Orang Pelit Duitnya Dibawa Ke Mana, Sih ?
Tulisan ini dibuat berdasarkan dua sebab.
Sebab pertama: Di sebuah update status FB saya lihat ada yang posting:"Orang pelit itu duitnya dibawa ke mana, sih ?" Komentar orang bermacam-macam,”Dibawa ke kuburan”...”Dibawa ke anak cucu”, dan lain-lain.
Penyebab kedua, ada pasangan yang rajin banget pinjam uang ke saya. Mereka bisa dua minggu sekali menghubungi saya untuk pinjam uang. Awalnya saya kasih tapi karena mereka sangat sering meminjam, saya pun ngga kasih lagi. Mereka sejak kuliah memang amburadul. Istrinya pemalas sedangkan dia kerjaannya mengeluh terus. Pasangan yang sempurna bukan ? Gaya hidup mereka masih gaya hidup kelas menengah, bukan gaya hidup kelas bawah, Lah, emangnya gue kerja buat mereka?? Mereka pun menuduh saya pelit.
Ngomong-ngomong soal pelit, saya dulu menyebut beberapa orang pelit dan terakhir saya melakukannya adalah 6-7 tahun yang lalu. Saat itu, minimal ada 2 orang yang saya bilang pelit. Mereka semua sama:Punya jabatan mentereng, posisi tinggi, jadi harap maklum jika dengan semena-mena saya menyimpulkan bahwa kedua orang ini pastilah banyak uang. Saya pun diam-diam mencap mereka pelit karena orang-orang itu sangat jarang nraktir. Di lingkungan saya, yang (terlihat) banyak uang mentraktir mereka yang (terlihat) duitnya pas-pasan adalah pemandangan umum. Oleh karena itulah saya serta-merta mencap mereka pelit hanya karena saya tahu pemasukan mereka besar namun nyaris tak pernah mentraktir “orang biasa” makan. Saya ketika itu ngga ‘ngeh’ bahwa yang menentukan orang kaya bukanlah besarnya pemasukan melainkan apa yang tersisa setelah pemasukan dikurangi pengeluaran rutin.
Sampai akhirnya saya tahu, bahwa kedua orang ‘pelit’ itu punya banyak anak asuh. Mereka juga royal saat menyumbang untuk korban bencana alam. Di situlah saya paham mengapa mereka nyaris tak pernah nraktir, saya percaya mereka mengambil keputusan itu karena mereka berpikir, toh yang ditraktir aslinya sanggup bayar, jadi buat apa mereka ditraktir? Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan. Hidup toh isinya juga sosialisasi, bukan hanya kegiatan sosial. Kita bisa adu argumentasi dua hari dua malam soal prioritas hidup. Apapun hasil debatnya, saya kagum bahwa kedua orang ini cukup cuek untuk bisa tutup telinga, tak peduli dibilang pelit demi meringankan beban sesama.Oh ya, BTW, saya tahu tentang anak asuh dan sumbangan mereka bukan dari mereka langsung. Mereka tak pernah memberi pengumuman, baik di Twitter, FB atau apapun itu, saat mereka menyumbang. Saya tahu itu dari salah satu sahabat mereka yang agak resah melihat kedua kawan karibnya dituduh pelit oleh cukup banyak orang.
Nah, sejak tahu sepak terjang mereka itulah, saya ‘kapok’ bilang orang pelit.
***
Ini juga cerita nyata. Ada kenalan saya yang murah hati. Sejak menikah, dia mendadak pelit. Kalo ada tetangga susah, dia jarang sekali membantu namun hal ini terjadi setelah peristiwa ‘saya salah kasih label’ di atas terjadi sehingga saya ngga menuduh suaminya membuat kenalan saya menjadi pelit. Bisa aja keluarga suaminya banyak yang miskin dan mereka punya komitmen untuk membantu keluarga sendiri terlebih dahulu dibandingkan orang luar. Tentu hal ini bisa diperdebatkan. Hidup toh isinya ngga hanya keluarga, ada yang namanya teman atau tetangga. Setuju atau tidak dengan pilihan mereka, kita harus sepakat bahwa tiap individu dan keluarga punya alasan dan hak untuk menyusun prioritas hidup.
Ngomong-ngomong soal pelit, menurut saya kita hanya bisa bilang orang pelit kalau kita tahu PERSIS berapa pemasukannya dan pengeluarannya serta untuk apa uang itu dia keluarkan. Saya tahu ada orang yang royal sekali kepada salah seorang pamannya. Ia merasa berutang budi pada pamannya dan prihatin karena pamannya miskin sekali walau sudah kerja setengah mati. Teman saya ini mengeluarkan cukup banyak uang untuk pamannya dan dia hanya menceritakan hal ini pada saya,suaminya dan ibunya. Dia cerita bahwa orang-orang kerap mengutarakan niat untuk meminjam uang karena ia dianggap kaya. Ia sendiri hanya menabung a la kadarnya karena ia pikir kalau suatu saat pamannya meninggal, dia bisa menabung sangat banyak. “Untuk sementara ini, gue bales budi dulu deh”, tuturnya pada saya. Alhasil, teman-temannya yang mau pinjam uang pun sering bernasib apes,sangat sering permintaan mereka untuk pinjam uang dia tolak karena uangnya memang pas-pasan. Sama seperti dua kenalan saya di awal cerita, teman saya ini lebih memilih cuek dibilang pelit daripada harus buat pengumuman tiap kali dia mengeluarkan uang untuk membantu pamannya.
Saya pikir, ada bagusnya kita berpikir masak-masak sebelum menuduh seseorang pelit. Kita ngga pernah tahu kondisi hidup orang. Saya pernah pegang uang 10 ribu selama 4 hari dalam kondisi sudah punya anak. Saya juga pernah punya uang tinggal 300 ribu padahal gajian masih 17 hari lagi. Jika dilihat dari luar, saat itu saya ya gayanya sama persis kayak gaya saya saat abis terima gaji dan THR:Biasa-biasa aja. Ngga lantas jalan saya jadi diseret dan muka dilipat-lipat kayak pare yang udah kelamaan di kulkas. Saat itu ngga ada yang tahu saya lagi susah. Lah, kan ngga ada keharusan saya mesti cerita ke orang-orang mengenai berapa uang yang saya punya dan berapa yang saya gunakan plus untuk apa. Saya yakin banyak banget orang yang berpendapat seperti saya:Ngga perlu kesusahan hidup diumbar-umbar dan ngga perlu rejeki dipamer-pamerin.Sebanyak-banyaknya duit orang dari kalangan menengah, sebanyak apa sih ??!Tetap aja ngga banyak.
Bagaimanapun, walau uang kita ngga banyak, idealnya memang ada jumlah yang secara rutin dialokasikan untuk membantu sesama. Jika kita tahu ada orang macam ini dan kita ppas lagi kere abis, bisalah orang ini dijadikan alternatif untuk kasih pinjam uang. Kalo permintaan kita ditolak terus ? Ya banyak sebab. Mungkin orang itu kita kira duitnya masih banyak padahal sebenarnya udah sangat menipis. Bisa juga ia sudah ada alokasi yang ketat mengenai siapa yang akan dibantu serta berapa jumlahnya dan nama kita ngga masuk dalam daftar.
Atau, bisa juga, karena ia pelit. Uangnya sesungguhnya masih banyak namun dia lebih merasa bahagia saat menyimpan daripada ketika memberi.
Mungkin dia trauma dengan kemiskinan.
Mungkin dia mengukur kesuksesan dari berapa banyak harta yang ia simpan, bukan dari berapa jumlah yang ia berikan kepada sesama.
Mungkin dia sangat boros, kerap menggunakan kartu kredit untuk menambah koleksi tas atau gonta-ganti HP sehingga sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk mencicil agar tagihan tidak membengkak.
Atau mungkin dia mencicil tagihan kartu kredit karena ia membiayai kebutuhan medis orang tuanya dengan cara gesek di kasir secara rutin.
Bisa jadi dia lagi mencoba bersikap bijaksana, membuat pengeluaran tak lebih besar daripada pemasukan karena ia sudah diberitahu dokter bahwa pasangannya ada kemungkinan operasi tahun depan.
Mungkin dia diam-diam lagi bangun rumah untuk membahagiakan orang tuanya.
Mungkin dia kayak saya, uang tinggal sedikit tapi tampak luar tak beda dengan tanggal muda, saat gaji dan THR baru ditransfer.
Mungkin karena terlalu baik hati, orang tersebut membantu sesama sampai berhutang dan ia sudah tak bisa lagi menolong karena utang yang sudah ada pun belum dibayar lunas. Biar bagaimanapun, menjadi pahlawan kesiangan adalah hal yang layak untuk dihhindari.
Mungkin ia lagi menabung karena ingin merayakan ulang tahun anaknya secara meriah mengingat buah hatinya seumur hidup belum pernah merayakan ulang tahun sampai ke tahap memanggil teman-teman sekelas.
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia punya kriteria tentang orang seperti apa yang sebaiknya dipinjami uang dan kita ngga masuk kriteria tersebut.
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia sebel kerjaan kita mengeluh terus:Ngapain kasih pinjam uang ke orang yang frekwensi mengeluhnya jauh lebih sering daripada frekwensi bekerja ?
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia melihat gaya hidup kita jauh lebih mewah daripada gaya hidup yang ia jalani. Bisa jadi dia mikir sepuluh kali sebelum mengeluarkan uang:Lah, ngapain gue minjemin duit ke orang boros ?
Sekarang, mari kita balik lagi ke pertanyaan awal:Orang pelit itu duitnya dibawa ke mana sih ? Saya ngga tahu jawabannya. Untuk tahu jawabannya mungkin lebih baik kita ajukan dulu pertanyaan berikut,”Benarkah orang yang kita bilang pelit benar-benar orang pelit?”
4 Maret 2014,12.14 WIB
Sebab pertama: Di sebuah update status FB saya lihat ada yang posting:"Orang pelit itu duitnya dibawa ke mana, sih ?" Komentar orang bermacam-macam,”Dibawa ke kuburan”...”Dibawa ke anak cucu”, dan lain-lain.
Penyebab kedua, ada pasangan yang rajin banget pinjam uang ke saya. Mereka bisa dua minggu sekali menghubungi saya untuk pinjam uang. Awalnya saya kasih tapi karena mereka sangat sering meminjam, saya pun ngga kasih lagi. Mereka sejak kuliah memang amburadul. Istrinya pemalas sedangkan dia kerjaannya mengeluh terus. Pasangan yang sempurna bukan ? Gaya hidup mereka masih gaya hidup kelas menengah, bukan gaya hidup kelas bawah, Lah, emangnya gue kerja buat mereka?? Mereka pun menuduh saya pelit.
Ngomong-ngomong soal pelit, saya dulu menyebut beberapa orang pelit dan terakhir saya melakukannya adalah 6-7 tahun yang lalu. Saat itu, minimal ada 2 orang yang saya bilang pelit. Mereka semua sama:Punya jabatan mentereng, posisi tinggi, jadi harap maklum jika dengan semena-mena saya menyimpulkan bahwa kedua orang ini pastilah banyak uang. Saya pun diam-diam mencap mereka pelit karena orang-orang itu sangat jarang nraktir. Di lingkungan saya, yang (terlihat) banyak uang mentraktir mereka yang (terlihat) duitnya pas-pasan adalah pemandangan umum. Oleh karena itulah saya serta-merta mencap mereka pelit hanya karena saya tahu pemasukan mereka besar namun nyaris tak pernah mentraktir “orang biasa” makan. Saya ketika itu ngga ‘ngeh’ bahwa yang menentukan orang kaya bukanlah besarnya pemasukan melainkan apa yang tersisa setelah pemasukan dikurangi pengeluaran rutin.
Sampai akhirnya saya tahu, bahwa kedua orang ‘pelit’ itu punya banyak anak asuh. Mereka juga royal saat menyumbang untuk korban bencana alam. Di situlah saya paham mengapa mereka nyaris tak pernah nraktir, saya percaya mereka mengambil keputusan itu karena mereka berpikir, toh yang ditraktir aslinya sanggup bayar, jadi buat apa mereka ditraktir? Tentu saja hal ini bisa diperdebatkan. Hidup toh isinya juga sosialisasi, bukan hanya kegiatan sosial. Kita bisa adu argumentasi dua hari dua malam soal prioritas hidup. Apapun hasil debatnya, saya kagum bahwa kedua orang ini cukup cuek untuk bisa tutup telinga, tak peduli dibilang pelit demi meringankan beban sesama.Oh ya, BTW, saya tahu tentang anak asuh dan sumbangan mereka bukan dari mereka langsung. Mereka tak pernah memberi pengumuman, baik di Twitter, FB atau apapun itu, saat mereka menyumbang. Saya tahu itu dari salah satu sahabat mereka yang agak resah melihat kedua kawan karibnya dituduh pelit oleh cukup banyak orang.
Nah, sejak tahu sepak terjang mereka itulah, saya ‘kapok’ bilang orang pelit.
***
Ini juga cerita nyata. Ada kenalan saya yang murah hati. Sejak menikah, dia mendadak pelit. Kalo ada tetangga susah, dia jarang sekali membantu namun hal ini terjadi setelah peristiwa ‘saya salah kasih label’ di atas terjadi sehingga saya ngga menuduh suaminya membuat kenalan saya menjadi pelit. Bisa aja keluarga suaminya banyak yang miskin dan mereka punya komitmen untuk membantu keluarga sendiri terlebih dahulu dibandingkan orang luar. Tentu hal ini bisa diperdebatkan. Hidup toh isinya ngga hanya keluarga, ada yang namanya teman atau tetangga. Setuju atau tidak dengan pilihan mereka, kita harus sepakat bahwa tiap individu dan keluarga punya alasan dan hak untuk menyusun prioritas hidup.
Ngomong-ngomong soal pelit, menurut saya kita hanya bisa bilang orang pelit kalau kita tahu PERSIS berapa pemasukannya dan pengeluarannya serta untuk apa uang itu dia keluarkan. Saya tahu ada orang yang royal sekali kepada salah seorang pamannya. Ia merasa berutang budi pada pamannya dan prihatin karena pamannya miskin sekali walau sudah kerja setengah mati. Teman saya ini mengeluarkan cukup banyak uang untuk pamannya dan dia hanya menceritakan hal ini pada saya,suaminya dan ibunya. Dia cerita bahwa orang-orang kerap mengutarakan niat untuk meminjam uang karena ia dianggap kaya. Ia sendiri hanya menabung a la kadarnya karena ia pikir kalau suatu saat pamannya meninggal, dia bisa menabung sangat banyak. “Untuk sementara ini, gue bales budi dulu deh”, tuturnya pada saya. Alhasil, teman-temannya yang mau pinjam uang pun sering bernasib apes,sangat sering permintaan mereka untuk pinjam uang dia tolak karena uangnya memang pas-pasan. Sama seperti dua kenalan saya di awal cerita, teman saya ini lebih memilih cuek dibilang pelit daripada harus buat pengumuman tiap kali dia mengeluarkan uang untuk membantu pamannya.
Saya pikir, ada bagusnya kita berpikir masak-masak sebelum menuduh seseorang pelit. Kita ngga pernah tahu kondisi hidup orang. Saya pernah pegang uang 10 ribu selama 4 hari dalam kondisi sudah punya anak. Saya juga pernah punya uang tinggal 300 ribu padahal gajian masih 17 hari lagi. Jika dilihat dari luar, saat itu saya ya gayanya sama persis kayak gaya saya saat abis terima gaji dan THR:Biasa-biasa aja. Ngga lantas jalan saya jadi diseret dan muka dilipat-lipat kayak pare yang udah kelamaan di kulkas. Saat itu ngga ada yang tahu saya lagi susah. Lah, kan ngga ada keharusan saya mesti cerita ke orang-orang mengenai berapa uang yang saya punya dan berapa yang saya gunakan plus untuk apa. Saya yakin banyak banget orang yang berpendapat seperti saya:Ngga perlu kesusahan hidup diumbar-umbar dan ngga perlu rejeki dipamer-pamerin.Sebanyak-banyaknya duit orang dari kalangan menengah, sebanyak apa sih ??!Tetap aja ngga banyak.
Bagaimanapun, walau uang kita ngga banyak, idealnya memang ada jumlah yang secara rutin dialokasikan untuk membantu sesama. Jika kita tahu ada orang macam ini dan kita ppas lagi kere abis, bisalah orang ini dijadikan alternatif untuk kasih pinjam uang. Kalo permintaan kita ditolak terus ? Ya banyak sebab. Mungkin orang itu kita kira duitnya masih banyak padahal sebenarnya udah sangat menipis. Bisa juga ia sudah ada alokasi yang ketat mengenai siapa yang akan dibantu serta berapa jumlahnya dan nama kita ngga masuk dalam daftar.
Atau, bisa juga, karena ia pelit. Uangnya sesungguhnya masih banyak namun dia lebih merasa bahagia saat menyimpan daripada ketika memberi.
Mungkin dia trauma dengan kemiskinan.
Mungkin dia mengukur kesuksesan dari berapa banyak harta yang ia simpan, bukan dari berapa jumlah yang ia berikan kepada sesama.
Mungkin dia sangat boros, kerap menggunakan kartu kredit untuk menambah koleksi tas atau gonta-ganti HP sehingga sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk mencicil agar tagihan tidak membengkak.
Atau mungkin dia mencicil tagihan kartu kredit karena ia membiayai kebutuhan medis orang tuanya dengan cara gesek di kasir secara rutin.
Bisa jadi dia lagi mencoba bersikap bijaksana, membuat pengeluaran tak lebih besar daripada pemasukan karena ia sudah diberitahu dokter bahwa pasangannya ada kemungkinan operasi tahun depan.
Mungkin dia diam-diam lagi bangun rumah untuk membahagiakan orang tuanya.
Mungkin dia kayak saya, uang tinggal sedikit tapi tampak luar tak beda dengan tanggal muda, saat gaji dan THR baru ditransfer.
Mungkin karena terlalu baik hati, orang tersebut membantu sesama sampai berhutang dan ia sudah tak bisa lagi menolong karena utang yang sudah ada pun belum dibayar lunas. Biar bagaimanapun, menjadi pahlawan kesiangan adalah hal yang layak untuk dihhindari.
Mungkin ia lagi menabung karena ingin merayakan ulang tahun anaknya secara meriah mengingat buah hatinya seumur hidup belum pernah merayakan ulang tahun sampai ke tahap memanggil teman-teman sekelas.
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia punya kriteria tentang orang seperti apa yang sebaiknya dipinjami uang dan kita ngga masuk kriteria tersebut.
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia sebel kerjaan kita mengeluh terus:Ngapain kasih pinjam uang ke orang yang frekwensi mengeluhnya jauh lebih sering daripada frekwensi bekerja ?
Mungkin dia ngga mau kasih pinjam karena dia melihat gaya hidup kita jauh lebih mewah daripada gaya hidup yang ia jalani. Bisa jadi dia mikir sepuluh kali sebelum mengeluarkan uang:Lah, ngapain gue minjemin duit ke orang boros ?
Sekarang, mari kita balik lagi ke pertanyaan awal:Orang pelit itu duitnya dibawa ke mana sih ? Saya ngga tahu jawabannya. Untuk tahu jawabannya mungkin lebih baik kita ajukan dulu pertanyaan berikut,”Benarkah orang yang kita bilang pelit benar-benar orang pelit?”
4 Maret 2014,12.14 WIB