Tentang Hukuman Mati:Pernah Pikirkan Perasaan Keluarga Korban Narkoba ?
Saya ngga setuju hukuman mati. Semua orang berhak atas kesempatan kedua tapi kalo sistem penjara masih kacau dan hukum masih bisa dibeli, di beberapa kasus, sangat mungkin hukuman mati adalah cara terbaik. Mengambil nyawa orang karena ia jahat adalah juga sebuah kejahatan. Namun, negara sangat korup kerapkali ngga kasih pilihan yang jahat dan yang baik, melainkan yang jahat dan lebih jahat. Saya percaya pembenahan sistem dan kualitas penjara, baik infrastruktur serta SDM, serta penegakan hukum, adalah hal yang harus dilakukan selain (Mungkin lebih tepat:Sebelum) menghapus hukuman mati
Saya cukup terganggu dengan cara orang membela terdakwa. Kalo belain orang ya lihat dulu apa tuduhannya dan bela dia dengan cara memberi bukti, mimimal berargumentasi, bahwa tuduhan tersebut tidak sesuai. Ada yang membela Mary Jane karena yakin ia adalah korban human trafficking dan bukan kurir. Lepas dari persoalan pendapat itu salah atau benar, argumen tersebut patut dihargai. Minimal, orang yang mengajukan pendapat itu berusaha menghindari kesalahan berlogika yang fatal:Belalah orang yang disebut bersalah karena mukannya memelas dan situasinya mengenaskan.
Kalo bicara soal muka Mary Jane yang memelas,yaelaaa….Muka gue kalo pas lagi tanggal tua juga memelas. Apa sebaiknya gue nyelundupin narkoba aja pas tanggal tua ? Kalo ketangkap ya sebaiknya gue jangan diapa-apain karena muka gue lecek dan kere abis. Begitu ? Saya baca analisa mikro ekspresi wajah MJ (dari ahli digital forensic), analisa tulisan tangan dia dari seorang handwriting analyst dan analisa pergerakan Mary Jane dari Filipina ke Indonesia (dari seorang forensic auditor). Menarik.
Beberapa orang mengkritik kebijakan hukuman mati dengan cara membuat para terdakwa menjadi malaikat dan dengan menggunakan pendekatan emosional. Saat baca itu, saya mikir,”Perasaan keluarga korban narkoba, gimana ya ?”. Kita ngga bisa nuduh mereka,”Elu sih cari duit melulu, makannya anak lo kecanduan” atau “Elu sih, ngga bisa ngurus anak, anak lo jadi nyandu deh, tuh”. Tiap keluarga dengan segenap kelemahan dan kekurangan yang melekat pada diri mereka, berjuang setengah mati untuk memberi yang terbaik bagi anggota-anggotanya. Tanyalah pada mereka yang melihat sendiri anaknya jerit-jerit karena sakaw. Tanyalah pada mereka yang tabung gas dan seprai di rumahnya dicuri karena bapak mereka kehabisan uang buat beli narkoba. Tanya pada orag tua yang anaknya putus sekolah karena kecanduan. Tanya pada mereka yang ibunya dipenjara karena narkoba dan uang mereka ludes terpakai untuk transport, beli makanan dan sogok sipir dan harus juga kasih uang lebih agar ibunya tetap bisa mengonsumsi narkoba di dalam. Tanyakan pada mereka,”Enak ya rasanya???” Yah, paling lu digaplok. Percayalah.
Jangan pernah membela seorang penjahat karena anaknya masih kecil-kecil. Anak dari korbannya juga masih kecil-kecil, kok. Jangan membela penjahat karena mereka miskin. Jangan-jangan korbannya lebih miskin lagi. Jangan membela karena mukanya memelas. Korbannya sangat mungkin lebih memelas lagi tapi udah keburu mati karena sakaw, jadi kita ngga lihat. Kita marah karena anak Hatta Rajasa bersalah namun bebas dari hukuman karena ia kaya. Kalau kita ngotot orang harus lepas dari hukuman karena ia miskin, bukankah berarti kita memegang standar ganda ?
Inti tulisan gue begini…
Kalo ente merasa ngerti hukum dan HAM tapi memilih membela terdakwa hukuman mati dengan alasan yang jauh dari logika :Bertobatlah. Orang-orang seperti saya, hanya ngerti sedkit tentang HAM dan hukum, jumlahnya banyak. Tidakkah Anda punya keinginan untuk membuat orang yang ngga paham permasalahan kayak saya jadi sedikit lebih pinter ?Pahalanya gede, lho.
Hal lain, di sekitar Anda, di FB friendlist atau followers Twitter Anda, pasti ada keluarga pecandu. Merekamungkin lagi berpikir untuk pindah ke rumah yang lebih kecil karena rumah yang sekarang mau dijual untuk menyogok hakim. Bisa jadi si adik jadi tertunda masukke sekolah yang bagus karena DPPnya dicuri si ibu yang kecanduan.Mereka mungki ribut terus tiap hari dan anak pertama baru kabur karena tak tahan keluarga jatuh miskin akibat uang tergerus untuk beli narkoba.
Saya, seperti halnya Anda, tak suka dengan hukuman mati dan percayalah,selalu ada cara untuk mengekspresikan pendirian kita tanpa perlu mendukakan hati keluarga korban pecandu.
30 April 2015
12.59 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Saya cukup terganggu dengan cara orang membela terdakwa. Kalo belain orang ya lihat dulu apa tuduhannya dan bela dia dengan cara memberi bukti, mimimal berargumentasi, bahwa tuduhan tersebut tidak sesuai. Ada yang membela Mary Jane karena yakin ia adalah korban human trafficking dan bukan kurir. Lepas dari persoalan pendapat itu salah atau benar, argumen tersebut patut dihargai. Minimal, orang yang mengajukan pendapat itu berusaha menghindari kesalahan berlogika yang fatal:Belalah orang yang disebut bersalah karena mukannya memelas dan situasinya mengenaskan.
Kalo bicara soal muka Mary Jane yang memelas,yaelaaa….Muka gue kalo pas lagi tanggal tua juga memelas. Apa sebaiknya gue nyelundupin narkoba aja pas tanggal tua ? Kalo ketangkap ya sebaiknya gue jangan diapa-apain karena muka gue lecek dan kere abis. Begitu ? Saya baca analisa mikro ekspresi wajah MJ (dari ahli digital forensic), analisa tulisan tangan dia dari seorang handwriting analyst dan analisa pergerakan Mary Jane dari Filipina ke Indonesia (dari seorang forensic auditor). Menarik.
Beberapa orang mengkritik kebijakan hukuman mati dengan cara membuat para terdakwa menjadi malaikat dan dengan menggunakan pendekatan emosional. Saat baca itu, saya mikir,”Perasaan keluarga korban narkoba, gimana ya ?”. Kita ngga bisa nuduh mereka,”Elu sih cari duit melulu, makannya anak lo kecanduan” atau “Elu sih, ngga bisa ngurus anak, anak lo jadi nyandu deh, tuh”. Tiap keluarga dengan segenap kelemahan dan kekurangan yang melekat pada diri mereka, berjuang setengah mati untuk memberi yang terbaik bagi anggota-anggotanya. Tanyalah pada mereka yang melihat sendiri anaknya jerit-jerit karena sakaw. Tanyalah pada mereka yang tabung gas dan seprai di rumahnya dicuri karena bapak mereka kehabisan uang buat beli narkoba. Tanya pada orag tua yang anaknya putus sekolah karena kecanduan. Tanya pada mereka yang ibunya dipenjara karena narkoba dan uang mereka ludes terpakai untuk transport, beli makanan dan sogok sipir dan harus juga kasih uang lebih agar ibunya tetap bisa mengonsumsi narkoba di dalam. Tanyakan pada mereka,”Enak ya rasanya???” Yah, paling lu digaplok. Percayalah.
Jangan pernah membela seorang penjahat karena anaknya masih kecil-kecil. Anak dari korbannya juga masih kecil-kecil, kok. Jangan membela penjahat karena mereka miskin. Jangan-jangan korbannya lebih miskin lagi. Jangan membela karena mukanya memelas. Korbannya sangat mungkin lebih memelas lagi tapi udah keburu mati karena sakaw, jadi kita ngga lihat. Kita marah karena anak Hatta Rajasa bersalah namun bebas dari hukuman karena ia kaya. Kalau kita ngotot orang harus lepas dari hukuman karena ia miskin, bukankah berarti kita memegang standar ganda ?
Inti tulisan gue begini…
Kalo ente merasa ngerti hukum dan HAM tapi memilih membela terdakwa hukuman mati dengan alasan yang jauh dari logika :Bertobatlah. Orang-orang seperti saya, hanya ngerti sedkit tentang HAM dan hukum, jumlahnya banyak. Tidakkah Anda punya keinginan untuk membuat orang yang ngga paham permasalahan kayak saya jadi sedikit lebih pinter ?Pahalanya gede, lho.
Hal lain, di sekitar Anda, di FB friendlist atau followers Twitter Anda, pasti ada keluarga pecandu. Merekamungkin lagi berpikir untuk pindah ke rumah yang lebih kecil karena rumah yang sekarang mau dijual untuk menyogok hakim. Bisa jadi si adik jadi tertunda masukke sekolah yang bagus karena DPPnya dicuri si ibu yang kecanduan.Mereka mungki ribut terus tiap hari dan anak pertama baru kabur karena tak tahan keluarga jatuh miskin akibat uang tergerus untuk beli narkoba.
Saya, seperti halnya Anda, tak suka dengan hukuman mati dan percayalah,selalu ada cara untuk mengekspresikan pendirian kita tanpa perlu mendukakan hati keluarga korban pecandu.
30 April 2015
12.59 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-