Penulis Biografi:Dibayar tapi Tidak Dibeli
Hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka baca.
Jumlah yang menulis jauh lebih sedikit karena tidak setiap pembaca tertarik menulis.
Jumlah penulis lebih kecil lagi karena tak setiap mereka yang menulis bisa disebut penulis.
Otomatis, jumlah yang buat biografi jauh lebih kecil lagi karena tak semua penulis tertarik membuat biografi.
Dan jumlah yang sangat kecil itu sekarang semakin kecil karena satu penulisnya keluar:Gue.
Biografi Ahok rencananya akan jadi biografi terakhir gue, cieee....Kesannya gue udah nulis 31 biografi, hahaha...Padahal baru dua, hadeuuhhh...Gue sih nggak puas dengan hasilnya tapi ini hasil kerja gue yang paling top,bikinnya udah pake akrobat waktu dan tenaga sampe otak kusut dan emosi teraduk-aduk kayak semen sebelum ditemplokin ke tembok. Kalo disuruh buat yang lebih (bagus ?bermutu?keren?) lagi,nyerahhhhh.
Pucing pala Barbie.
Cita-cita gue dari 2002 adalah bikin biografi orang 'bersih' (Kata bersih gue taruh di dalam tanda kutip karena gue percaya di dunia nggak ada orang yang beneran bersih).
Dari 2002 sampe 2014, gue hubungi 4 orang top,menawarkan diri utk bikinin mereka biografi, dan yang bilang iya saat gue 'lamar' ada 2:Munir dan Ahok.
Duanya lagi sapa ? Ah, kepo amat lu :-) :-) :-). Yak, lanjut...
Nah,orang 'bersih' yang ada di tempat kotor namun bisa tetap bersih,hidupnya sangat menarik untuk diabadikan. Repotnya, orang kayak gini biasanya pada kagak mau ambil insiatif untuk diekspose, banyak yang harus dibujuk-bujukkin dulu baru deh trus mereka mau dibuatin biografinya.
Trus,karena kita yang bujuk-bujukkin dia,sulit bagi kita untuk minta bayaran.Kita mesti keluar uang.Tentu nggak selalu kayak gini. Memang di 2 biografi gue, satu sen pun gue nggak dibayar dan bikinnya pake duit sendiri tapi ada kok orang-orang 'bersih' yang bikin biografi dan penulisnya dibayar.
Bermasalah nggak sih kalo penulis biografi dibayar?
Tergantung:Kita nulis tentang siapa? Siapa yang ditulis akan menentukan fungsi uang yang dia berikan ke penulis: Apakah uang itu adalah alat untuk menghargai kerja keras penulis atau untuk mengontrol penulis?
Idealnya,penulis biografi dibayar tapi tidak dibeli.
Selain ngebujukin obyek tulisan dan mikirin duit, penulis biografi harus ngejar-ngejar nara sumber.
Tentu aja kita bisa bikin biografi dengan modal baca koran,ngeliatin sosmed,nontonin TV dan nongkrongin Youtube.Itu namanya sumber sekunder.Tapi kalo bisa,ya dapat info dari sumber primer.
Nah,gue hanya mau nulis biografi kalo ada sumber primer.
Oleh karena itulah waktu bikin biografi Munir gue ke Malang dan mondar-mandir ketemu nara sumber. Jarak rumah gue dari tempat wawancara yang terdekat adalah 50an kilometer. Ada nara sumber yang pas gue datang hanya ngelirik sedikit karena pas gue datang ternyata dia lagi konferensi pers padahal udah SMSan beberapa kali dan sudah fixed akan wawancara.
Ngeselin?Nggak. Ngeselin buangettttttt.
Tapi ya resiko karena gue hanya mau nulis biografi kalo ada wawancara langsung. Makanya pas bikin buku Munir gue ke Malang dan saat buat biografi Ahok gue ke Belitung.Gue juga ngejar-ngejar beberapa orang bernama besar karena gue mau Ahok dilihat dari sudut pandang ilmu mereka:Hermawan Kertajaya,Sarlito Wirawan Sarwono,Rhenald Kasali....Banyak deh.
Nah,ini sangat menarik,meluaskan wawasan dan sekaligus ribet karena gue seumur hidup statusnya guru dan orang kantoran.Hampir semua (minimal 'sangat banyak') biografer punya latar belakang jurnalistik.Dulu (dan atau sekarang) para penulis biografi itu kerja di media.Kategori lain di luar wartawan:Mereka penulis full-time.
Gue mah nulisnya part-time tapi full-heart.
*yuhuuuu *
*lempar poni*
Bukan tanpa sebab kenapa penulis biografi banyak yang (mantan) jurnalis atau penulis full-time. Nulis biografi yang nara sumbernya banyak dan pake acara pergi ke luar kota adalah hal yang rumit jika itu dilakukan orang kantoran kayak gue.Nah,(mantan) jurnalis atau penulis fulltime punya beberapa hal yang bisa meringankan beban. Mereka bisa lebih tenang mikir karena tak terganggu urusan kantor yang biasanya ooenuh dengan deadlines.Mereka juga menguasai seluk-beluk ngejar-ngejar orang,cara wawancara dan mengorek-ngorek info,dll.Tentu yang bukan jurnalis bisa juga punya keahlian tersebut asalkan hanya sebatas teori.Kalo ahli dalam hal mempraktikkannya,ya jelas wartawan lah yang punya.Lha itu memang makanan mereka sehari-hari.
Nah...Hal-hal di atas itulah yang bikin gue memutuskan berhenti (sementara?) nulis biografi.Ntar mungkin nyambung lagi deh kapan-kapan,pas anak gue udah kuliah atau setelah gue pensiun dari kantor.
Bikin biografi sangat memperkaya hidup. Gue ketemu nara sumber yang baik, pinter-pinter dan orang-orang yang sangat reflektif. Ada juga yang narsis, ngeremehin orang dan berbohong. Gue pernah wawancara orang yang menemui gue sambil ngajak selingkuhannya. Suasana wawancara menyenangkan, meriah, pertanyaan gue dijawab panjang lebar. Ehh...Begitu selingkuhannya pergi (karena ada urusan pekerjaan), suasana jadi muram. Air muka si nara sumber berubah. Ini beneran terjadi lho, gue nggak bohong. Dramatis lah pokoknya perubahan suasana batin dan ekspresi muka si nara sumber. Aura ruangan langsung kena imbasnya. Jadi suram, gitu.
Nah, gue menjalani itu semua dengan cara berakrobat, mencoba untuk menyeimbangkan waktu dan tenaga buat banyak hal. Pekerjaan kantor mutlak harus beres semua karena nggak etis jika gue menomorduakan pihak yang dengannya gue diikat oleh perjanjian hitam di atas putih.Dengan Munir dan Ahok 'kan hanya 'perjanjian lisan' semacam "Ini wawancaranya buat dimasukkin ke buku ya...",gitu. Tantangan lain,gue harus melakukan pekerjaan wartawan padahal gue nggak punya naluri wartawan dan kemampuan jurnalistik gue ada di level 'ya-gitu-deh'.
Nah,trus,dengan kemampuan dan sikon lumayan terbatas kayak di atas itu, kok gue bisa nulis biografi orang yang notabene paling top seIndonesia ?
Heyyyyyy....God used my availability,not my ability.
Permasalahannya:I am no longer available. Dia lagi cari orang lain nih.
'Orang lain' itu mungkin elu?Iya,elu...Eh,kok lu nengok kiri kanan?
Iya,elu !!!
Mau nggak lu ?
Karawaci, 10 September 2016
11.44 WIB
Jumlah yang menulis jauh lebih sedikit karena tidak setiap pembaca tertarik menulis.
Jumlah penulis lebih kecil lagi karena tak setiap mereka yang menulis bisa disebut penulis.
Otomatis, jumlah yang buat biografi jauh lebih kecil lagi karena tak semua penulis tertarik membuat biografi.
Dan jumlah yang sangat kecil itu sekarang semakin kecil karena satu penulisnya keluar:Gue.
Biografi Ahok rencananya akan jadi biografi terakhir gue, cieee....Kesannya gue udah nulis 31 biografi, hahaha...Padahal baru dua, hadeuuhhh...Gue sih nggak puas dengan hasilnya tapi ini hasil kerja gue yang paling top,bikinnya udah pake akrobat waktu dan tenaga sampe otak kusut dan emosi teraduk-aduk kayak semen sebelum ditemplokin ke tembok. Kalo disuruh buat yang lebih (bagus ?bermutu?keren?) lagi,nyerahhhhh.
Pucing pala Barbie.
Cita-cita gue dari 2002 adalah bikin biografi orang 'bersih' (Kata bersih gue taruh di dalam tanda kutip karena gue percaya di dunia nggak ada orang yang beneran bersih).
Dari 2002 sampe 2014, gue hubungi 4 orang top,menawarkan diri utk bikinin mereka biografi, dan yang bilang iya saat gue 'lamar' ada 2:Munir dan Ahok.
Duanya lagi sapa ? Ah, kepo amat lu :-) :-) :-). Yak, lanjut...
Nah,orang 'bersih' yang ada di tempat kotor namun bisa tetap bersih,hidupnya sangat menarik untuk diabadikan. Repotnya, orang kayak gini biasanya pada kagak mau ambil insiatif untuk diekspose, banyak yang harus dibujuk-bujukkin dulu baru deh trus mereka mau dibuatin biografinya.
Trus,karena kita yang bujuk-bujukkin dia,sulit bagi kita untuk minta bayaran.Kita mesti keluar uang.Tentu nggak selalu kayak gini. Memang di 2 biografi gue, satu sen pun gue nggak dibayar dan bikinnya pake duit sendiri tapi ada kok orang-orang 'bersih' yang bikin biografi dan penulisnya dibayar.
Bermasalah nggak sih kalo penulis biografi dibayar?
Tergantung:Kita nulis tentang siapa? Siapa yang ditulis akan menentukan fungsi uang yang dia berikan ke penulis: Apakah uang itu adalah alat untuk menghargai kerja keras penulis atau untuk mengontrol penulis?
Idealnya,penulis biografi dibayar tapi tidak dibeli.
Selain ngebujukin obyek tulisan dan mikirin duit, penulis biografi harus ngejar-ngejar nara sumber.
Tentu aja kita bisa bikin biografi dengan modal baca koran,ngeliatin sosmed,nontonin TV dan nongkrongin Youtube.Itu namanya sumber sekunder.Tapi kalo bisa,ya dapat info dari sumber primer.
Nah,gue hanya mau nulis biografi kalo ada sumber primer.
Oleh karena itulah waktu bikin biografi Munir gue ke Malang dan mondar-mandir ketemu nara sumber. Jarak rumah gue dari tempat wawancara yang terdekat adalah 50an kilometer. Ada nara sumber yang pas gue datang hanya ngelirik sedikit karena pas gue datang ternyata dia lagi konferensi pers padahal udah SMSan beberapa kali dan sudah fixed akan wawancara.
Ngeselin?Nggak. Ngeselin buangettttttt.
Tapi ya resiko karena gue hanya mau nulis biografi kalo ada wawancara langsung. Makanya pas bikin buku Munir gue ke Malang dan saat buat biografi Ahok gue ke Belitung.Gue juga ngejar-ngejar beberapa orang bernama besar karena gue mau Ahok dilihat dari sudut pandang ilmu mereka:Hermawan Kertajaya,Sarlito Wirawan Sarwono,Rhenald Kasali....Banyak deh.
Nah,ini sangat menarik,meluaskan wawasan dan sekaligus ribet karena gue seumur hidup statusnya guru dan orang kantoran.Hampir semua (minimal 'sangat banyak') biografer punya latar belakang jurnalistik.Dulu (dan atau sekarang) para penulis biografi itu kerja di media.Kategori lain di luar wartawan:Mereka penulis full-time.
Gue mah nulisnya part-time tapi full-heart.
*yuhuuuu *
*lempar poni*
Bukan tanpa sebab kenapa penulis biografi banyak yang (mantan) jurnalis atau penulis full-time. Nulis biografi yang nara sumbernya banyak dan pake acara pergi ke luar kota adalah hal yang rumit jika itu dilakukan orang kantoran kayak gue.Nah,(mantan) jurnalis atau penulis fulltime punya beberapa hal yang bisa meringankan beban. Mereka bisa lebih tenang mikir karena tak terganggu urusan kantor yang biasanya ooenuh dengan deadlines.Mereka juga menguasai seluk-beluk ngejar-ngejar orang,cara wawancara dan mengorek-ngorek info,dll.Tentu yang bukan jurnalis bisa juga punya keahlian tersebut asalkan hanya sebatas teori.Kalo ahli dalam hal mempraktikkannya,ya jelas wartawan lah yang punya.Lha itu memang makanan mereka sehari-hari.
Nah...Hal-hal di atas itulah yang bikin gue memutuskan berhenti (sementara?) nulis biografi.Ntar mungkin nyambung lagi deh kapan-kapan,pas anak gue udah kuliah atau setelah gue pensiun dari kantor.
Bikin biografi sangat memperkaya hidup. Gue ketemu nara sumber yang baik, pinter-pinter dan orang-orang yang sangat reflektif. Ada juga yang narsis, ngeremehin orang dan berbohong. Gue pernah wawancara orang yang menemui gue sambil ngajak selingkuhannya. Suasana wawancara menyenangkan, meriah, pertanyaan gue dijawab panjang lebar. Ehh...Begitu selingkuhannya pergi (karena ada urusan pekerjaan), suasana jadi muram. Air muka si nara sumber berubah. Ini beneran terjadi lho, gue nggak bohong. Dramatis lah pokoknya perubahan suasana batin dan ekspresi muka si nara sumber. Aura ruangan langsung kena imbasnya. Jadi suram, gitu.
Nah, gue menjalani itu semua dengan cara berakrobat, mencoba untuk menyeimbangkan waktu dan tenaga buat banyak hal. Pekerjaan kantor mutlak harus beres semua karena nggak etis jika gue menomorduakan pihak yang dengannya gue diikat oleh perjanjian hitam di atas putih.Dengan Munir dan Ahok 'kan hanya 'perjanjian lisan' semacam "Ini wawancaranya buat dimasukkin ke buku ya...",gitu. Tantangan lain,gue harus melakukan pekerjaan wartawan padahal gue nggak punya naluri wartawan dan kemampuan jurnalistik gue ada di level 'ya-gitu-deh'.
Nah,trus,dengan kemampuan dan sikon lumayan terbatas kayak di atas itu, kok gue bisa nulis biografi orang yang notabene paling top seIndonesia ?
Heyyyyyy....God used my availability,not my ability.
Permasalahannya:I am no longer available. Dia lagi cari orang lain nih.
'Orang lain' itu mungkin elu?Iya,elu...Eh,kok lu nengok kiri kanan?
Iya,elu !!!
Mau nggak lu ?
Karawaci, 10 September 2016
11.44 WIB