Setelah Memaafkan, Lalu Apa?
Tulisan untuk Kalangan Sendiri
(Tulisan ke-2 dari 2 Tulisan)
Tulisan ini aslinya dibuat untuk orang-orang Kristen. Tentu aja yang beragama lain boleh baca. Gue bikin karena sebagian orang Kristen cenderung bersikap kelewat baik sehingga jadi agak permisif terhadap kejahatan. Cukup banyak yang yakin bahwa setelah memaafkan, kita harus rekonsiliasi atau kembali berhubungan baik dengan orang itu. Apa iya?
Menurut American Psychological Association, memaafkan adalah proses mental dan atau spiritual untuk berhenti merasa dendam atau marah terhadap orang lain karena adanya pelanggaran, perbedaan atau kesalahan, atau berhenti menuntut hukuman.
Misalnya, X melecehkan elo dan elo mau memaafkan X tapi dia keburu meninggal. Ya maafin aja. Memaafkan dilakukan sendirian. Rekonsiliasi melibatkan dua pihak.
Kita bisa memaafkan orang bersalah yang nggak merasa bersalah tapi rekonsiliasi hanya bisa dilakukan kalau orang yang bersalah mengakui kesalahannya.
Rekonsiliasi harus didahului pemberian maaf tapi memaafkan nggak wajib diikuti dengan rekonsiliasi. Kalo orangnya baik atau normal, silahkan rekonsiliasi. Kalo orangnya toxic, jangan, karena mereka mengartikan “rekonsiliasi” sebagai peluang untuk kembali merusak.
Setelah memaafkan si psikopat, gue nggak sengaja ketemu. Beberapa minggu sebelumnya gue sama dia papasan, dia ngelihat gue dengan pandangan sangat benci dan sinis seperti mau bunuh gue. Kemarin ada banyak orang jadi dia menegur dengan ramah. Gue bales dengan senyum dan tanya basa-basi 1 kalimat.
BTW, mari kita sebut si psikopat ini sebagai "Crystal Lagoon." Nggak ada makna apa-apa, ini nama tempat yang gue datengin minggu ini jadi pas nulis pas ingat ini. Kalo pake nama orang nanti ada yang tersinggung.
Pas ngomong, gue selalu liat mata si Crystal Lagoon. Waktu pulang, dengan ramah dia bilang,”Duluan, ya”. Gue ngangguk. Gue udah nggak benci dia lagi jadi waktu ngeliat dia, gue baik-baik aja. Dulu tuh sistem senggol bacok, panas melulu hati gue kalo liat mukanya. Kemarin tuh gue nggak sinis, nggak galak, tapi nggak ada adegan centil ngakak seru-seruan kayak dulu. Gue sopan dan formal. Memberi maaf ke orang toxic jangan diikuti dengan sikap yang terlampau baik. Malah aneh, kesannya kayak menebus dosa. Yang edukatif gitu lho kalo bersikap.
Misalnya, elo memaafkan penjahat miskin dan sadis yang lagi lo perkarakan. Walau elo udah maafin, gugatannya diterusin aja. Kalo dia masuk penjara, lo rutin bantu keluarganya.
Kekristenan punya konsep radikal tentang memaafkan. Banyak cerita tentang orang jahat yang dikasihi tanpa syarat lalu balik ke jalan yang benar. Makanya masalah gue akan ditanggapi kayak begini oleh sebagian orang Kristen,”Sesudah ditampar pipi kanan, kasih pipi kiri, dong. Baik-baiklah ke dia, siapa tau dia berubah.”
Gue nggak rekonsiliasi karena Crystal Lagoon nggak bisa merasa bersalah, hanya bisa pura-pura merasa bersalah. Dari sisi supra natural, nggak ada yang mustahil buat Tuhan jadi psikopat bisa berubah. Kalau beneran terjadi, ini namanya “pengecualian.”
Masa’ kita mau rutin menjalani hidup pake hukum pengecualian? Kalo rutin, namanya jadi hukum pembiasaan dan kita akan mudah percaya dengan apa yang kita dengar. Padahal, kata semacam ‘think, argue, discern’ bertebaran di Alkitab.
Pipi kanan gue ditampar, gue maafin, terus gue masih harus kasih pipi kiri? Mohandas Gandhi ngomong begini,“Aku rasa yang Yesus maksud dengan ayat itu adalah kita harus bersedia menerima sebuah pukulan. Lalu bersedia menerima beberapa pukulan lagi untuk menunjukkan bahwa kita tidak akan memukul balik dan juga tidak dapat dibelokkan.”
Jadi, jangan belok. Elo tetap aja ke pengadilan sedangkan gue akan tetap menutup diri dari orang toxic. Gue juga akan tetap nulis soal psikopat kalo suatu saat dapat ide lagi.
Intinya, yang penting sopan dan baik, cukup kok. Kalo dia ajak senyum, balas. Dia menyapa, sahutin. Dia kirim WA, balas juga tapi dengan sesedikit mungkin kata.
Tunjukkan bahwa kita sudah nggak benci dia tapi kita enggan untuk berteman lagi. Menjauhkan diri dari mereka memperkecil peluang kita untuk kembali membenci dan untuk kembali sakit, entah fisik maupun jiwa.
Tetaplah ingat akan kejahatan mereka tapi dengan cara yang berbeda karena keadaan hati kita sudah berbeda.
“Healed memory,” BUKAN “deleted memory.”
“Forgive,” NOT “forget.”
Jadi, setelah memaafkan orang toxic, hindari mereka.
We deserve so much better.
7 Desember 2019
Menurut American Psychological Association, memaafkan adalah proses mental dan atau spiritual untuk berhenti merasa dendam atau marah terhadap orang lain karena adanya pelanggaran, perbedaan atau kesalahan, atau berhenti menuntut hukuman.
Misalnya, X melecehkan elo dan elo mau memaafkan X tapi dia keburu meninggal. Ya maafin aja. Memaafkan dilakukan sendirian. Rekonsiliasi melibatkan dua pihak.
Kita bisa memaafkan orang bersalah yang nggak merasa bersalah tapi rekonsiliasi hanya bisa dilakukan kalau orang yang bersalah mengakui kesalahannya.
Rekonsiliasi harus didahului pemberian maaf tapi memaafkan nggak wajib diikuti dengan rekonsiliasi. Kalo orangnya baik atau normal, silahkan rekonsiliasi. Kalo orangnya toxic, jangan, karena mereka mengartikan “rekonsiliasi” sebagai peluang untuk kembali merusak.
Setelah memaafkan si psikopat, gue nggak sengaja ketemu. Beberapa minggu sebelumnya gue sama dia papasan, dia ngelihat gue dengan pandangan sangat benci dan sinis seperti mau bunuh gue. Kemarin ada banyak orang jadi dia menegur dengan ramah. Gue bales dengan senyum dan tanya basa-basi 1 kalimat.
BTW, mari kita sebut si psikopat ini sebagai "Crystal Lagoon." Nggak ada makna apa-apa, ini nama tempat yang gue datengin minggu ini jadi pas nulis pas ingat ini. Kalo pake nama orang nanti ada yang tersinggung.
Pas ngomong, gue selalu liat mata si Crystal Lagoon. Waktu pulang, dengan ramah dia bilang,”Duluan, ya”. Gue ngangguk. Gue udah nggak benci dia lagi jadi waktu ngeliat dia, gue baik-baik aja. Dulu tuh sistem senggol bacok, panas melulu hati gue kalo liat mukanya. Kemarin tuh gue nggak sinis, nggak galak, tapi nggak ada adegan centil ngakak seru-seruan kayak dulu. Gue sopan dan formal. Memberi maaf ke orang toxic jangan diikuti dengan sikap yang terlampau baik. Malah aneh, kesannya kayak menebus dosa. Yang edukatif gitu lho kalo bersikap.
Misalnya, elo memaafkan penjahat miskin dan sadis yang lagi lo perkarakan. Walau elo udah maafin, gugatannya diterusin aja. Kalo dia masuk penjara, lo rutin bantu keluarganya.
Kekristenan punya konsep radikal tentang memaafkan. Banyak cerita tentang orang jahat yang dikasihi tanpa syarat lalu balik ke jalan yang benar. Makanya masalah gue akan ditanggapi kayak begini oleh sebagian orang Kristen,”Sesudah ditampar pipi kanan, kasih pipi kiri, dong. Baik-baiklah ke dia, siapa tau dia berubah.”
Gue nggak rekonsiliasi karena Crystal Lagoon nggak bisa merasa bersalah, hanya bisa pura-pura merasa bersalah. Dari sisi supra natural, nggak ada yang mustahil buat Tuhan jadi psikopat bisa berubah. Kalau beneran terjadi, ini namanya “pengecualian.”
Masa’ kita mau rutin menjalani hidup pake hukum pengecualian? Kalo rutin, namanya jadi hukum pembiasaan dan kita akan mudah percaya dengan apa yang kita dengar. Padahal, kata semacam ‘think, argue, discern’ bertebaran di Alkitab.
Pipi kanan gue ditampar, gue maafin, terus gue masih harus kasih pipi kiri? Mohandas Gandhi ngomong begini,“Aku rasa yang Yesus maksud dengan ayat itu adalah kita harus bersedia menerima sebuah pukulan. Lalu bersedia menerima beberapa pukulan lagi untuk menunjukkan bahwa kita tidak akan memukul balik dan juga tidak dapat dibelokkan.”
Jadi, jangan belok. Elo tetap aja ke pengadilan sedangkan gue akan tetap menutup diri dari orang toxic. Gue juga akan tetap nulis soal psikopat kalo suatu saat dapat ide lagi.
Intinya, yang penting sopan dan baik, cukup kok. Kalo dia ajak senyum, balas. Dia menyapa, sahutin. Dia kirim WA, balas juga tapi dengan sesedikit mungkin kata.
Tunjukkan bahwa kita sudah nggak benci dia tapi kita enggan untuk berteman lagi. Menjauhkan diri dari mereka memperkecil peluang kita untuk kembali membenci dan untuk kembali sakit, entah fisik maupun jiwa.
Tetaplah ingat akan kejahatan mereka tapi dengan cara yang berbeda karena keadaan hati kita sudah berbeda.
“Healed memory,” BUKAN “deleted memory.”
“Forgive,” NOT “forget.”
Jadi, setelah memaafkan orang toxic, hindari mereka.
We deserve so much better.
7 Desember 2019