Ketika Tuhan dan Ibu Ade Menangis:
Peringatan Satu Tahun Kepergian Ibu Ade
8 Juli 2012 tentu saja bukan tanggal biasa. Ini adalah hari yang menunjukkan bahwa tepat sudah satu tahun Bu Ade tak lagi bersama kita. Kakak saya, Ezki, dan saya berencana untuk membagikan goody bags ke pasien anak-anak yang tak mampu secara finansial. Mbak Ezki sakit jadi saya pergi ditemani suami serta keluarganya yang menetap di Medan dan saat itu lagi berlibur di Jakarta....
Bagian I. Ia-yang- Melampaui- Tuhan Itu Bernama Birokrasi
Tanggal 8 Juli jam 17 tepat, saya dan kakak ipar saya tiba di depan meja perawat Gedung A Lantai 1 RSCM yang merawat pasien anak-anak kelas tiga.”Selamat sore...Saya anak Bu Ade Rostina Sitompul. Satu tahun yang lalu Ibu saya meninggal di sini. Hari ini pas satu tahun meninggalnya Bu Ade jadi keluarganya mau kasih bingkisan buat anak-anak. Bisa ketemu Suster Tati ?”, begitu saya menjelaskan maksud kedatangan kepada seorang perawat yang sedang jaga. Kakak ipar saya, Eva, dan saya lalu dipersilahkan masuk ke ruang di belakang meja perawat. Suami dan keluarga yang lain menunggu di Dunkin Donuts yang jaraknya hanya sekitar 10 kotak ubin dari pintu bangsal anak. Di dalam sudah ada dua perempuan, entah siapa, dan Suster Kepala yang ternyata bukan Suster Tati,”Beliau ga bertugas hari Minggu, hari ini saya yang bertugas”, ujarnya. Saya lalu kembali menjelaskan maksud kedatangan. “Sudah ngomong ke Humas?” Tanya Suster Kepala yang namanya tak saya ingat. Saya menggeleng,”Saya ngga tahu, Suster. Saya ke sini pake perantara. Katanya bisa kok saya datang hari ini”. Suster tersebut menjelaskan bahwa menurut peraturan, segala rencana pemberian harus disampaikan ke Bagian Humas terlebih dahulu. Kalimatnya diiyakan oleh dua orang lainnya.
“Ooo...Gitu, ya? Mau berbuat baik repot amat, kalo korupsi kok gampang??” Begitu saya berkomentar. Salah satu perawat dengan cepat menyahut,”Kalo korupsi emang gampang, Bu”, ujarnya. Dahi saya langsung berkerenyit. Suster Kepala lalu bertanya siapa yang saya maksud dengan ‘perantara’. Sesudah saya jelaskan, salah satu dari mereka berujar,”Itu lho yang bantuin si X (disebut nama seorang anak yang dulu sakit parah), dia emang sering ngga lewat ke humas”. Ibu saya semasa hidup mengurus banyak orang sakit dan sekarat jadi saya paham pentingnya memotong birokrasi saat kebutuhan sudah amat mendesak. Saya yakin banyak orang mengerti bahwa mengikuti rantai prosedur secara bertahap dalam kasus-kasus tertentu bisa membahayakan karena birokrasi yang lamban selalu kalah lomba lari dengan nyawa yang yang sedang meregang. Bagaimanapun, ada cukup banyak orang yang memberhalakan prosedur jadi agar nama perantara saya tak menjadi cemar, saya putuskan untuk menyembunyikan identitasnya (Soalnya orang ini lumayan ngetop juga di social media)
Kak Eva dan saya coba untuk negosiasi dengan Suster Kepala itu namun gagal. Beliau lalu menelpon Bu Ayu, Manajer Operasional Gedung A, dan menjelaskan bahwa ada keluarga mantan pasien datang dan untuk memperingati setahun meninggalnya, bla...bla...bla..... Tak lama kemudian, Bu Ayu masuk ke ruangan. Beliau bertanya apa yang sedang terjadi dan saya pun kembali menjelaskan, mengulangi apa yang baru saja beliau dengar di telpon saat dihubungi Suster Kepala,”Saya keluarga mantan pasien, bla...bla...bla...”.
Keputusan Bu Ayu sama dengan Suster Kepala:Tidak bisa. Kak Eva dan saya kembali mencoba untuk bernegosiasi, kali ini bukan hanya dengan Suster Kepala namun sekaligus dengan Manajer Operasional. Hasilnya serupa:Tidak bisa. “Kalo hubungi Humas, cepet. Peraturannya seperti itu. Gampang kok, ngga berbelit-belit”, tutur Suster Kepala.”Lain kali, telpon saja 021-3914461, bicara dengan Valestine atau Yati”. Ibu Ayu juga mengatakan hal serupa, begitu pula dengan dua orang lainnya. Intinya, password untuk berbuat baik di RSCM adalah:Humas.
Salah satu orang di ruang itu lalu menelpon Humas yang kemudian mengambil keputusan untuk datang menemui saya. “Humasnya mau datang Bu, tunggu ya, nanti Ibu bilang aja ke Humasnya maksud Ibu apa...”, tutur orang tersebut tanpa meletakkan gagang telpon. Saya langsung berdiri dan menolak,”Ngga, makasih, saya ngga biasa dipingpong, saya pulang sekarang”.
Hmm...Cerita ini tidak detil bukan ??? Jumlah orang yang perlu ditolong jauh lebih banyak daripada jumlah orang yang hendak menolong jadi memohon-mohon agar diberi kesempatan untuk menolong saya rasa layak dijadikan keajaiban dunia nomor sekian setelah Pulau Komodo. Tak masuk akal. Absurd.Proses negosiasi tidak begitu lama namun sangat menguras emosi. Saya amat menghormati Prof.Dr.Akmal Taher, Dirut RSCM. Beliau sangat baik kepada Ibu saya dan menulis cerita hingga detil akan membuat tulisan di atas penuh dengan makian. Risih ya mendamprat institusi yang dikepalai oleh orang yang saya hormati.
Saya bingung. Kenapa ya isi pertemuan hanya menyalahkan ? “Ibu seharusnya menghubungi Humas dulu...”, kalimat ini di Minggu sore itu bekerja mirip mantra:Disebut berulang-ulang dan punya daya magis yang bisa mencairkan hati nurani yang sudah beku....Kalo mereka masih punya hati nurani.
Saya bingung kenapa prosedur harus demikian diikuti dan bahkan dipuja. Lah, Tuhan aja bisa diajak negosiasi (Sebagian dari pembaca mungkin tahu cerita tentang Abraham yang nego dengan Dia soal jumlah orang di Sodom Gomorah yang hendak dibinasakan ??). Tujuan saya menulis ini bukan untuk mengajak orang melanggar peraturan atau memotong prosedur. Tujuan saya antara lain untuk mengajak kita semua untuk memilah kapan hati nurani dan kebutuhan harus diprioritaskan dan kapan birokrasi mesti diikuti. Tuhan aja demokratis, bisa diajak negosiasi atau tukar pikiran, masa’ RSCM ngga sih ???!!!!
Saya juga bingung kenapa hari itu tidak ada win-win solution. Kak Eva sudah menjelaskan bahwa diterimanya bantuan bisa membuat nama RSCM menjadi positif dan saya sudah mengatakan bahwa tiap tahun ada rencana untuk memberi bingkisan tiap kali memperingati kepergian Bu Ade. Negosiasi sudah coba kami lakukan dengan dua orang yang punya pengaruh: Suster Kepala dan Manajer Operasional. Bagaimanapun, mereka berpola pikir linear dan sikap mereka sangat pasif. Tak ada yang mengajukan alternatif, misalnya,”Wah....Menyalahi prosedur nih...Kali ini ngga apa-apa tapi ini yang terakhir,ya. Tahun depan harus lewat Humas”. Alternatif lain misalnya,”Bisa ngga bingkisannya ditinggal, saya buatkan tanda terima dan saya diskusikan dengan humas?? Nanti Ibu saya hubungi lagi” Atau mungkin,”Coba ya Bu, saya usahakan sekali niat baik Ibu kesampaian...Nomor telpon Ibu berapa ? Mungkin Ibu bisa ke Dunkin aja dulu, saya coba bicara dengan Humas nanti saya telpon ??” Tidakkah terlintas di benak mereka bahwa bingkisan itu, walau sangat sederhana, bisa membuat anak-anak tertawa dan kebahagiaan mampu mengurangi rasa sakit ?
Entahlah. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Saya hanya tahu apa yang sedang terjadi di Surga saat itu:Tuhan dan Ibu Ade pasti ketika itu menangis sedih melihat bingkisan-bingkisan tersebut tak sampai ke tangan anak-anak.
Bagian II. Mencicipi Surga: Pertemuan Dengan Malaikat Tanpa Sayap.
Senin 9 Juli 2011, saya mengunjungi sebuah Panti Asuhan Islam untuk menyampaikan bingkisan yang ditolak RSCM. Ternyata para penghuni adalah anak SD dan SMP. Jumlahnya kayaknya banyak padahal goody bags hanya ada 65 (Sekitar 51 untuk pasien di Bangsal Anak dan 12-13an untuk anak di Ruang ICU). Singkat cerita, dengan bantuan seorang kawan, saya disarankan untuk ke Gereja Katedral. Teman menghubungi saya dengan Pak Yono, seorang anggota staff di situ.
Jadi...Sampailah saya di di kantor Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung jakarta atau LDD-KAJ (Baca: http://www.ebahana.com/warta-3676-paskah-disable-dan-50-tahun-ldd-kaj.html ). Sambutan Pak Yono amat ramah. ”Isi sendiri ya Bu tanda terimanya’, ujarnya sambil menyodorkan selembar tanda terima yang masih kosong. Di situ saya juga berkenalan dengan Suster Teresia dan sempat berbincang sebentar tentang kegiatan LDD-KAJ. Mereka menyediakan makanan bagi 30 lansia di sepanjang rel Juanda, Pasar Baru. Kegiatan ini diadakan tiap Sabtu dan jumlah yang bisa ditolong pasti bertambah jika jumlah donatur meningkat. Mereka sekarang sedang mengusahakan tempat tidur bagi para lansia berupa kain terpal yang diisi busa tipis (lihat gambar). Sejauh ini baru ada 3 donatur yang menyumbang. Kalau ada yang berminat bantu, entah terpal atau apapun itu, silahkan hubungi Pak Yono di 0815-842-52848. “Mereka benar-benar udah lanjut usia, diberdayakan kayak apapun udah ngga bisa karena memang mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa”. Demikian Pak Yono menjelaskan. LDD-KAJ juga melayani para buruh (http://biropelayananburuh.blogspot.com/2010/03/sekilas-biro-pelayanan-buruh-ldd-kaj.html ).
Hari itu, saya terberkati dengan kesempatan istimewa untuk mencicipi apa rasanya Surga. Pak Yono dan Suster Teresia sangat kooperatif. Acara peringatan setahun kepergian Bu Ade pun berakhir seperti film Hollywood. Tuhan dan Bu Ade kembali menangis. Kali ini, tentu saja,menagis haru atau...Mungkin menangis panik karena tiba-tiba ada dua malaikat yang jatuh ke bumi.
Lippo-Cikarang, 12 Juli 2012,16.13 WIB
Bagian I. Ia-yang- Melampaui- Tuhan Itu Bernama Birokrasi
Tanggal 8 Juli jam 17 tepat, saya dan kakak ipar saya tiba di depan meja perawat Gedung A Lantai 1 RSCM yang merawat pasien anak-anak kelas tiga.”Selamat sore...Saya anak Bu Ade Rostina Sitompul. Satu tahun yang lalu Ibu saya meninggal di sini. Hari ini pas satu tahun meninggalnya Bu Ade jadi keluarganya mau kasih bingkisan buat anak-anak. Bisa ketemu Suster Tati ?”, begitu saya menjelaskan maksud kedatangan kepada seorang perawat yang sedang jaga. Kakak ipar saya, Eva, dan saya lalu dipersilahkan masuk ke ruang di belakang meja perawat. Suami dan keluarga yang lain menunggu di Dunkin Donuts yang jaraknya hanya sekitar 10 kotak ubin dari pintu bangsal anak. Di dalam sudah ada dua perempuan, entah siapa, dan Suster Kepala yang ternyata bukan Suster Tati,”Beliau ga bertugas hari Minggu, hari ini saya yang bertugas”, ujarnya. Saya lalu kembali menjelaskan maksud kedatangan. “Sudah ngomong ke Humas?” Tanya Suster Kepala yang namanya tak saya ingat. Saya menggeleng,”Saya ngga tahu, Suster. Saya ke sini pake perantara. Katanya bisa kok saya datang hari ini”. Suster tersebut menjelaskan bahwa menurut peraturan, segala rencana pemberian harus disampaikan ke Bagian Humas terlebih dahulu. Kalimatnya diiyakan oleh dua orang lainnya.
“Ooo...Gitu, ya? Mau berbuat baik repot amat, kalo korupsi kok gampang??” Begitu saya berkomentar. Salah satu perawat dengan cepat menyahut,”Kalo korupsi emang gampang, Bu”, ujarnya. Dahi saya langsung berkerenyit. Suster Kepala lalu bertanya siapa yang saya maksud dengan ‘perantara’. Sesudah saya jelaskan, salah satu dari mereka berujar,”Itu lho yang bantuin si X (disebut nama seorang anak yang dulu sakit parah), dia emang sering ngga lewat ke humas”. Ibu saya semasa hidup mengurus banyak orang sakit dan sekarat jadi saya paham pentingnya memotong birokrasi saat kebutuhan sudah amat mendesak. Saya yakin banyak orang mengerti bahwa mengikuti rantai prosedur secara bertahap dalam kasus-kasus tertentu bisa membahayakan karena birokrasi yang lamban selalu kalah lomba lari dengan nyawa yang yang sedang meregang. Bagaimanapun, ada cukup banyak orang yang memberhalakan prosedur jadi agar nama perantara saya tak menjadi cemar, saya putuskan untuk menyembunyikan identitasnya (Soalnya orang ini lumayan ngetop juga di social media)
Kak Eva dan saya coba untuk negosiasi dengan Suster Kepala itu namun gagal. Beliau lalu menelpon Bu Ayu, Manajer Operasional Gedung A, dan menjelaskan bahwa ada keluarga mantan pasien datang dan untuk memperingati setahun meninggalnya, bla...bla...bla..... Tak lama kemudian, Bu Ayu masuk ke ruangan. Beliau bertanya apa yang sedang terjadi dan saya pun kembali menjelaskan, mengulangi apa yang baru saja beliau dengar di telpon saat dihubungi Suster Kepala,”Saya keluarga mantan pasien, bla...bla...bla...”.
Keputusan Bu Ayu sama dengan Suster Kepala:Tidak bisa. Kak Eva dan saya kembali mencoba untuk bernegosiasi, kali ini bukan hanya dengan Suster Kepala namun sekaligus dengan Manajer Operasional. Hasilnya serupa:Tidak bisa. “Kalo hubungi Humas, cepet. Peraturannya seperti itu. Gampang kok, ngga berbelit-belit”, tutur Suster Kepala.”Lain kali, telpon saja 021-3914461, bicara dengan Valestine atau Yati”. Ibu Ayu juga mengatakan hal serupa, begitu pula dengan dua orang lainnya. Intinya, password untuk berbuat baik di RSCM adalah:Humas.
Salah satu orang di ruang itu lalu menelpon Humas yang kemudian mengambil keputusan untuk datang menemui saya. “Humasnya mau datang Bu, tunggu ya, nanti Ibu bilang aja ke Humasnya maksud Ibu apa...”, tutur orang tersebut tanpa meletakkan gagang telpon. Saya langsung berdiri dan menolak,”Ngga, makasih, saya ngga biasa dipingpong, saya pulang sekarang”.
Hmm...Cerita ini tidak detil bukan ??? Jumlah orang yang perlu ditolong jauh lebih banyak daripada jumlah orang yang hendak menolong jadi memohon-mohon agar diberi kesempatan untuk menolong saya rasa layak dijadikan keajaiban dunia nomor sekian setelah Pulau Komodo. Tak masuk akal. Absurd.Proses negosiasi tidak begitu lama namun sangat menguras emosi. Saya amat menghormati Prof.Dr.Akmal Taher, Dirut RSCM. Beliau sangat baik kepada Ibu saya dan menulis cerita hingga detil akan membuat tulisan di atas penuh dengan makian. Risih ya mendamprat institusi yang dikepalai oleh orang yang saya hormati.
Saya bingung. Kenapa ya isi pertemuan hanya menyalahkan ? “Ibu seharusnya menghubungi Humas dulu...”, kalimat ini di Minggu sore itu bekerja mirip mantra:Disebut berulang-ulang dan punya daya magis yang bisa mencairkan hati nurani yang sudah beku....Kalo mereka masih punya hati nurani.
Saya bingung kenapa prosedur harus demikian diikuti dan bahkan dipuja. Lah, Tuhan aja bisa diajak negosiasi (Sebagian dari pembaca mungkin tahu cerita tentang Abraham yang nego dengan Dia soal jumlah orang di Sodom Gomorah yang hendak dibinasakan ??). Tujuan saya menulis ini bukan untuk mengajak orang melanggar peraturan atau memotong prosedur. Tujuan saya antara lain untuk mengajak kita semua untuk memilah kapan hati nurani dan kebutuhan harus diprioritaskan dan kapan birokrasi mesti diikuti. Tuhan aja demokratis, bisa diajak negosiasi atau tukar pikiran, masa’ RSCM ngga sih ???!!!!
Saya juga bingung kenapa hari itu tidak ada win-win solution. Kak Eva sudah menjelaskan bahwa diterimanya bantuan bisa membuat nama RSCM menjadi positif dan saya sudah mengatakan bahwa tiap tahun ada rencana untuk memberi bingkisan tiap kali memperingati kepergian Bu Ade. Negosiasi sudah coba kami lakukan dengan dua orang yang punya pengaruh: Suster Kepala dan Manajer Operasional. Bagaimanapun, mereka berpola pikir linear dan sikap mereka sangat pasif. Tak ada yang mengajukan alternatif, misalnya,”Wah....Menyalahi prosedur nih...Kali ini ngga apa-apa tapi ini yang terakhir,ya. Tahun depan harus lewat Humas”. Alternatif lain misalnya,”Bisa ngga bingkisannya ditinggal, saya buatkan tanda terima dan saya diskusikan dengan humas?? Nanti Ibu saya hubungi lagi” Atau mungkin,”Coba ya Bu, saya usahakan sekali niat baik Ibu kesampaian...Nomor telpon Ibu berapa ? Mungkin Ibu bisa ke Dunkin aja dulu, saya coba bicara dengan Humas nanti saya telpon ??” Tidakkah terlintas di benak mereka bahwa bingkisan itu, walau sangat sederhana, bisa membuat anak-anak tertawa dan kebahagiaan mampu mengurangi rasa sakit ?
Entahlah. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka. Saya hanya tahu apa yang sedang terjadi di Surga saat itu:Tuhan dan Ibu Ade pasti ketika itu menangis sedih melihat bingkisan-bingkisan tersebut tak sampai ke tangan anak-anak.
Bagian II. Mencicipi Surga: Pertemuan Dengan Malaikat Tanpa Sayap.
Senin 9 Juli 2011, saya mengunjungi sebuah Panti Asuhan Islam untuk menyampaikan bingkisan yang ditolak RSCM. Ternyata para penghuni adalah anak SD dan SMP. Jumlahnya kayaknya banyak padahal goody bags hanya ada 65 (Sekitar 51 untuk pasien di Bangsal Anak dan 12-13an untuk anak di Ruang ICU). Singkat cerita, dengan bantuan seorang kawan, saya disarankan untuk ke Gereja Katedral. Teman menghubungi saya dengan Pak Yono, seorang anggota staff di situ.
Jadi...Sampailah saya di di kantor Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung jakarta atau LDD-KAJ (Baca: http://www.ebahana.com/warta-3676-paskah-disable-dan-50-tahun-ldd-kaj.html ). Sambutan Pak Yono amat ramah. ”Isi sendiri ya Bu tanda terimanya’, ujarnya sambil menyodorkan selembar tanda terima yang masih kosong. Di situ saya juga berkenalan dengan Suster Teresia dan sempat berbincang sebentar tentang kegiatan LDD-KAJ. Mereka menyediakan makanan bagi 30 lansia di sepanjang rel Juanda, Pasar Baru. Kegiatan ini diadakan tiap Sabtu dan jumlah yang bisa ditolong pasti bertambah jika jumlah donatur meningkat. Mereka sekarang sedang mengusahakan tempat tidur bagi para lansia berupa kain terpal yang diisi busa tipis (lihat gambar). Sejauh ini baru ada 3 donatur yang menyumbang. Kalau ada yang berminat bantu, entah terpal atau apapun itu, silahkan hubungi Pak Yono di 0815-842-52848. “Mereka benar-benar udah lanjut usia, diberdayakan kayak apapun udah ngga bisa karena memang mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa”. Demikian Pak Yono menjelaskan. LDD-KAJ juga melayani para buruh (http://biropelayananburuh.blogspot.com/2010/03/sekilas-biro-pelayanan-buruh-ldd-kaj.html ).
Hari itu, saya terberkati dengan kesempatan istimewa untuk mencicipi apa rasanya Surga. Pak Yono dan Suster Teresia sangat kooperatif. Acara peringatan setahun kepergian Bu Ade pun berakhir seperti film Hollywood. Tuhan dan Bu Ade kembali menangis. Kali ini, tentu saja,menagis haru atau...Mungkin menangis panik karena tiba-tiba ada dua malaikat yang jatuh ke bumi.
Lippo-Cikarang, 12 Juli 2012,16.13 WIB