Surat Terbuka Untuk Laire Siwi: Laire Sayang, Kamu Tahu ‘Sacred Anger’ Ngga’ ?
Dear Laire, Kita tidak saling kenal. Berjam-jam saya gelisah karena tak ingin menulis surat ini (kesannya kayak ikut campur,sih ) namun ada dorongan yang sangat kuat untuk tetap membuatnya. Mohon maaf sebelum dan sesudahnya kalo kamu merasa terganggu. Saya butuh istirahat dan sebelum surat ini jadi, saya tahu saya ngga akan bisa tidur nyenyak. *** Laire, Kemarin malam saya baca surat kamu mengenai ayahmu. Saya percaya banyak orang akan mendukung jika ayahmu memutuskan untuk sungkem di hadapanmu, mencuci kakimu, menciumnya,mengusapnya dengan takzim lalu menelan air cucian tersebut hingga tandas.
Waktu saya tahu ayah saya menikah lagi, umur saya sekitar 12 tahun. Saya teramat sangat marah namun saya tak bereaksi apa-apa. Teman-teman saya sejak itu jadi jarang main ke rumah karena saya melarang mereka datang, saya malu tak pernah ada sosok ayah hadir di rumah. Walau saya sempat sangat tak respek terhadap ayah, saya adalah darah dagingnya. Rasa tak hormat itu ada, mungkin sembunyi entah di sudut hati sebelah mana. Saya berusaha meredamnya. Dari segi perilaku terhadap beliau, saya baik-baik saja. Sering kasih kado kalau beliau ulang tahun. Kalau lagi baik, saya bahkan kasih beliau uang (saya katakan ‘kalau lagi baik’ karena saya jauh lebih memilih kasih uang ke Ibu saya). Waktu anak saya beranjak besar dan sudah bisa bicara jelas, saya luangkan waktu untuk rutin menelpon ayah saya agar anak saya bisa ngobrol dengan opungnya.
Laire, Posisi saya dulu lumayan mirip dengan posisimu sekarang, hmmm...Rasanya saya perlu menambahkan sedikit catatan: Kesamaan ayah kita adalah mereka memberikan kita adik tiri, di luar itu yang ada hanyalah perbedaan belaka. Saya amat mengagumi semangat dan ketulusanmu dalam membela ayahmu. Saya bukan mahluk mulia, saya baik terhadap ayah saya namun tak pernah menunjukkan support tingkat dewa seperti yang engkau tunjukkan kepada ayahmu. Saya tak begitu berminat menjadi mahkluk mulia karena saya belum bisa membedakan mahkluk mulia dari mahkluk yang tidak realistis. Di mata saya, manusia kadang-kadang mampu bersikap mulia karena mereka membutakan mata terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka menyangkal kenyataan, menciptakan realita versi mereka pribadi, meneropongnya dengan gaya motivator yang tergila-gila dengan ide berpikir positif, dan tadaaa.....Jadilah ia mahkluk mulia.
Laire, saya melihat jejak-jejak kekecewaan di suratmu namun tak ada sedikitpun tanda amarah. Mungkin di rumah kamu sudah memeluk bantal erat-erat dan berusaha teriak sekencang-kencangnya. Saya tahu kamu penulis brilian. Bisa jadi dalam beberapa hari ini jumlah cerpenmu mendadak jadi berlipat ganda dari biasanya karena stres mendalam kerap menjadi pemicu produktivitas. Entahlah. Apapun yang telah kamu lakukan setelah kamu tahu bahwa ada perempuan dihamili ayahmu, camkan satu hal: Marah itu terkadang sebuah keharusan.
Laire, kamu kayaknya ikut yoga ? Kontrol dirimu luar biasa. Marahlah namun kontrollah amarahmu. Tumpahkan secara elegan. Saya pernah marah-marah ke kakak saya, ayah jadi mediator saat itu. Kami bertiga debat dan saya rekam (bapak saya aslinya mediator tapi akhirnya ikut debat juga). Saat saya perdengarkan kepada suami, inilah komentarnya,”Kok kayak kuliah, ngomongnya teratur, bicaranya logis”. Padahal itu isinya kami bertiga lagi perang pendapat. Marah dikenal luas sebagai sebuah emosi yang destruktif oleh karena itulah di suratmu, kamu menulis bahwa marah tak akan mengubah keadaan. “Sesudah marah lalu apa ?”, begitu kamu mengajukan pertanyaan yang bagimu pastilah itu pertanyaan retoris.
Laire sayang, kamu tahu sacred anger, ngga ? Kemarahan yang diungkapkan karena melihat ada sebuah ketidakberesan? Yesus ngamuk sampe nebalikin meja karena pedagang berjualan di Bait Allah ? Muhammad yang marah kepada Ibn Al-Lutbiyyah karena pemungut pajak yang satu ini terima suap ? Ahok bentak-bentak Departemen PU dan minta mereka memotong anggaran ? Jokowi yang lempar map karena anak buahnya pada ngga datang di kantor kelurahan saat beliau sidak ??? Sacred anger brings beauty to the world, at least, your world.
Laire, Biarkan ayahmu tahu bahwa di balik dukunganmu, kamu terluka. Tunjukkan bahwa kamu tahu apa sesungguhnya yang terjadi, tak ada yang bisa ditutupi karena arus informasi sudah demikian deras. Saya tunjukkan loh, ke ayah saya, bahwa saya tahu apa yang terjadi. Saya rasa, beliau menghormati perlakuan saya kepada diri beliau (yang menghormati beliau dan sopan, baik-baik saja) karena tahu bahwa perlakuan itu saya tunjukkan di tengah-tengah pengetahuan saya yang lumayan banyak tentang perbuatannya. Tunjukkan bahwa kamu tahu, merasa sakit namun akan tetap mendampinginya. Katakan, perlihatkan, komunikasikan itu, tentu dengan cara yang kalian berdua sama-sama pahami. Lakukan itu Laire, mungkin bulan depan, besok, dua minggu lagi, empat bulan lagi, atau kapan pun itu. Tunjukkan bahwa lukamu pasti akan mengering namun bekasnya mungkin akan tetap ada, namun bisa juga akan lenyap. Biarkan ayahmu tahu,jangan khawatir, ayahmu akan baik-baik saja. Ayah saya tahu dan beliau baik-baik saja. Di ujung hidupnya, beliau meninggal karena kanker usus, bukan karena saya berani menunjukkan bahwa saya kecewa terhadap beliau. Terkadang kita merasa kita demikian dibutuhkan seseorang sehingga kita takut untuk mengecewakannya. Kita menganggap tanpa kita, dia akan letih dan jatuh. Kita tak sadar bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah kita yang sedemikian membutuhkan orang itu sehingga kita tak bisa membayangkan kita melukai hatinya dan dia jatuh terpuruk. Beri kesempatan pada ayahmu untuk tahu bahwa engkau terpukul dengan perbuatannya. Biarkan beliau hidup dalam realita. Ayah saya tahu saya marah namun sebelum beliau meninggal, saat berat badannya tinggal 25 kilogram karena kanker usus, saya kirim email sebanyak 6 halaman. Saya ucapkan rasa terima kasih saya untuk semua jasa beliau—yang saya rinci satu demi satu--dalam hidup saya. Tak lupa saya juga minta maaf untuk semua kesalahan saya. Ngga papa Laire, marahlah lalu biarkan ayahmu tahu bahwa engkau terluka justru karena engkau demikian mengasihinya.
Oh ya Laire, Saya pernah difitnah habis-habisan oleh seseorang yang keluarganya berantakan. Orang ini memang mahkluk aneh. Dia jahat ke banyak orang, bukan hanya ke saya. Salah satu teman bilang begini,”Sabar ya, sabarrrr....Maklumin aja, dia ‘kan produk broken home”. Laire, sedemikian murkanya saya saat itu sampai saya ngga bisa ngomong apa-apa. Kamu tau ‘kan makna yang tersembunyi dari kalimat itu ? “Produk broken home ya broken people with broken personality....Jadi sabar aja.Maklumin aja....Emang dia udah begitu dari sononya, lha wong keluarganya berantakan”, begitu bukan ??? Atau saya yang terlalu sensitif, atau bagaimana ? Laire, status kita berdua ‘resmi produk broken home’. Mari kita tunjukkan pada orang-orang bahwa broken home dan broken personality adalah dua hal yang bisa dipisahkan.
Laire yang baik, Waktu SMP kelas 1 atau 2 saya pernah dapet ranking nomor 4-5 dari bawah (dari 40an anak) dan kelas 2 SMA pernah absen dua bulanan karena sangat stres (sempat digosippin hamil waktu itu). Tahun 1996an, Ibu saya pernah masuk koran karena dapat penghargaan dan di situ ditulis bahwa ibu berpisah dengan ayah. Saya langsung memohon,"Ma,tolonggg deh,jangan bilang ke wartawan kalo Papa Mama pisah, saya malu banget kalo dibaca teman". Ibu saya menjelaskan bahwa fakta itu justru harus diungkap karena itu salah satu hal yang membuat juri menetapkan Ibu sebagai penerima piala: Fakta bahwa beliau single parent, punya anak lima, sangat kuat, tabah dan bisa-bisanya ngurus ribuan orang. Laire, lihatlah betapa rapuhnya saya....DULU. Waktu terus berjalan dan akhirnya saya menjadi guru. Banyak berkenalan dengan orang berpikiran luas dan berhati lapang membuat saya berubah secara drastis. Saya kini berani tegak berdiri di depan kelas dan menyampaikan kepada semua murid bahwa saya produk broken home. Saya tunjukkan pada mereka bahwa saya berusaha menjalani hidup dengan baik, saya rinci apa yang saya lakukan, bla...bla...bla....Mereka harus tahu bahwa broken home dan broken life ngga ada kaitannya. Mereka harus tahu bahwa sebesar apapun kesalahan orang tua kita, respek mutlak tetap harus ditunjukkan kepada orang tua. Sebagian murid saya anak orang kaya, sebagian sisanya adalah anak orang kaya banget. Yang namanya laki-laki, miskin aja bisa selingkuh apalagi kaya. Saya percaya pasti banyak dari mereka yang keluarganya hancur, cuma aja mereka ngga cerita. Saya buka aib keluarga karena saya teramat yakin, dengan bantuan yang Maha Kuasa, saya bisa mengubah cerita buruk itu menjadi alat untuk membuat kehidupan murid-murid saya menjadi lebih baik.
Kamu sekarang masih sangat stres, persis seperti saya saat berusia 12 tahun. Jalani saja, Laire. Percayalah, everything happens for a reason. Nanti, akan datang waktunya saat kamu bisa berdiri tegak dan mengubah cerita burukmu menjadi kekuatan bagi sesama. Juga bagi dirimu sendiri dan tentu saja, bagi ibumu.
Saya sudah melakukannya. Giliranmu akan segera tiba.
Salam hormat untuk Ibumu ya,
Meicky Shoreamanis Panggabean
1 Desember 2013, 16.10 __________________________________________________________________________
Surat Terbuka Laire Mengenai Kasus Sitok, Ayahnya: