Menjadi Guru Itu Mengasyikkan
Pak Satria Dharma adalah seorang pendiri beberapa institusi pendidikan yang sangat aktif di Ikatan Guru Indonesia. Waktu saya mempromosikan buku 'Menjadi Guru Itu Mengasyikkan', beliau membelinya. Memang tiap kali ada guru yang posting tentang karyanya yang baru keluar, beliau pasti beli, saya yakin itu cara Pak Satria untuk memberikan dukungan buat para yuniornya. Ulasan berikut, walau panjang dan komprehensif, dibuat tanpa saya minta. Untuk kerelaannya mengorbankan waktu dan tenaga, saya ucapkan terima kasih banyak.
Buku ini saya tulis antara lain karena gelisah: Guru kok dianggap warga negara kelas dua, ya ? Sebenarnya 'wajar', mengingat banyak orang yang menjadi guru karena ditolak lamaran kerjanya di banyak perusahaan lalu frustasi dan memilih jadi guru. Profesi buanganlah, gitu. Bahkan di Amerika sekalipun, berdasarkan riset tahun 2011an, lulusan universitas yang menjadi guru adalah mereka yang saat kuliah posisinya berada di 1/3 deretan mahasiswa dengan nilai terendah di kelas. Beda ya dengan Finlandia. Di negeri yang pendidikannya dianggap terbaik sedunia ini, pendidikan guru SD hanya menerima 1/10 dari jumlah peminat yang melamar dan guru dianggap sama prestisiusnya dengan dokter dan pengacara. Mahasiswa yang kelak akan lolos rekrutmen jadi guru hanyalah mereka yang berada di peringkat 10 besar.
Syukurlah, di Kompas 9 Juli 2013, sebuah artikel menunjukkan bahwa lulusan SMA yang berminat menjadi guru melonjak drastis. Semoga saja buku saya ini sedikit banyaknya kelak bisa membuat pembaca tertarik menjadi guru atau bersemangat untuk menjadi guru yang lebih baik.
Sehingga, suatu saat nanti, pandangan nyinyir bahwa hanya orang bloon yang memilih jadi guru. bisa pupus.
Semoga.
Lippo-Cikarang, 7 Juli 2013,12.05
*** http://satriadharma.com/2013/06/12/menjadi-guru-itu-mengasyikkan/
Tadi malam sepulang dari Bandung saya melihat ada paket untuk saya di atas meja. Nampaknya buku. Tapi saya tidak menyentuhnya karena ingin segera istirahat. Paginya saya lihat paket itu dan ternyata benar. Itu paket buku kiriman dari Meicky Shoreamanis Panggaben, seorang guru di SMP/SMA Pelita Harapan International Lippo-Cikarang. Judul bukunya adalah “Menjadi Guru itu Mengasyikkan”.
Mari saya kenalkan dulu dengan Bu Meicky ini. Meski saya belum pernah bertemu langsung dengan beliau tapi saya mengenalnya dari posting-postingnya di milis IGI. Anda bisa melihat webnya di www.gurudanpenulis.com. Postingnya di IGI selalu menarik, bermutu, dan menunjukkan profesionalisme Bu Meicky yang cerdas tapi selalu tampil low profile. Setelah membuka bukunya ini barulah saya tahu bahwa ia adalah seorang guru sejati yang memilih profesi guru meski pun sebelumnya ia pernah diterima bekerja sebagai management trainee di sebuah bank swasta terkemuka dan sebenarnya punya kesempatan untuk bekerja di dua LSM terkenal serta perusahaan minyak. Tapi ia lebih memilih menjadi guru. Ia sarjana lulusan Sastra Inggris UGM dan masternya diperoleh dari Program Magister Pendidikan, Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Ia juga pernah mencicipi kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Menurut Bu Meicky menjadi guru akan memberikan kepuasan batin yang tak terhingga yang mustahil akan bisa diukur dengan harta sebanyak apa pun. Tapi untuk menjadi guru semacam itu memang dibutuhkan semacam ‘panggilan hidup’ untuk melayani yang memang tidak semua orang memilikinya. Menjadi guru juga menarik karena guru berhadapan dengan manusia sehingga pekerjaannya selalu dinamis.
Bu Meicky menulis buku ketiganya ini karena merasa ‘terpanggil’ untuk menuliskan pengalaman hidupnya selama 11 tahun mengajar. Ia merasa bersalah karena dengan mengajar di tempat yang penuh fasilitas di sekolah internasional selayaknya ia bisa menghasilkan karya yang lebih yang tidak ‘hanya’ mengajar. Ia menganggap buku yang dihasilkannya adalah semacam utang yang mesti ia bayar kepada dunia pendidikan yang telah membuat hidupnya merasa berarti.
Bukunya sendiri sangat menarik (meski baru saya baca melompat-lompat) karena ditulis dalam bentuk 70 tanya jawab dan dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
1. Menjadi Guru
2. Murid dan Kelas
3. Atasan, Rekan Sekerja, dan Pihak Lain
4. Sekolah Internasional, Ini Sekolah Macam Apa Sih?
Sebagai contoh, dalam Bagian Pertama : “Menjadi Guru”, dijelaskan berbagai pertanyaan, umpamanya ‘Apakah Sulit Menjadi Guru? Apakah dasar dari profesi seorang guru? Apakah guru bisa memberi kita kekayaan materi? Bagaimana saya tahu apakah panggilan hidup saya mengajar atau bukan?, Saya sudah lama menjadi guru dan rasanya sangat capek. Apa yang harus saya lakukan? Saya amat dekat dengan murid. Apakah ini salah? dll’
Pada Bagian Kedua : “Murid dan Kelas”, Bu Meicky menjawab segala permasalahan yang muncul pada murid dan ketika mengajar di kelas. Pertanyaan yang muncul umpamanya adalah : Bagaimana cara menghadapi anak-anak yang melanggar peraturan? Bagaimana menghadapi anak-anak yang kerap berbicara di dalam kelas? Bagaimana mengatasi murid yang malas? Bagaimana jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan murid? Bagaimana jika saat saya bersikap demokratis murid menjadi kurang ajar? Bagaimana jika murid berbicara negatif kepada kita tentang guru lain? dll. Semua pertanyaan yang diajukan adalah benar-benar pertanyaan yang aktual dan terjadi di seputar permasalahan siswa dan kelas.
Pada Bagian Ketiga : “Atasan, Rekan Sekerja, dan Pihak-pihak Lain” dibahas berbagai permasalahan yang muncul sehubungan dengan hubungan guru dengan atasan, rekan sekerja dan pihak-pihak lainnya baik secara profesional mau pun secara personal. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul umpamanya : Apa yang sebaiknya dilakukan jika saya dengan atasan memiliki perbedaan pandangan? Bagaimana jika atasan memaksa saya untuk melakukan tindakan tidak etis seperti menjawab soal ujian murid atau memalsukan nilai? Apa yang harus saya lakukan jika saya ingin naik pangkat tapi atasan tak pernah memberi saya kesempatan? dll.
Pada Bagian Keempat “Sekolah Internasional, Ini Sekolah Macam Apa sih?” saya merasa seperti kembali bernostalgia ke jaman ketika saya mengajar anak-anak ekspatriat di Bontang International School di tahun 1990-1996 (sekarang sudah tutup). Bu Meicky menjawab berbagai pertanyaan tentang : Apa definisi sekolah internasional?, apakah kurikulum negara Barat otomatis berarti bahwa itu adalah kurikulum internasional?, bagaimana sebuah sekolah bisa disebut sebagai sekolah internasional, bahayakah murid Indonesia jika diwajibkan berbahasa Inggris?, apa kelebihan dan kelemahan yang muncul dari keharusan untuk menggunakan bahasa Inggris?, dll.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan bahasa yang sangat menarik dengan contoh-contoh yang aktual dengan wawasan Bu Meicky yang luas sehingga jawabannya benar-benar mengena dan memuaskan. Jawaban-jawaban yang diberikan benar-benar menunjukkan mutu guru yang profesional.
Selain empat bagian tersebut buku yang diterbitkan oleh penerbit Indeks ini juga memuat lampiran tentang bagaimana Mengajar Kreatif seperti yang dilakukan oleh Bu Meicky di sekolah internasional. Diantara yang disampaikannya adalah tentang ide “Membuat Murid Belajar Lewat Lagu, Puisi, Brosur, Drama, Permainan Ular Tangga,dll”, yang semuanya sangat menarik dan bisa diterapkan di sekolah mana saja sebenarnya.
Buku ini juga berisi beberapa ilustrasi yang menarik (dan juga lucu)untuk memperjelas ttg jawaban yang diberikan. Sebagai contoh seorang anak bertanya : Sir, what is ‘bacteria’ actually? Ketika guru yang tidak tahu jawaban tepatnya kemudian membuka kamus langsung disindir oleh siswa sambil berbisik,”Yah… kalau buka kamus, gue juga bisa…!”. Tapi kemudian si guru memberi jawaban yang mengejutkan dengan “Bacteria means the back door of the cafeteria!” Haha…!
Salah satu pertanyaan (no 65) menarik perhatian saya. Pertanyaannya. 65. “Wah, jadi, kelebihan anak sekolah internasional hanyalah di masalah uang?” Yang kemudian dijawab dengan memberikan perbedaan antara kurikulum internasional dan kurikulum nasional kita. Pada sekolah internasional tugas-tugas yang diberikan bersifat analitis dan menuntut siswa untuk berpikir kreatif. Presentasi dan membuat esai adalah makanan mingguan, kadang-kadang harian. Di tingkat TK dan SD sekali pun siswa sudah dibiasakan untuk melakukan presentasi tampil di depan kelas, mengemukakan pendapat dan berdebat. Kurikulum internasinal memang lebih unggul karena dalam kurkulum IBO anak-anak klas 2 dan 3 SMA diminta untuk menganalisis 18 novel dalam 2 tahun! Belum lagi tugas-tugas wajib menulis makalah sebanyak 4000 (empat ribu) kata mengenai topik yang mereka pilih sendiri. Nah! Berapa ribu kata yang harus ditulis oleh murid di kelas Anda? Pernahkan sekolah Anda (meski yang dulunya berstatus sekolah RSBI) memberikan tugas menulis kepada siswanya? Saya tidak pernah mendengar dan membaca tentang hal ini.
Apa yang lebih menarik dari buku ini? Ternyata Bu Meicky akan mendonasikan seluruh keuntungan buku ini kepada Bapak Sefnat Tabun, seorang guru di Desa Boti, NTT. Pak Sefnat ini berusia 46 tahun, memiliki empat anak, mengajar di dua sekolah dan berjalan kaki 10 km pp dari rumahnya ke sekolah atau 28 km saat harus mengajar di dua sekolah pada hari yang sama. Padahal beliau hanya menerima gaji 225 rinu rupiah setiap bulannya.
Pada penutup bukunya Bu Meicky mengutip kisah percakapan antara seorang CEO dan seorang guru yang disampaikan oleh Taylor Mali. Sila lihat di:
http://www.ted.com/talks/taylor_mali_what_teachers_make.html
Kisahnya sendiri dalam bahasa Inggris dan kutipannya sbb :
WHAT TEACHERS MAKE
The dinner guests were sitting around the table discussing life.
One man, a CEO, decided to explain the problem with education. He argued, “What’s a kid going to learn from someone who decided his best option in life was to become a teacher?”
To stress his point he said to another guest; “You’re a teacher, Barbara. Be honest. What do you make?”
Barbara, who had a reputation for honesty and frankness replied, “You want to know what I make? (She paused for a second, and then began…)
“Well, I make kids work harder than they ever thought they could.
I make a C+ feel like the Congressional Medal of Honor winner.
I make kids sit through 40 minutes of class time when their parents CAN’T make them sit for 5 without an I Pod, Game Cube or movie rental.
You want to know what I make? (She paused again and looked at each and every person at the table)
I make kids wonder.
I make them question.
I make them apologize and mean it.
I make them have respect and take responsibility for their actions.
I teach them to write and then I make them write. Keyboarding ISN’T EVERYTHING.
I make them read, read, read.
I make them show all their work in maths. They use their God given brain, not the man-made calculator.
I make my students from other countries learn everything they need to know about English while preserving their unique cultural identity.
I make my classroom a place where all my students feel safe.
Finally, I make them understand that if they use the gifts they were given, work hard, and follow their hearts, they can succeed in life (Barbara paused one last time and then continued.)
Then, when people try to judge me by what I make, with me knowing money isn’t everything, I can hold my head up high and pay no attention because they are ignorant.
You want to know what I make?
I MAKE A DIFFERENCE.
What do you make Mr. CEO?
His jaw dropped, he went silent.
http://powerofthought.org/2011/01/the-teacher-and-a-ceo-what-do-you-make/
Ini pertanyaan untuk setiap guru setelah membaca buku ini:
Are YOU making a difference?
Surabaya, 12 Juni 2013
Salam
Satria Dharma
Buku ini saya tulis antara lain karena gelisah: Guru kok dianggap warga negara kelas dua, ya ? Sebenarnya 'wajar', mengingat banyak orang yang menjadi guru karena ditolak lamaran kerjanya di banyak perusahaan lalu frustasi dan memilih jadi guru. Profesi buanganlah, gitu. Bahkan di Amerika sekalipun, berdasarkan riset tahun 2011an, lulusan universitas yang menjadi guru adalah mereka yang saat kuliah posisinya berada di 1/3 deretan mahasiswa dengan nilai terendah di kelas. Beda ya dengan Finlandia. Di negeri yang pendidikannya dianggap terbaik sedunia ini, pendidikan guru SD hanya menerima 1/10 dari jumlah peminat yang melamar dan guru dianggap sama prestisiusnya dengan dokter dan pengacara. Mahasiswa yang kelak akan lolos rekrutmen jadi guru hanyalah mereka yang berada di peringkat 10 besar.
Syukurlah, di Kompas 9 Juli 2013, sebuah artikel menunjukkan bahwa lulusan SMA yang berminat menjadi guru melonjak drastis. Semoga saja buku saya ini sedikit banyaknya kelak bisa membuat pembaca tertarik menjadi guru atau bersemangat untuk menjadi guru yang lebih baik.
Sehingga, suatu saat nanti, pandangan nyinyir bahwa hanya orang bloon yang memilih jadi guru. bisa pupus.
Semoga.
Lippo-Cikarang, 7 Juli 2013,12.05
*** http://satriadharma.com/2013/06/12/menjadi-guru-itu-mengasyikkan/
Tadi malam sepulang dari Bandung saya melihat ada paket untuk saya di atas meja. Nampaknya buku. Tapi saya tidak menyentuhnya karena ingin segera istirahat. Paginya saya lihat paket itu dan ternyata benar. Itu paket buku kiriman dari Meicky Shoreamanis Panggaben, seorang guru di SMP/SMA Pelita Harapan International Lippo-Cikarang. Judul bukunya adalah “Menjadi Guru itu Mengasyikkan”.
Mari saya kenalkan dulu dengan Bu Meicky ini. Meski saya belum pernah bertemu langsung dengan beliau tapi saya mengenalnya dari posting-postingnya di milis IGI. Anda bisa melihat webnya di www.gurudanpenulis.com. Postingnya di IGI selalu menarik, bermutu, dan menunjukkan profesionalisme Bu Meicky yang cerdas tapi selalu tampil low profile. Setelah membuka bukunya ini barulah saya tahu bahwa ia adalah seorang guru sejati yang memilih profesi guru meski pun sebelumnya ia pernah diterima bekerja sebagai management trainee di sebuah bank swasta terkemuka dan sebenarnya punya kesempatan untuk bekerja di dua LSM terkenal serta perusahaan minyak. Tapi ia lebih memilih menjadi guru. Ia sarjana lulusan Sastra Inggris UGM dan masternya diperoleh dari Program Magister Pendidikan, Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Ia juga pernah mencicipi kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Menurut Bu Meicky menjadi guru akan memberikan kepuasan batin yang tak terhingga yang mustahil akan bisa diukur dengan harta sebanyak apa pun. Tapi untuk menjadi guru semacam itu memang dibutuhkan semacam ‘panggilan hidup’ untuk melayani yang memang tidak semua orang memilikinya. Menjadi guru juga menarik karena guru berhadapan dengan manusia sehingga pekerjaannya selalu dinamis.
Bu Meicky menulis buku ketiganya ini karena merasa ‘terpanggil’ untuk menuliskan pengalaman hidupnya selama 11 tahun mengajar. Ia merasa bersalah karena dengan mengajar di tempat yang penuh fasilitas di sekolah internasional selayaknya ia bisa menghasilkan karya yang lebih yang tidak ‘hanya’ mengajar. Ia menganggap buku yang dihasilkannya adalah semacam utang yang mesti ia bayar kepada dunia pendidikan yang telah membuat hidupnya merasa berarti.
Bukunya sendiri sangat menarik (meski baru saya baca melompat-lompat) karena ditulis dalam bentuk 70 tanya jawab dan dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu :
1. Menjadi Guru
2. Murid dan Kelas
3. Atasan, Rekan Sekerja, dan Pihak Lain
4. Sekolah Internasional, Ini Sekolah Macam Apa Sih?
Sebagai contoh, dalam Bagian Pertama : “Menjadi Guru”, dijelaskan berbagai pertanyaan, umpamanya ‘Apakah Sulit Menjadi Guru? Apakah dasar dari profesi seorang guru? Apakah guru bisa memberi kita kekayaan materi? Bagaimana saya tahu apakah panggilan hidup saya mengajar atau bukan?, Saya sudah lama menjadi guru dan rasanya sangat capek. Apa yang harus saya lakukan? Saya amat dekat dengan murid. Apakah ini salah? dll’
Pada Bagian Kedua : “Murid dan Kelas”, Bu Meicky menjawab segala permasalahan yang muncul pada murid dan ketika mengajar di kelas. Pertanyaan yang muncul umpamanya adalah : Bagaimana cara menghadapi anak-anak yang melanggar peraturan? Bagaimana menghadapi anak-anak yang kerap berbicara di dalam kelas? Bagaimana mengatasi murid yang malas? Bagaimana jika kita tidak bisa menjawab pertanyaan murid? Bagaimana jika saat saya bersikap demokratis murid menjadi kurang ajar? Bagaimana jika murid berbicara negatif kepada kita tentang guru lain? dll. Semua pertanyaan yang diajukan adalah benar-benar pertanyaan yang aktual dan terjadi di seputar permasalahan siswa dan kelas.
Pada Bagian Ketiga : “Atasan, Rekan Sekerja, dan Pihak-pihak Lain” dibahas berbagai permasalahan yang muncul sehubungan dengan hubungan guru dengan atasan, rekan sekerja dan pihak-pihak lainnya baik secara profesional mau pun secara personal. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul umpamanya : Apa yang sebaiknya dilakukan jika saya dengan atasan memiliki perbedaan pandangan? Bagaimana jika atasan memaksa saya untuk melakukan tindakan tidak etis seperti menjawab soal ujian murid atau memalsukan nilai? Apa yang harus saya lakukan jika saya ingin naik pangkat tapi atasan tak pernah memberi saya kesempatan? dll.
Pada Bagian Keempat “Sekolah Internasional, Ini Sekolah Macam Apa sih?” saya merasa seperti kembali bernostalgia ke jaman ketika saya mengajar anak-anak ekspatriat di Bontang International School di tahun 1990-1996 (sekarang sudah tutup). Bu Meicky menjawab berbagai pertanyaan tentang : Apa definisi sekolah internasional?, apakah kurikulum negara Barat otomatis berarti bahwa itu adalah kurikulum internasional?, bagaimana sebuah sekolah bisa disebut sebagai sekolah internasional, bahayakah murid Indonesia jika diwajibkan berbahasa Inggris?, apa kelebihan dan kelemahan yang muncul dari keharusan untuk menggunakan bahasa Inggris?, dll.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan bahasa yang sangat menarik dengan contoh-contoh yang aktual dengan wawasan Bu Meicky yang luas sehingga jawabannya benar-benar mengena dan memuaskan. Jawaban-jawaban yang diberikan benar-benar menunjukkan mutu guru yang profesional.
Selain empat bagian tersebut buku yang diterbitkan oleh penerbit Indeks ini juga memuat lampiran tentang bagaimana Mengajar Kreatif seperti yang dilakukan oleh Bu Meicky di sekolah internasional. Diantara yang disampaikannya adalah tentang ide “Membuat Murid Belajar Lewat Lagu, Puisi, Brosur, Drama, Permainan Ular Tangga,dll”, yang semuanya sangat menarik dan bisa diterapkan di sekolah mana saja sebenarnya.
Buku ini juga berisi beberapa ilustrasi yang menarik (dan juga lucu)untuk memperjelas ttg jawaban yang diberikan. Sebagai contoh seorang anak bertanya : Sir, what is ‘bacteria’ actually? Ketika guru yang tidak tahu jawaban tepatnya kemudian membuka kamus langsung disindir oleh siswa sambil berbisik,”Yah… kalau buka kamus, gue juga bisa…!”. Tapi kemudian si guru memberi jawaban yang mengejutkan dengan “Bacteria means the back door of the cafeteria!” Haha…!
Salah satu pertanyaan (no 65) menarik perhatian saya. Pertanyaannya. 65. “Wah, jadi, kelebihan anak sekolah internasional hanyalah di masalah uang?” Yang kemudian dijawab dengan memberikan perbedaan antara kurikulum internasional dan kurikulum nasional kita. Pada sekolah internasional tugas-tugas yang diberikan bersifat analitis dan menuntut siswa untuk berpikir kreatif. Presentasi dan membuat esai adalah makanan mingguan, kadang-kadang harian. Di tingkat TK dan SD sekali pun siswa sudah dibiasakan untuk melakukan presentasi tampil di depan kelas, mengemukakan pendapat dan berdebat. Kurikulum internasinal memang lebih unggul karena dalam kurkulum IBO anak-anak klas 2 dan 3 SMA diminta untuk menganalisis 18 novel dalam 2 tahun! Belum lagi tugas-tugas wajib menulis makalah sebanyak 4000 (empat ribu) kata mengenai topik yang mereka pilih sendiri. Nah! Berapa ribu kata yang harus ditulis oleh murid di kelas Anda? Pernahkan sekolah Anda (meski yang dulunya berstatus sekolah RSBI) memberikan tugas menulis kepada siswanya? Saya tidak pernah mendengar dan membaca tentang hal ini.
Apa yang lebih menarik dari buku ini? Ternyata Bu Meicky akan mendonasikan seluruh keuntungan buku ini kepada Bapak Sefnat Tabun, seorang guru di Desa Boti, NTT. Pak Sefnat ini berusia 46 tahun, memiliki empat anak, mengajar di dua sekolah dan berjalan kaki 10 km pp dari rumahnya ke sekolah atau 28 km saat harus mengajar di dua sekolah pada hari yang sama. Padahal beliau hanya menerima gaji 225 rinu rupiah setiap bulannya.
Pada penutup bukunya Bu Meicky mengutip kisah percakapan antara seorang CEO dan seorang guru yang disampaikan oleh Taylor Mali. Sila lihat di:
http://www.ted.com/talks/taylor_mali_what_teachers_make.html
Kisahnya sendiri dalam bahasa Inggris dan kutipannya sbb :
WHAT TEACHERS MAKE
The dinner guests were sitting around the table discussing life.
One man, a CEO, decided to explain the problem with education. He argued, “What’s a kid going to learn from someone who decided his best option in life was to become a teacher?”
To stress his point he said to another guest; “You’re a teacher, Barbara. Be honest. What do you make?”
Barbara, who had a reputation for honesty and frankness replied, “You want to know what I make? (She paused for a second, and then began…)
“Well, I make kids work harder than they ever thought they could.
I make a C+ feel like the Congressional Medal of Honor winner.
I make kids sit through 40 minutes of class time when their parents CAN’T make them sit for 5 without an I Pod, Game Cube or movie rental.
You want to know what I make? (She paused again and looked at each and every person at the table)
I make kids wonder.
I make them question.
I make them apologize and mean it.
I make them have respect and take responsibility for their actions.
I teach them to write and then I make them write. Keyboarding ISN’T EVERYTHING.
I make them read, read, read.
I make them show all their work in maths. They use their God given brain, not the man-made calculator.
I make my students from other countries learn everything they need to know about English while preserving their unique cultural identity.
I make my classroom a place where all my students feel safe.
Finally, I make them understand that if they use the gifts they were given, work hard, and follow their hearts, they can succeed in life (Barbara paused one last time and then continued.)
Then, when people try to judge me by what I make, with me knowing money isn’t everything, I can hold my head up high and pay no attention because they are ignorant.
You want to know what I make?
I MAKE A DIFFERENCE.
What do you make Mr. CEO?
His jaw dropped, he went silent.
http://powerofthought.org/2011/01/the-teacher-and-a-ceo-what-do-you-make/
Ini pertanyaan untuk setiap guru setelah membaca buku ini:
Are YOU making a difference?
Surabaya, 12 Juni 2013
Salam
Satria Dharma