Sekuler vs Spritual:Emang Ada ?
Saya terberkati berada dalam kondisi campur aduk. Saya bekerja di sekolah berbasis ajaran Kristen dan baik di dalam maupun di luar sekolah, saya dikelilingi orang-orang yang jika bicara sering menggunakan jargon kekristenan. Namun semua kakak saya Muslim dan di ruas jalan tempat saya tinggal, dari puluhan rumah mungkin yang Kristen kurang dari 5, keluarga saya salah satunya. Saya juga kerap membaca buku yang dipublikasikan penerbit Islam dan banyak memfollow intelektual Muslim di Twitter.
Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang Kristen sering membagi dunia dalam dua kategori:Sekuler dan spiritual. Lagu-lagu gereja adalah spiritual. Lagu non-gereja sekuler. Pergi ke gereja adalah spiritual. Hadir di seminar HAM atau filsafat adalah sekuler. Saya sih lebih sering dengar lagu gereja namun bukan karena saya menganggap lagu non-gereja adalah sekuler. Saya melakukannya karena itu adalah kebutuhan pribadi, memang itu cara saya berkomunikasi dengan Pencipta saya yang dengan teramat rendah hati, merendahkan diriNya dan menyebut saya sebagai sahabatNya (Saya senang David Garrett, pemain biola tercepat di dunia. Kalau Garrett bilang saya sahabatnya, saya bisa ngga tidur 2 bulan....Lah, ini yang bilang begitu penciptanya si Garrett, keren yak nasib gue). Kalau orang mau dengar Titi DJ atau Taylor Swift, silahkan. Cuma lagu-lagu yang liriknya error memang sebaiknya kita hindari karena berpotensi merusak pikiran serta mengacaukan estetika dan etika berbahasa. Apalagi kalo punya anak kecil, wah....Serem. Bayangkanlah Anda baru saja selesai mendengar lagu Mulan, aneh kan dengar anak 5 tahun misalnya nanya,”Pa, Ma, wanita paling seksi artinya apa,ya?” Nah lo. Modar kowe.
***
Ini kisah nyata. Waktu pertama kali mendengarnya, kalo direkam mungkin muka saya terlihat seperti Tom yang kaget lihat Jerry lari-lari kecil di depan mukanya setelah disiksa habis-habisan dengan kaki kursi. Anak dari seorang teman saya sakit dan teman saya pergi ke 2-3 rumah sakit untuk mencari pengobatan. Anak tersebut menjalani perawatan rutin selama beberapa tahun dan terakhir kali saya bertemu dengan ayah-ibunya, inilah yang mereka katakan,”Kami berhenti mengirim dia ke dokter. Kami berdoa saja. Tuhan akan menyembuhkan. Kami sangat percaya. Dalam nama Tuhan Yesus, dia pasti sembuh,Amin”.
Weitssss.....Orang tua kaya? Punya mobil? Punya rumah bagus? Mampu bayar dokter? Dan menyerahkan segalanya pada Tuhan dengan cara melepaskan bagian mereka???? Kalo saya Tuhan, pasti udah saya semprot dari surga,”Halooo.....Saya ngelakuin bagian Saya nehhhh dari atas, kamu di bawah kerjakan juga bagianmu dong......”,begitulah kira-kira saya akan mengomel.
Saya gelisah berhari-hari. Pasti ada yang salah namun saya tidak tahu apa salahnya. Sampai akhirnya saya mendengarkan ceramah seorang apologist, Ravi Zacharias, dan mendadak saya mendapat pencerahan.
“Dalam kekristenan tak ada istilah sekuler dan spiritual”, begitu beliau bertutur. Yang eksis adalah istilah“profane” dan “sacred”. Menjadi guru sama “sacred”nya dengan menjadi penginjil, namun settingnya berbeda. Menjadi tukang antar susu sama sacrednya dengan menjadi peneliti, sekretaris atau pendeta, namun beda settingnya. Namun jangan lantas jadi ekstrem ya, biar bagaimanapun, saya yakin kita ngga bisa bilang,"Baca Tempo sama sacrednya dengan menelaah Alkitab" atau "Kan semua sacred, asal di dalamnya ada Tuhan,jadi hari Minggu ini saya lebih memilih ke seminar soal manajemen olah raga daripada ke gereja", misalnya.
Kembali lagi pada penuturan Ravi Zacharias di atas, pendapat beliau tentang sacred vs profane membuat saya yakin bahwa saya memiliki dugaan yang benar tentang tindakan teman saya tersebut. Mereka berhenti mengirim anaknya berobat karena memang mereka tak berpikir bahwa mengurus anak adalah hal yang sacred. Mereka hendak menggunakan waktu dan uangnya untuk aktivitas yang “spiritual”, yang “rohaniah”. Mereka berdua memang aktif, bukan hanya sering melakukan kegiatan gereja melainkan juga kerap jadi seksi sibuk di berbagai aktivitas kristen di luar gereja.
Kedua teman saya itu tidak berpikir bahwa membawa anaknya ke dokter---sejauh itu dilakukan dengan membawa Tuhan ke dalam cara mereka memandang masalah dan solusi--- adalah kegiatan yang sacred. Mereka tak berpendapat bahwa membayar biaya pengobatan ---sekali lagi, sejauh itu dilakukan dengan sadar bahwa rejeki yang diperoleh berasal dari Tuhan dan digunakan untuk menyenangkan Dia---adalah kegiatan yang sacred.
Tentu saja saya bisa salah namun paling tidak saya sudah hampir sepuluh tahun mnegenal mereka berdua dan memahami aliran teologi apa yang mereka ambil. Gereja mereka memang punya pembagian yang amat tegas tentang hal-hal sekuler dan spiritual. Kedua istilah ini, sekuler dan rohaniah, jelas ada di kamus namun banyak aspek kehidupan yang nampaknya lebih baik diteropong dari lensa sacred atau profane, bukan spiritual atau sekuler. Paling tidak, ada banyak kata sacred bermunculan di Alkitab namun berdasarkan pencarian yang saya lakukan, tak ada kata 'sekuler' ditemukan dalam Buku tersebut.
Balik lagi kepada keputusan teman saya untuk menarik anaknya dari pengobatan walau secara finansial mereka berkecukupan....Kesalahan mereka membuat saya berulang kali mikir:Bisa aja saya di masa lalu melakukan kebodohan serupa. Saya tak lebih bijak dari mereka dan juga tak lebih pandai. Anak mereka menjadi korban dari kesalahan mereka. Apakah ada yang menjadi korban saya ? Jika ada, siapa ? Kapan ? Di mana ?
Semoga tak ada. KiranyaTuhan mendengar harapan saya.
Lippo-Cikarang, 3 Oktober 2013. 12.43 WIB.
Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa orang Kristen sering membagi dunia dalam dua kategori:Sekuler dan spiritual. Lagu-lagu gereja adalah spiritual. Lagu non-gereja sekuler. Pergi ke gereja adalah spiritual. Hadir di seminar HAM atau filsafat adalah sekuler. Saya sih lebih sering dengar lagu gereja namun bukan karena saya menganggap lagu non-gereja adalah sekuler. Saya melakukannya karena itu adalah kebutuhan pribadi, memang itu cara saya berkomunikasi dengan Pencipta saya yang dengan teramat rendah hati, merendahkan diriNya dan menyebut saya sebagai sahabatNya (Saya senang David Garrett, pemain biola tercepat di dunia. Kalau Garrett bilang saya sahabatnya, saya bisa ngga tidur 2 bulan....Lah, ini yang bilang begitu penciptanya si Garrett, keren yak nasib gue). Kalau orang mau dengar Titi DJ atau Taylor Swift, silahkan. Cuma lagu-lagu yang liriknya error memang sebaiknya kita hindari karena berpotensi merusak pikiran serta mengacaukan estetika dan etika berbahasa. Apalagi kalo punya anak kecil, wah....Serem. Bayangkanlah Anda baru saja selesai mendengar lagu Mulan, aneh kan dengar anak 5 tahun misalnya nanya,”Pa, Ma, wanita paling seksi artinya apa,ya?” Nah lo. Modar kowe.
***
Ini kisah nyata. Waktu pertama kali mendengarnya, kalo direkam mungkin muka saya terlihat seperti Tom yang kaget lihat Jerry lari-lari kecil di depan mukanya setelah disiksa habis-habisan dengan kaki kursi. Anak dari seorang teman saya sakit dan teman saya pergi ke 2-3 rumah sakit untuk mencari pengobatan. Anak tersebut menjalani perawatan rutin selama beberapa tahun dan terakhir kali saya bertemu dengan ayah-ibunya, inilah yang mereka katakan,”Kami berhenti mengirim dia ke dokter. Kami berdoa saja. Tuhan akan menyembuhkan. Kami sangat percaya. Dalam nama Tuhan Yesus, dia pasti sembuh,Amin”.
Weitssss.....Orang tua kaya? Punya mobil? Punya rumah bagus? Mampu bayar dokter? Dan menyerahkan segalanya pada Tuhan dengan cara melepaskan bagian mereka???? Kalo saya Tuhan, pasti udah saya semprot dari surga,”Halooo.....Saya ngelakuin bagian Saya nehhhh dari atas, kamu di bawah kerjakan juga bagianmu dong......”,begitulah kira-kira saya akan mengomel.
Saya gelisah berhari-hari. Pasti ada yang salah namun saya tidak tahu apa salahnya. Sampai akhirnya saya mendengarkan ceramah seorang apologist, Ravi Zacharias, dan mendadak saya mendapat pencerahan.
“Dalam kekristenan tak ada istilah sekuler dan spiritual”, begitu beliau bertutur. Yang eksis adalah istilah“profane” dan “sacred”. Menjadi guru sama “sacred”nya dengan menjadi penginjil, namun settingnya berbeda. Menjadi tukang antar susu sama sacrednya dengan menjadi peneliti, sekretaris atau pendeta, namun beda settingnya. Namun jangan lantas jadi ekstrem ya, biar bagaimanapun, saya yakin kita ngga bisa bilang,"Baca Tempo sama sacrednya dengan menelaah Alkitab" atau "Kan semua sacred, asal di dalamnya ada Tuhan,jadi hari Minggu ini saya lebih memilih ke seminar soal manajemen olah raga daripada ke gereja", misalnya.
Kembali lagi pada penuturan Ravi Zacharias di atas, pendapat beliau tentang sacred vs profane membuat saya yakin bahwa saya memiliki dugaan yang benar tentang tindakan teman saya tersebut. Mereka berhenti mengirim anaknya berobat karena memang mereka tak berpikir bahwa mengurus anak adalah hal yang sacred. Mereka hendak menggunakan waktu dan uangnya untuk aktivitas yang “spiritual”, yang “rohaniah”. Mereka berdua memang aktif, bukan hanya sering melakukan kegiatan gereja melainkan juga kerap jadi seksi sibuk di berbagai aktivitas kristen di luar gereja.
Kedua teman saya itu tidak berpikir bahwa membawa anaknya ke dokter---sejauh itu dilakukan dengan membawa Tuhan ke dalam cara mereka memandang masalah dan solusi--- adalah kegiatan yang sacred. Mereka tak berpendapat bahwa membayar biaya pengobatan ---sekali lagi, sejauh itu dilakukan dengan sadar bahwa rejeki yang diperoleh berasal dari Tuhan dan digunakan untuk menyenangkan Dia---adalah kegiatan yang sacred.
Tentu saja saya bisa salah namun paling tidak saya sudah hampir sepuluh tahun mnegenal mereka berdua dan memahami aliran teologi apa yang mereka ambil. Gereja mereka memang punya pembagian yang amat tegas tentang hal-hal sekuler dan spiritual. Kedua istilah ini, sekuler dan rohaniah, jelas ada di kamus namun banyak aspek kehidupan yang nampaknya lebih baik diteropong dari lensa sacred atau profane, bukan spiritual atau sekuler. Paling tidak, ada banyak kata sacred bermunculan di Alkitab namun berdasarkan pencarian yang saya lakukan, tak ada kata 'sekuler' ditemukan dalam Buku tersebut.
Balik lagi kepada keputusan teman saya untuk menarik anaknya dari pengobatan walau secara finansial mereka berkecukupan....Kesalahan mereka membuat saya berulang kali mikir:Bisa aja saya di masa lalu melakukan kebodohan serupa. Saya tak lebih bijak dari mereka dan juga tak lebih pandai. Anak mereka menjadi korban dari kesalahan mereka. Apakah ada yang menjadi korban saya ? Jika ada, siapa ? Kapan ? Di mana ?
Semoga tak ada. KiranyaTuhan mendengar harapan saya.
Lippo-Cikarang, 3 Oktober 2013. 12.43 WIB.