Konser Addie MS dan ‘Rujuk’nya Jokowi-Prabowo
Kalo baca pake HP, mungkin lebih nyaman kalo pake desktop setting.
Liat aja tiga titik di sebelah kanan layar trus klik 'desktop site.'
Di tulisan ini gue akan sebut Addie MS pake kata ‘dia’. Ini nggak sopan tapi masa’ pake kata ‘beliau’ sih? Ntar kayak buku pelajaran bahasa Indonesia anak SD sub bab ‘kata ganti.’
Gue dan Mas Abi ditawarin Addie datang ke konsernya yang diselenggarakan 12 Juli 2019. Ini konser tertutup, tiket nggak diperjual-belikan. Gue hepi banget. Gue nggak minta loh, ini ditawarin. Cihuyyy!
Direktorat Kesenian, Dirjen Kebudayaan dan Kemdikbud sejak 2015 mengadakan program ‘Belajar Bersama Maestro’ (BBM). 15 anak dari berbagai propinsi belajar dari 1 maestro:Ada Addie MS, Didik Nini Thowok, dan lain-lain. Nah, ide konser bermula dari sini.
Jadi ceritanya itu 15 ABG ngikutin maestro pilihan mereka selama 2 minggu. Addie ngajak mereka ngeliatin dia presentasi ke bank, ngintilin ke studio, seminar, dan lain-lain. Trus dia mikir gini,”Eh, masa’ nggak ada konser?” Dua minggu ngikutin seorang Addie MS tanpa ngeliat dia konser, rasanya pasti kayak diajak ke resto pizza yang nggak ada pizzanya.
Akhirnya Addie mengadakan audisi untuk umum. Seleksinya obyektif, hanya melihat kemampuan bermusik. Makanya ada penderita kanker stadium 4 yang ikutan main. “Kemdikbud minta supaya saya nggak hanya mengajarkan masalah teknis tapi juga nilai-nilai hidup, misalnya kerja keras,”kata Addie. Oleh karena itulah ia juga menghadirkan Salwa, lelaki tanpa kaki yang jago main bass, piano, dan drum. Kemarin ia main trumpet.
Konser ini nggak masuk agenda resmi jadi biayanya dari kantung pribadi. “Saya bentuk orkestra ini buat mereka. Saya ingin mereka tahu gimana caranya membangun orkestra dan bikin konser dari nol,”tutur Addie. Biaya latihan, musisi, pelatih, dan paduan suara, dia yang tanggung. “Some people have lots of money, some are rich,”begitulah kata seseorang.
Konser tersebut selain dihadiri teman-teman SMA Addie dan orang Kemdikbud, juga dihadiri kaum difabel termasuk penyandang autisme. Sekitar 5 kali Addie batal memulai aba-aba karena ada yang teriak-teriak. Addie cuma nyengir. Selain itu hadir juga Jacob Sutoyo, pemilik Usmar Ismail Hall, tempat konser diadakan. Sebagai pendukung program-program edukasi Addie, Pak Jacob ngegratisin tempatnya,”Butuh berapa hari? Bilang aja.”
***
Konser diawali dengan Indonesia Raya yang dinyanyikan orang satu gedung sambil berdiri. Lalu di bawah arahan baton Addie, orkestra yang diberi nama ‘Orkes Kita’ itu memainkan musik daerah seperti Alusi Au (Sumatera Utara) dan O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara). Setelah itu Twilite Chorus, yang dibentuk Addie tahun 1995, menyanyikan Bangun Pemudi-Pemuda, Rayuan Pulau Kelapa dan Maju Tak Gentar.
Menarik untuk melihat bahwa WR Soepratman, pengarang lndonesia Raya, ditangkap Belanda. Alfred Simanjutak, komposer Bangun Pemuda-Pemudi, hampir dibunuh Jepang. Adapun Cornel Simanjutak, penulis Maju Tak Gentar, diselundupkan ke Karawang untuk menghindari ancaman pembunuhan dari tentara lawan.
Sosiolog Serge Donisoff mengkategorikan lagu-lagu perjuangan di atas sebagai lagu magnetis. Lagu-lagu ini memancing lahirnya solidaritas, efeknya ngeri lah ya: Pendengar merasa ‘gerah’ lalu jadi bersemangat untuk melawan. Makanya pengarang lagu-lagu magnetis saat jaman penjajahan pasti jadi sasaran tembak.
***
Addie MS dan John Lennon punya pandangan berbeda soal negara. Bagi Lennon, negara adalah penyebab perang. “Imagine there's no countries/ Nothing to kill or die for,”begitulah penggalan lirik ‘Imagine’. Lagu ini disebut Lennon sebagai ‘The Communist Manifesto’ dan ‘anti-nasionalisme.’Sedangkan bagi Addie, negara adalah sebuah entitas yang keberadaanya harus diperjuangkan, kemerdekaanya mesti diisi, identitasnya patut dijaga dan peradabannya wajib dibangun.
Konser kemarin adalah cara Addie menunjukkan apa yang ia yakini harus dilakukan oleh warga negara yang baik. Anak-anak muda sekarang hidup dalam komunitas yang berkarakteristik global. Pilihan Addie atas tema musik yang dibawakan Orkes Kita adalah ekspresi dari kegelisahannya. ”Anak-anak muda kita mesti jadi anak-anak bangsa Indonesia bukan bangsa global,” kata Addie.”Kita mesti berbuat sesuatu,”lanjutnya.
Nah, ‘sesuatu’-nya Addie otomatis berhubungan dengan musik. Antropolog Alan Merriam mengatakan bahwa musik memang berperan besar dalam kesinambungan dan stabilitas budaya. Identitas diri atau kelompok pun bisa dilestarikan dan bahkan diperkuat lewat musik. Makanya pengamen yang nyanyi lagu Batak bisa menerima uang lebih gede dari pengunjung asli Balige dibandingkan dari pengunjung asal Jawa.
Merriam juga mengatakan bahwa musik berperan besar dalam bersatunya sebuah masyarakat karena musik bersifat komunikatif. Kakak gue pernah ngundang pengamen buat menghibur anggota Brimob yang jaga di sebelah pertokoan Sarinah, Jakarta. Itu ya, tentara, ABG penggila skateboard, kakek-nenek, nggak saling kenal tapi pada nyanyi bareng. Padahal umur, jenis kelamin, profesi, status ekonomi dan etnisnya berlainan.
"Music unites pople of different background. It is part of almost every important personal and collective moment,"begitulah kata Sekjen PBB Kofi Annan tahun 2004. Di dunia politik, perbedaan sekecil apapun bisa digoreng jadi isu yang intimidatif dan provokatif. Di hadapan musik, hal-hal yang berlainan tersebut bisa tunduk jadi satu. Nada yang berdaulat di sini, bukan uang atau jabatan. Dalam kalimat yang berbeda namun punya substansi serupa, Dr.Thomas Currie dari University of Exter mengatakan bahwa musik adalah perekat sosial karena fungsi utamanya adalah menyatukan manusia dan mengikat kelompok-kelompok sosial.
Pada 13 Juli 2019 pagi, sehari sesudah konser, kita dikejutkan oleh pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT. Gue nggak akan bisa lupa betapa sosok yang terakhir ini membuat Indonesia pecah berkeping-keping. Bagaimanapun, sepertinya peristiwa 'rujuk'nya negarawan dan politisi tersebut layak diapresiasi karena memberi harapan bahwa negara ini bisa bersatu kembali walau prosesnya pasti makan waktu puluhan tahun.
Pertemuan Jokowi-Prabowo melahirkan harapan tentang persatuan Indonesia. Mungkin berlebihan kalo kita berharap konser Addie bisa melahirkan hal serupa. Bagaimanapun, jika kita melihat bahwa konser tersebut melibatkan orang dari berbagai suku yang tersebar di banyak provinsi dan jika kita mengkaji ulang penjelasan Merriam tentang fungsi musik, kita pasti bisa memahami pernyataan berikut:
Pilihan musik yang dibawakan Orkes Kita, walau dalam skala yang jauh lebih kecil, membuat harapan tersebut sangat mungkin untuk ada.
14 Juli 2019, jam 09.12 WIB
Gue dan Mas Abi ditawarin Addie datang ke konsernya yang diselenggarakan 12 Juli 2019. Ini konser tertutup, tiket nggak diperjual-belikan. Gue hepi banget. Gue nggak minta loh, ini ditawarin. Cihuyyy!
Direktorat Kesenian, Dirjen Kebudayaan dan Kemdikbud sejak 2015 mengadakan program ‘Belajar Bersama Maestro’ (BBM). 15 anak dari berbagai propinsi belajar dari 1 maestro:Ada Addie MS, Didik Nini Thowok, dan lain-lain. Nah, ide konser bermula dari sini.
Jadi ceritanya itu 15 ABG ngikutin maestro pilihan mereka selama 2 minggu. Addie ngajak mereka ngeliatin dia presentasi ke bank, ngintilin ke studio, seminar, dan lain-lain. Trus dia mikir gini,”Eh, masa’ nggak ada konser?” Dua minggu ngikutin seorang Addie MS tanpa ngeliat dia konser, rasanya pasti kayak diajak ke resto pizza yang nggak ada pizzanya.
Akhirnya Addie mengadakan audisi untuk umum. Seleksinya obyektif, hanya melihat kemampuan bermusik. Makanya ada penderita kanker stadium 4 yang ikutan main. “Kemdikbud minta supaya saya nggak hanya mengajarkan masalah teknis tapi juga nilai-nilai hidup, misalnya kerja keras,”kata Addie. Oleh karena itulah ia juga menghadirkan Salwa, lelaki tanpa kaki yang jago main bass, piano, dan drum. Kemarin ia main trumpet.
Konser ini nggak masuk agenda resmi jadi biayanya dari kantung pribadi. “Saya bentuk orkestra ini buat mereka. Saya ingin mereka tahu gimana caranya membangun orkestra dan bikin konser dari nol,”tutur Addie. Biaya latihan, musisi, pelatih, dan paduan suara, dia yang tanggung. “Some people have lots of money, some are rich,”begitulah kata seseorang.
Konser tersebut selain dihadiri teman-teman SMA Addie dan orang Kemdikbud, juga dihadiri kaum difabel termasuk penyandang autisme. Sekitar 5 kali Addie batal memulai aba-aba karena ada yang teriak-teriak. Addie cuma nyengir. Selain itu hadir juga Jacob Sutoyo, pemilik Usmar Ismail Hall, tempat konser diadakan. Sebagai pendukung program-program edukasi Addie, Pak Jacob ngegratisin tempatnya,”Butuh berapa hari? Bilang aja.”
***
Konser diawali dengan Indonesia Raya yang dinyanyikan orang satu gedung sambil berdiri. Lalu di bawah arahan baton Addie, orkestra yang diberi nama ‘Orkes Kita’ itu memainkan musik daerah seperti Alusi Au (Sumatera Utara) dan O Ina Ni Keke (Sulawesi Utara). Setelah itu Twilite Chorus, yang dibentuk Addie tahun 1995, menyanyikan Bangun Pemudi-Pemuda, Rayuan Pulau Kelapa dan Maju Tak Gentar.
Menarik untuk melihat bahwa WR Soepratman, pengarang lndonesia Raya, ditangkap Belanda. Alfred Simanjutak, komposer Bangun Pemuda-Pemudi, hampir dibunuh Jepang. Adapun Cornel Simanjutak, penulis Maju Tak Gentar, diselundupkan ke Karawang untuk menghindari ancaman pembunuhan dari tentara lawan.
Sosiolog Serge Donisoff mengkategorikan lagu-lagu perjuangan di atas sebagai lagu magnetis. Lagu-lagu ini memancing lahirnya solidaritas, efeknya ngeri lah ya: Pendengar merasa ‘gerah’ lalu jadi bersemangat untuk melawan. Makanya pengarang lagu-lagu magnetis saat jaman penjajahan pasti jadi sasaran tembak.
***
Addie MS dan John Lennon punya pandangan berbeda soal negara. Bagi Lennon, negara adalah penyebab perang. “Imagine there's no countries/ Nothing to kill or die for,”begitulah penggalan lirik ‘Imagine’. Lagu ini disebut Lennon sebagai ‘The Communist Manifesto’ dan ‘anti-nasionalisme.’Sedangkan bagi Addie, negara adalah sebuah entitas yang keberadaanya harus diperjuangkan, kemerdekaanya mesti diisi, identitasnya patut dijaga dan peradabannya wajib dibangun.
Konser kemarin adalah cara Addie menunjukkan apa yang ia yakini harus dilakukan oleh warga negara yang baik. Anak-anak muda sekarang hidup dalam komunitas yang berkarakteristik global. Pilihan Addie atas tema musik yang dibawakan Orkes Kita adalah ekspresi dari kegelisahannya. ”Anak-anak muda kita mesti jadi anak-anak bangsa Indonesia bukan bangsa global,” kata Addie.”Kita mesti berbuat sesuatu,”lanjutnya.
Nah, ‘sesuatu’-nya Addie otomatis berhubungan dengan musik. Antropolog Alan Merriam mengatakan bahwa musik memang berperan besar dalam kesinambungan dan stabilitas budaya. Identitas diri atau kelompok pun bisa dilestarikan dan bahkan diperkuat lewat musik. Makanya pengamen yang nyanyi lagu Batak bisa menerima uang lebih gede dari pengunjung asli Balige dibandingkan dari pengunjung asal Jawa.
Merriam juga mengatakan bahwa musik berperan besar dalam bersatunya sebuah masyarakat karena musik bersifat komunikatif. Kakak gue pernah ngundang pengamen buat menghibur anggota Brimob yang jaga di sebelah pertokoan Sarinah, Jakarta. Itu ya, tentara, ABG penggila skateboard, kakek-nenek, nggak saling kenal tapi pada nyanyi bareng. Padahal umur, jenis kelamin, profesi, status ekonomi dan etnisnya berlainan.
"Music unites pople of different background. It is part of almost every important personal and collective moment,"begitulah kata Sekjen PBB Kofi Annan tahun 2004. Di dunia politik, perbedaan sekecil apapun bisa digoreng jadi isu yang intimidatif dan provokatif. Di hadapan musik, hal-hal yang berlainan tersebut bisa tunduk jadi satu. Nada yang berdaulat di sini, bukan uang atau jabatan. Dalam kalimat yang berbeda namun punya substansi serupa, Dr.Thomas Currie dari University of Exter mengatakan bahwa musik adalah perekat sosial karena fungsi utamanya adalah menyatukan manusia dan mengikat kelompok-kelompok sosial.
Pada 13 Juli 2019 pagi, sehari sesudah konser, kita dikejutkan oleh pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT. Gue nggak akan bisa lupa betapa sosok yang terakhir ini membuat Indonesia pecah berkeping-keping. Bagaimanapun, sepertinya peristiwa 'rujuk'nya negarawan dan politisi tersebut layak diapresiasi karena memberi harapan bahwa negara ini bisa bersatu kembali walau prosesnya pasti makan waktu puluhan tahun.
Pertemuan Jokowi-Prabowo melahirkan harapan tentang persatuan Indonesia. Mungkin berlebihan kalo kita berharap konser Addie bisa melahirkan hal serupa. Bagaimanapun, jika kita melihat bahwa konser tersebut melibatkan orang dari berbagai suku yang tersebar di banyak provinsi dan jika kita mengkaji ulang penjelasan Merriam tentang fungsi musik, kita pasti bisa memahami pernyataan berikut:
Pilihan musik yang dibawakan Orkes Kita, walau dalam skala yang jauh lebih kecil, membuat harapan tersebut sangat mungkin untuk ada.
14 Juli 2019, jam 09.12 WIB