ORANG TUA NGGAK BISA MAKSA SELERA ANAK TAPI...
Tahun 2011 gue titip pesan ke keluarga gue bahwa kalo gue meninggal, gue ingin ‘Indonesia Pusaka’ dimainkan di pemakaman gue. Bukan…Bukan ngundang orkestra. Mati kok ngerepotin amat, yak? Maksud gue itu lagu cukup diputer aja, gituh.
Gue berasa lagu tersebut punya daya magis. Coba tuh koruptor-koruptor dikarantina dan dipaksa 3 bulan dengerin lagu itu melulu. Jangan-jangan di bulan ke-4, mereka balikkin semua jarahannya ke negara dan abis itu gak pernah nyuri lagi.
Kalo uji coba di atas berhasil, rakyat Indonesia berhutang besar pada pengarang lagu itu, Ismail Marzuki. Kalo gagal ya tetap berhutang sih, ‘kan Ismail juga pejuang kemerdekaan. Tahun 1947, ia menghentikan siaran musiknya di RRI karena ogah kerja sama dengan Belanda dan tahun 2004 ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Nah, Sabtu 13 Januari 2019 di Ciputra Artpreneur, Ananda Sukarlan (bit.ly/2RM6C8h) ngadain konser, isinya musik Ismail semua bertajuk Jakarta New Year's Concert: Millenial Marzukiana. Disebut Millenial karena yang main musik masih pada muda-muda. Conductornya mah Ananda, muda apaan mah kalo diaaa, muda dari Hongkong. Eh tapi dia termasuk millenials juga, kok. Kata Ananda di awal acara,”Age is just a matter of mind. If you don’t mind, it doesn’t matter.”
OK. Sip. Kagak jadi dah gua ngecat uban.
Kata Millenial juga menemukan relevansinya waktu Ananda ngomong gini,”Kalo mau live di FB, IG Story, gak apa-apa.” Beudddd…Konser musik klasik! IG Story!Live FB! Gaul bener, woiiii...Aseeekkk…Ananda Sukarlan memang kece…
bong.
Di konser berikut elo dateng yak, kali aja kita diajakin headbanging. Cihuy!
Eh tapi walaupun Ananda ngomong gitu, gue diem aja, sih. ‘I capture the moments with my heart, not with my camera.’ Terjemahan bahasa Indonesianya,”Elu aja gih sono foto-foto, gue mah mo nonton.” Gue yakin yang ngetag video dan foto di sosmed Ananda pasti banyak jadi gue cuma duduk manis dan diam-diam nangis saat menikmati 2 dari sekitar selusinan komposisi yang dimainkan 48 musisi itu. Itu ya, tuh yang bikin gue nangis awalnya adalah komposisi pertama. Musiknya indah banget, dibuat Ananda tahun 2011, diangkat dari novel Erstwhile karya Rio Haminoto. Gue berasa lebay sih. Baru aja tu konser mulai, eh gue udah mewek.
Haelahhh. Pa’an sik.
Gue dateng ke situ dengan anak gue, ABG 3 SMP yang hafal semua muka dan nama anggota band K-Pop walaupun semua pada mirip-mirip, ‘kan ceritanya orang-orang K-Pop kembar berjamaah. Tengsin juga gue kalo anak gue tauk Shinee sama Stray Kids tapi nggak tau Ismail Marzuki.
Nah, pas gue dateng, gue langsung terkesan dengan tiketnya. Minimalis banget. Ananda memang ambassador GreenPeace ‘kan. Terus buku program setebal 28 halaman ada di website, nggak ada hardcopynya. Entah berapa ratus pohon yang diselamatkan Ananda dan panitia.Tepuk tangan yukkk…Plokkk…Plokkk…Plokkk… Walau acara belom mulai, gue udeh gatel aja tuh pengen kasih standing ovation. Musik memang meneduhkan jiwa tapi kalo pohon abis ditebangin lha kepanasan juga ya kita. Para sponsor pasti paham bahwa buku program berbentuk PDF akan memperkecil kemungkinan penonton melihat logo mereka. Bagaimanapun, mereka mengambil konsekuensi tersebut dan jelas ini layak diapresiasi.
Gue demen sama ini konser soalnya ada narasinya segala. Handry Satriago bacain cerita Malin Kundang. Orang kalo ditanya cerita ini berkisah tentang apa, jawabannya biasanya sama, kayak ada templatenya,”Soal anak durhaka yang dikutuk jadi batu.” Cuma Handry kali yang kasih pemikiran mendalam,”Ini adalah cerita yang mengajak kita untuk tahu bagaimana cara menjadi manusia,” tuturnya dari atas kursi roda.
Anthony Hartono memainkan ‘Selendang Sutra’ dan ‘Indonesia Pusaka’ di penghujung konser. Anak kelahiran 1995 yang udah nggak available buat dijadiin mantu ini adalah pemenang pertama Ananda Sukarlan International Piano Competition tahun 2014. Sebelum Anthony mentas, Charles Bonar Sirait berkisah tentang Ismail. Jadi, yang bercerita tuh nggak hanya satu orang.
Mengingat salah satu tujuan konser adalah memperkenalkan karya Ismail Marzuki, memasukkan cerita Handry dan Charles ke dalam program adalah ide jenial. Untuk penonton kayak anak gue, yang menganggap musik Ismail adalah hal yang sangat serius, kalo nggak ada cerita kayak di atas, wah…Emaknya dah yang repot. Besok–besok kalo diajak lagi dia pasti nggak mau ikut. Bicara soal idealisme dalam bermusik serta memperkenalkan budaya Indonesia di kancah internasional, pada tataran praktis, ada satu golongan yang kehadirannya harus diperhitungkan:Para orang tua.
Orang tua nggak bisa ngatur selera musik anak. Jika orang tua tergila-gila Mahler misalnya lalu maksa anaknya juga harus demen Mahler, kasian tu anak. Dia bisa dianggap ajaib oleh teman-teman sebayanya. Sebaliknya, kalo ortu demen Michael Jackson dan ternyata anaknya suka Schubert, ya kasian juga itu anak kalo dipaksa dengerin ‘Ben’ melulu.
Namun, walau nggak punya kapasitas dan otoritas untuk mengatur selera musik anak, orang tua punya tugas untuk memperkenalkan kepada anak-anak mereka apa yang disebut Lloyd Weber sebagai ’some of the greatest achievements of mankind.’ Jika kita bicara tentang musik Indonesia, jelas hal ini nggak bisa dibantah: Musik Ismail Marzuki termasuk dalam kategori yang disebut Weber itu.
Kapasitas kursi sekitar 1150 dan 80an % tiket terjual. Banyak orang tua datang membawa anak, dari mulai balita sampai usia kuliahan. Mereka, termasuk saya, terberkati bisa memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mencicipi pencapaian besar tersebut.
Dan untuk itu, sudah seharusnyalah kita berterima kasih kepada Ananda Sukarlan.
16 Januari 2019
19.12 WIB
Tulisan lain soal konser ini:
Perjalanan Ananda dan Sang Idola
bit.ly/2CzW4j1
Foto:Dok.Precilia Siahaan
Dari 1150 kursi, 80%nya terjual. Walau konser ini mengusung musik Ismail Marzuki, yang kesannya 'tua' dan 'serius' banget, cukup banyak orang tua yang membawa anak dari mulai balita sampe usia kuliahan. Tiga anak di foto ini duduknya misah jauh dari gue. Pas di depan gue, ada keluarga bawa tiga anak juga, semua usia SD, sementara gue sendiri bawa anak gue, dia SMP.
Dari 1150 kursi, 80%nya terjual. Walau konser ini mengusung musik Ismail Marzuki, yang kesannya 'tua' dan 'serius' banget, cukup banyak orang tua yang membawa anak dari mulai balita sampe usia kuliahan. Tiga anak di foto ini duduknya misah jauh dari gue. Pas di depan gue, ada keluarga bawa tiga anak juga, semua usia SD, sementara gue sendiri bawa anak gue, dia SMP.