“Ini Saya Lakukan Untuk Kebahagiaan Dia”. Hmm....Yakin?!
Seorang wanita tua minta kepada anak-anaknya agar beliau dikirim ke panti jompo. “Di sana banyak temen, seumuran Mama, ngobrolnya nyambung”. Hampir semua anak menolak,”Panti jompo?!!! Apa-apaan? Nanti orang kira, kita ngga ngurusin orang tua”.
Mereka pikir, mereka membahagiakan ibu mereka dengan cara tidak mengirimnya ke panti jompo, tempat yang cukup identik dengan ‘lokasi pembuangan’. Saya pikir, yang terjadi adalah mereka ingin membahagiakan diri mereka sendiri dengan cara mengharuskan orang tua tinggal di rumah bersama mereka agar keluarga besar dan sahabat menilai mereka sebagai anak berbakti.
Seorang ibu yang biasa hidup sederhana dibuatkan pesta ulang tahun mewah oleh anaknya. Beliau merasa sangat tidak nyaman berlama-lama di cafe yang terkenal mahal, makanan berlimpah dan tamu berbaju keren. Apalagi, di situ beliau jadi pusat perhatian.
Mereka pikir mereka membahagiakan ibu mereka dengan cara membuatnya terlihat anggun di tempat mewah.Saya pikir, yang terjadi adalah mereka ingin membahagiakan diri mereka sendiri dengan cara mengadakan pesta mahal agar keluarga besar dan sahabat menilai mereka sebagai pasangan kaya dan anak berbakti.
Seorang anak remaja tinggal bersama pembantu rumah tangga dan neneknya. Kedua orang tuanya, yang teramat kaya, sibuk kerja dan sepenuhnya menyerahkan perkembangan anak kepada sang nenek, pembantu dan para guru. Ibu anak itu berkata bahwa dia dan suaminya bekerja amat keras agar bisa memberikan kehidupan yang baik bagi anaknya.
Ia pikir, ia membahagiakan anaknya dengan cara memberinya harta berlimpah dan rumah mewah. Saya pikir, ia sedang membahagiakan dirinya sendiri dengan cara memberi dirinya sebuah kepastian,sebuah perasaan aman,, bahwa anaknya tak akan kekurangan secara finansial.
Seorang suami menghabiskan harta istrinya untuk berbisnis dan terus mendesak istrinya untuk berhutang agar ia bisa punya bisnis besar dan mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya depresi dan anak-anaknya menjadi korban dari ketidakbahagiaan ibu mereka.
Ia pikir, ia sedang dalam proses membahagiakan keluarga. Saya pikir, ia sedang dalam proses membahagiakan dirinya sendiri. Ia merasa bahagia membayangkan dirinya menjadi kaya dan secara finansial bisa menafkahi keluarganya secara berlimpah.
***
Tulisan di atas terkesan sinis ? Mungkin. Ngomong-ngomong, itu semua cerita nyata, lho.
Melalui kisah-kisah di atas, saya tidak mengajak Anda untuk tidak melakukan apa-apa. “Iya ya...Akhirnya sebenarnya ini buat gue ya, bukan buat dia, ya udahlah, ga usah aja gue kerjakan kalo gitu...”.
Melalui kisah-kisah di atas, saya hanya ingin mengingatkan---bukan memberitahu karena Anda pasti sudah tahu bahkan mungkin lebih tahu dibandingkan saya---bahwa kita kerap mengukur kebahagiaan orang lain dengan penggaris yang kita pakai untuk mengukur kebahagiaan kita. Manusia juga kerap melakukan manipulasi. Membenarkan tindakan yang ia lakukan dengan cara membawa-bawa kalimat,”...Kan demi dia”. Kalimat ini membawa pikiran saya melayang ke era 80-90an. Apapun yang dilakukan Soeharto dan keluarganya pasti ujung-ujungnya ada kalimat “Demi pembangunan”. Padahal jelas-jelas, tujuan utama adalah untuk menambah isi rekening mereka di berbagai bank, terutama bank di Swiss yang katanya surga bagi para koruptor.
Jadi, enaknya gimana dong ?
Menurut saya, kalo mau membahagiakan diri sendiri, ya ga usah bawa nama orang lain. Aneh ya kedengarannya, kesannya egois banget kalo kita bilang,”Ini kan demi saya...Saya lakukan ini semua untuk saya”. Karena aneh, ya udah, ngga usah diomongin, diam aja. Tak usah manipulasi. Ga perlu nyebut-nyebut nama orang lain.
Kedua, kalo memang tulus mau membahagiakan pihak lain, tanya serius ke orangnya,misalnya,”Saya punya budget sekian. Saya pengen Mama senang. Nanti ulang tahun Mama mau ngapain dan di mana?!!”
Kita punya hak untuk merasa bahagia. Namun kalau kebahagiaan itu hanya bisa diperoleh dengan cara yang membuat sebagian pihak merasa tidak bahagia dan anda bersikeras untuk tetap menempuh jalan tersebut dan siap menanggung segala resiko, ya diam-diam ajalah. Toh ngga ada keharusan untuk bicara.
Saya rasa begitu.
Lippo-Cikarang, 17/4/2013
7.51 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Mereka pikir, mereka membahagiakan ibu mereka dengan cara tidak mengirimnya ke panti jompo, tempat yang cukup identik dengan ‘lokasi pembuangan’. Saya pikir, yang terjadi adalah mereka ingin membahagiakan diri mereka sendiri dengan cara mengharuskan orang tua tinggal di rumah bersama mereka agar keluarga besar dan sahabat menilai mereka sebagai anak berbakti.
Seorang ibu yang biasa hidup sederhana dibuatkan pesta ulang tahun mewah oleh anaknya. Beliau merasa sangat tidak nyaman berlama-lama di cafe yang terkenal mahal, makanan berlimpah dan tamu berbaju keren. Apalagi, di situ beliau jadi pusat perhatian.
Mereka pikir mereka membahagiakan ibu mereka dengan cara membuatnya terlihat anggun di tempat mewah.Saya pikir, yang terjadi adalah mereka ingin membahagiakan diri mereka sendiri dengan cara mengadakan pesta mahal agar keluarga besar dan sahabat menilai mereka sebagai pasangan kaya dan anak berbakti.
Seorang anak remaja tinggal bersama pembantu rumah tangga dan neneknya. Kedua orang tuanya, yang teramat kaya, sibuk kerja dan sepenuhnya menyerahkan perkembangan anak kepada sang nenek, pembantu dan para guru. Ibu anak itu berkata bahwa dia dan suaminya bekerja amat keras agar bisa memberikan kehidupan yang baik bagi anaknya.
Ia pikir, ia membahagiakan anaknya dengan cara memberinya harta berlimpah dan rumah mewah. Saya pikir, ia sedang membahagiakan dirinya sendiri dengan cara memberi dirinya sebuah kepastian,sebuah perasaan aman,, bahwa anaknya tak akan kekurangan secara finansial.
Seorang suami menghabiskan harta istrinya untuk berbisnis dan terus mendesak istrinya untuk berhutang agar ia bisa punya bisnis besar dan mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya depresi dan anak-anaknya menjadi korban dari ketidakbahagiaan ibu mereka.
Ia pikir, ia sedang dalam proses membahagiakan keluarga. Saya pikir, ia sedang dalam proses membahagiakan dirinya sendiri. Ia merasa bahagia membayangkan dirinya menjadi kaya dan secara finansial bisa menafkahi keluarganya secara berlimpah.
***
Tulisan di atas terkesan sinis ? Mungkin. Ngomong-ngomong, itu semua cerita nyata, lho.
Melalui kisah-kisah di atas, saya tidak mengajak Anda untuk tidak melakukan apa-apa. “Iya ya...Akhirnya sebenarnya ini buat gue ya, bukan buat dia, ya udahlah, ga usah aja gue kerjakan kalo gitu...”.
Melalui kisah-kisah di atas, saya hanya ingin mengingatkan---bukan memberitahu karena Anda pasti sudah tahu bahkan mungkin lebih tahu dibandingkan saya---bahwa kita kerap mengukur kebahagiaan orang lain dengan penggaris yang kita pakai untuk mengukur kebahagiaan kita. Manusia juga kerap melakukan manipulasi. Membenarkan tindakan yang ia lakukan dengan cara membawa-bawa kalimat,”...Kan demi dia”. Kalimat ini membawa pikiran saya melayang ke era 80-90an. Apapun yang dilakukan Soeharto dan keluarganya pasti ujung-ujungnya ada kalimat “Demi pembangunan”. Padahal jelas-jelas, tujuan utama adalah untuk menambah isi rekening mereka di berbagai bank, terutama bank di Swiss yang katanya surga bagi para koruptor.
Jadi, enaknya gimana dong ?
Menurut saya, kalo mau membahagiakan diri sendiri, ya ga usah bawa nama orang lain. Aneh ya kedengarannya, kesannya egois banget kalo kita bilang,”Ini kan demi saya...Saya lakukan ini semua untuk saya”. Karena aneh, ya udah, ngga usah diomongin, diam aja. Tak usah manipulasi. Ga perlu nyebut-nyebut nama orang lain.
Kedua, kalo memang tulus mau membahagiakan pihak lain, tanya serius ke orangnya,misalnya,”Saya punya budget sekian. Saya pengen Mama senang. Nanti ulang tahun Mama mau ngapain dan di mana?!!”
Kita punya hak untuk merasa bahagia. Namun kalau kebahagiaan itu hanya bisa diperoleh dengan cara yang membuat sebagian pihak merasa tidak bahagia dan anda bersikeras untuk tetap menempuh jalan tersebut dan siap menanggung segala resiko, ya diam-diam ajalah. Toh ngga ada keharusan untuk bicara.
Saya rasa begitu.
Lippo-Cikarang, 17/4/2013
7.51 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-