yang sedang kita genggam,tetangga, tulisan di kaos atau apapun itu. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengenali gaya yang Ia pilih untuk berkomunikasi dengan kita. Dalam hidup saya terkadang, sini deh saya kasih tahu, saya rasa Ia bicara,hmmm…Melalui surat.
***
Surat Pertama.
Tahun 1998, saya pernah mau berhenti mengajar. Beberapa hari sebelum saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri, Lisa, seorang murid 3 SD mengirimi saya sepucuk surat yang membuat mata saya basah. Isinya kurang lebih ucapan terima kasihnya karena saya telah menjadi gurunya. Seorang kolega nyeletuk,”Gue yakin…Lo pasti ga jadi mundur,’kan?” Ya betul. Saya memang tidak mengundurkan diri SAAT ITU namun tahun berikutnya, 1999,tekad saya membulat. Saya masih amat muda dan ingin merasakan warna-warni dunia. Saya penasaran,”Kerja di kantor rasanya kayak apa,sih?” Dalam waktu 4 bulan saya terdampar di 3 tempat. 6 bulan setelah mengundurkan diri, dengan nebel-nebelin muka dan sok cuek, saya pun kembali lagi ke habitat semula.
Surat Kedua.
Tahun 2010. Sudah beberapa tahun saya menghadapi beberapa masalah yang kelihatan jelas pangkalnya namun terkesan seperti tak berujung. Kelelahan kronis dalam menghadapi semua problem yang amat menguras emosi dan juga antusiasme meledak-ledak untuk lebih produktif dalam membuat buku, membuat saya teramat yakin bahwa saya harus berhenti mengajar. Jadi ibu rumah tangga. Belajar masak. Belajar bikin kue. Riset dan wawancara untuk keperluan menulis buku. Stamina saya sudah di ambang batas. Di saat secara emosional-spiritual saya merasa sudah ‘habis’, Joan Josephine, seorang murid 3 SMA, memberikan saya selembar surat yang, lagi-lagi, membuat mata saya basah.
Surat Ketiga.
Awal September 2010.Libur Lebaran baru saja dimulai. Sudah berhari-hari saya mengkhayal tentang apa yang akan saya kerjakan jika saya berhenti mengajar. Di luar dugaan Aldo, seorang alumni,sent message ke inbox FB. Untuk ketiga kalinya, mata saya basah. Ah,bahkan ketika mengkhayal sekalipun saya diinterupsi, diingatkan bahwa panggilan yang sekarang sedang saya tanggapi belumlah usai dijalani…
***
Saya berulang kali menerima ucapan terima kasih dari murid secara lisan dan juga melalui sebaris-dua baris kalimat lewat posting-an di wall atau email. Selama 13 tahun mengajar baru tiga kali saya menerima surat secara khusus yang semuanya dilayangkan pada titik-titik kritis. Lisa, Jossie dan Aldo tak tahu bahwa saat surat itu dikirim, saya sedang berada pada titik krusial dalam hidup. Sebuah kebetulan? Ah, saya percaya bahwa kebetulan adalah dua keharusan yang terjadi secara bersamaan. Kebetulan adalah juga cara Tuhan untuk menyembunyikan diriNya saat Ia ingin berkarya tanpa dikenali.
Teman-teman,
ketahuilah bahwa menulis notes ini butuh nyali lebih besar dibandingkan saat saya menulis biografi Munir. Ketika itu saya sempat berhenti menulis sekitar 4 bulan karena takut anak saya diculik musuh Munir. Di luar dugaan, menulis notes ini butuh keberanian khusus. Entah mengapa, ada sedikit perasaan janggal, mungkin karena notes ini membahas panggilan Ilahi dan Suara Tuhan sementara saya adalah manusia berlumur dosa yang bisa jadi ribuan kali lebih buruk daripada siapapun yang membaca notes ini. Saya yakin pasti ada yang tertawa geli lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkomentar,”Ah…Absurd nih…Tuhan ngomong?Lewat surat?? Ada-ada aja.Lagian lo aneh, kayaknya lo relijius banget sih nulis soal beginian…”Bagaimanapun, saya putuskan untuk tetap menguploadnya karena saya pikir banyak yang menguplaod materi pornografis di FB sementara saya punya sesuatu yang (paling tidak bagi saya) positif untuk dibagi….jadi, kenapa tidak? Alasan lain adalah saya sadar bahwa kita memaknai Tuhan dengan cara yang berlainan dan perbedaan ini akan memunculkan reaksi beragam terhadapa notes ini….Bukankah keberagaman memperkaya hidup ??
Teman-teman,
Izinkan saya untuk menutup tulisan ini dengan sebuah kisah yang terjadi beberapa puluh tahun yang lampau. Seorang pria melamar kerja di sebuah kantor pos. Dengan belasan pelamar lainnya ia menanti dengan sabar di ruang tunggu. Situasi agak riuh karena ruangan cukup kecil dan berbatasan dengan ruang kerja beberapa departemen di kantor pos. Jam demi jam berlalu namun tak ada satu pegawai pun yang keluar dari kantor untuk memanggil nama pelamar untuk sesi wawancara. Mereka pun mulai merasa gelisah. Namun secara tiba-tiba, tanpa disuruh, si pria berdiri dan masuk ke ruang atasan. Tak lama kemudian ia keluar sambil tersenyum.”Sudah ya…Bapak Ibu boleh pulang…Lowongan sudah ditutup. Bapak ini yang akan mengisinya”, ujar pegawai HRD yang mendampingi pria itu. Belasan pelamar lainnya kontan marah-marah saat mendengar pengumuman tersebut,”Dia datang paling akhir kok dia sih ya diterima?”Demikian protes mereka. Pegawai HRD langsung menjawab,”Nama Bapak-Ibu sebenarnya sudah dipanggil tapi melalui kode morse, pakai mesin telegraf, dipancarkan lewat speaker. Kan kami cari operator telegraf? Memang situasi agak ribut dan Bapak-Ibu tidak mendengarnya tapi bapak yang ini dengar. Dia sangat tajam pendengarannya….”.
Teman-teman, dunia begitu ramai dan hidup kita demikian penuh dengan berbagai suara. Semoga di tengah keriuhan tersebut kita masih bisa mendengar suaraNya, mengetahui panggilanNya dan menaatiNya.
________________________________________________________________________________________________________________
Note:Terima kasih sebesar-besarnya dari lubuk hati yang sedalam-dalamnya buat Lisa, Jossie dan Aldo. Terima kasih karena kalian bertiga sudah mengingatkan (walau kalian ga sadar…) bahwa panggilan Ms belum selesai dijalani….
Sabtu, 12 September, 2010, 12:22pm