Tentang Philip Mantofa, Otak dan Rasa:
Tulisan untuk Orang Kharismatik dari Orang Kharismatik (Bagian II)
Di gereja ada KKR 3 hari, ada banyak pembicara termasuk Philip Mantofa (PM). Gue sekilas liat video You Tube semua pembicara dan cari artikel-artikelnya. Kesimpulannya: Gue nggak mau datang ke sesinya PM karena menurut beberapa forum, PM sesat. Gue nggak langsung percaya tapi waktu itu ‘nggak ada’ (?) waktu buat ngeYouTube-in khotbahnya. Jadi, biar aman, gue nggak mau datang pas PM bicara.
Masalahnya, gereja nggak kasih tau siapa akan khotbah di hari apa. KKR hari pertama dan kedua, yang khotbah bukan PM. Semua pembicara udah muncul di 3 hari seminar (pagi sampe sore, gue nggak datang) dan di 2 hari KKR (gue datang). Gue pikir pasti PM batal jadi pembicara karena semua pembicara kecuali PM sudah muncul di semua hari (acaranya dari pagi sampe malam, cuma istirahat beberapa jam). Jadi, di malam ke-3 KKR ya gue tetap datang karena yakin bukan PM yang khotbah.
Eh...Tau-taunya, TADAAAAA !!! PEMBICARANYA PHILIP MANTOFA, hohohooooo....
SELESAI dah hidup gua. Kudu nongkrong di depan pendeta yang kata orang adalah pendeta sesat, pas KKR...Tau dong KKR..Mana ada KKR 2 jam ? Minimal 3 jam. Cuma ya udah terlanjur, masa’ pulang sih, kekanak-kanakan amat ?! Jadi ya udah, gue pun pasrah di bangku jemaat.
Eh terus...PM ke mimbar...Trus beliau ngomong...Trus gue manggut-manggut...Trus lama-lama gue pegel karena leher gue kebanyakan ngangguk-ngangguk... Pencerahannya banyak.
Gue udah hampir 26 tahun berjemaat di gereja Kharismatik. Walau betah, diam-diam gue sebenarnya ada rasa kecewa karena hampir semua pendeta Kharismatik pas khotbah cuma ngomong tentang surga sama neraka doang. Rata-rata dari mimbar mereka menganggap kalo ada “Yesus-Yesus”nya berarti rohaniah, kalo nggak, ya berarti sekuler. Banyak yang berpendapat bahwa datang ikut komsel atau paduan suara lebih rohaniah atau tingkat spiritualitasnya lebih tinggi, daripada kalo ikut kursus fotografi. Buat gue, ini mah omong kosong banget. Gue berulang kali ke gereja dan pas nyanyi gue mikir begini, “Enak nih kalo ngopi” atau “Gue pengen nasi Padang, laperrrr”....Masa’ iya itu lebih rohaniah daripada orang yang lagi belajar motret dan bertekad membuat penikmat fotografi terinspirasi oleh keindahan foto mereka ? Banyak juga lho fotografer yang berkarya karena yakin foto-foto mereka bisa mengungkapkan kebenaran. Masa’ sih gue yang mikirin kopi atau makanan enak saat lidah gue nyebut nama Yesus lebih rohaniah daripada fotografer-fotografer macam itu ? Plis dehhhh.
Banyak pendeta Kharismatik yang membagi dunia menjadi spiritual vs sekuler***. PM membaginya menjadi sacred vs profane***, mirip banget sama Ravi Zacharias. Ravi adalah doktor yang namanya jadi pusat studi di Oxford University dan nggak ada Kharismatik-Kharismatiknya sedikitpun walau cuma satu ons sekalipun.
Ya gue sih tetap aja di gereja Kharismatik karena hal yang nggak ada di Kharismatik bisa diatasi dengan baca buku. Gue baca buku-buku para pemikir seperti Lee Strobel dan Michael Licona. Gue sering ngeYouTube “One Minute Apologetics”, ngefollow Timothy Keller dan Andy Bannister di Twitter plus ngefans abis sama, tentu dong, Ravi Zacharias. Koleksi buku Ravi gue lumayan lengkap.
Jadi, gue berusaha memendam rasa kecewa dengan buku. Gue yakin Tuhan beda dengan Matematika. Gue nggak suka mendekati Tuhan 100% pake otak (lagian emangnya bisa ya Dia didekati pake logika murni ? Emangnya Tuhan tuh algoritma ? ). Tuhan ‘kan Bokap kita, Teman kita, emangnya ada ya di antara kita yang bersahabat, pacaran atau nikah dengan cara sepenuhnya berlogika ? Dalam hubungan pribadi yang sifatnya sangat dekat, ada dong yang namanya feeling, rasa, emosi, gitu. Selain itu tentu saja dalam bersahabat, pacaran atau nikah dibutuhkan logika juga. Nah, masalahnya, Kharismatik kebanyakan pake rasa padahal sebagai manusia ‘kan gua punya logika. Lah...Logika gue dipakenya kapan dong ? Gue nggak bisa menyimpan logika gue di laci mobil dan masuk gereja hanya dengan perasaan, emosi, feeling, atau apapunlah itu istilahnya. I bring my brain wherever I go. Namun di banyak sekali kebaktian Kharismatik, logika gue cuma duduk manis...Jarang bergerak. Lalu gue kecewa dan gue mengatasinya dengan cara lari ke buku. It worked, yeyyyy:-).
Walau buku bisa sangat mengurangi rasa kecewa gue, ya gue tetap ingin ada pendeta yang kalo khotbah banyak masuk ke wilayah logika juga. Gue dapat beberapa, antara lain Riza Cassidy, PhdD, dosen di Deakin University. Walau udah dapat tapi ya tetep aja sih gue seneng bisa dapat lagi (soalnya jarang jarang bisa dapat...).
Di Kharismatik, PM sepertinya masuk ke kategori mahkluk agak langka dikit. KALAU wilayah kognitif dan afektif (atau otak dan rasa) bisa dibagi secara ekstrem, gue bisa katakan bahwa pendeta Kharismatik banyak sekali yang kalo khotbah cuma masuk ke wilayah afektif. Temen gue sampe bilang begini,”Orang Kharismatik itu bukannya nggak logis...Orang Kharismatik saya pikir emang nggak punya logika”. *Jleb* Kalo aja dia disuruh mengganti subyek kalimat itu, gue nggak tau dia akan ganti “Orang Karismatik” dengan istilah “mereka” (berarti gue nggak termasuk) atau dengan “kalian” (gue termasuk).
Suka atau tidak suka harus diakui Kharismatik itu ajarannya nggak seimbang. Surgaaaa melulu, kalo nggak ya neraka. Padahal hidup isinya nggak hanya itu. Di Indonesia hanya ada 10% orang dari total jumlah angkatan kerja yang menikmati pendidikan tinggi. Jumlah keluarga dengan pendapatan bulanan minimal 4 juta rupiah tidak sampai 40% padahal kuliah anak 'kan bayar ? Terus jemaat yang berminat playing God, mengkhayal dari mereka banyak yang nggak masuk surga, terus gimana dong ? Apa kita mau mendoakan agar orang-orang kurang mampu itu masuk surga ? OKlah, silahkan. Pertanyaan berikut:Kalo kita bisa mendoakan mereka dan sekaligus berkontribusi supaya mereka mengalami surga selagi masih hidup, apa kita puas hanya dengan mendoakan mereka supaya masuk surga setelah mereka mati?
Surga selagi hidup ?
Ya, surga selagi hidup. Bantu supaya anak mereka nggak terbelit lingkaran kemiskinan. Supaya mereka bisa lanjutin sekolah. Bisa beli vitamin. Beli buku. 4 sehat terjamin. 5 sempurna, yaaa...Kalo ada duit lebih, kenapa tidak ?
Kalo udah masuk ke wilayah ini, kita masuk ke wilayah berpikir. Wilayah otak.Urusan kognitif. Tuhan banyak berurusan dengan rasa, dengan iman, ini banyak dibahas di Kharismatik dan gue suka makanya gue bisa bertahan 26 tahun di situ. Cuma, sekali lagi, kalo wilayah kognitif dan afektif bisa dibagi secara ekstrem, gue bisa katakan bahwa Kharismatik sangat perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas khotbah yang mengajak jemat untuk juga BERPIKIR, bukan hanya MERASA.
Philip Mantofa hadir dan memberikan itu ke hidup gue. Kita bisa tau Tuhan dengan cara pake otak tapi cuma bisa dekat dengan Dia kalo pake otak dan rasa (Catatan:Kalo lo kebingungan bagaimana cara memaknai hubungan lo dengan Tuhan, lo pake aja manusia sebagai contoh, sama kok itu). PM khotbah dan menggelitik otak pendengar tapi rasa itu tetap ada di sepanjang khotbah. PM banyak baca buku, termasuk buku yang bukan bertema rohani. Kekristenan di tangannya jadi luas tapi Jalan Sempit yang menuju Yesus ya tetap sempit. PM tak melakukan kompromi di hal-hal dasar.
Pause sebentar...
Untuk yang berpikir bahwa di urusan KKR, kesembuhan ilahi dan lain-lain, Philip itu sesat: Silahkan deh. Namanya juga negara demokrasi. Gue juga jenis orang yang nggak gampang percaya kok, ini buktinya http://www.gurudanpenulis.com/29pengalaman-saya-dipaksa-berbahasa-roh--tulisan-untuk-orang-kharismatik-dari-orang-kharismatik-bagian-i.html
Play lagi...
Tantangan pendeta laki-laki sama kayak tantangan laki-laki non-pendeta pada umumnya:Harta, tahta dan wanita. Gue berdoa semoga Philip nggak jatuh. Sekedar catatan buat cewek yang suka cowok dengan mata segaris:PM ganteng lho. Ahok mah lewat. *serius*.
Sebagai penutup, ijinkan gue untuk bilang bahwa masalah khotbah yang tidak seimbang terjadi di semua denominasi karena tiap aliran punya penekanannya masing-masing. Nggak usah berantem. Nggak papa diskusi tapi kalau mau mencela, lebih baik batalkan niat dan lakukanlah otokritik. Kalau hanya untuk mencari keseimbangan dalam beriman lu ambil waktu untuk nyinyir dan memaki sesama, yaela…Ke laut aje kali yak.
Toh, kita nggak perlu menjadi sama.Kita hanya perlu menjadi satu. Yang penting oneness toh, bukansameness. Begitu bukan ?
28/1/2015 jam 16.43 WIB
Masalahnya, gereja nggak kasih tau siapa akan khotbah di hari apa. KKR hari pertama dan kedua, yang khotbah bukan PM. Semua pembicara udah muncul di 3 hari seminar (pagi sampe sore, gue nggak datang) dan di 2 hari KKR (gue datang). Gue pikir pasti PM batal jadi pembicara karena semua pembicara kecuali PM sudah muncul di semua hari (acaranya dari pagi sampe malam, cuma istirahat beberapa jam). Jadi, di malam ke-3 KKR ya gue tetap datang karena yakin bukan PM yang khotbah.
Eh...Tau-taunya, TADAAAAA !!! PEMBICARANYA PHILIP MANTOFA, hohohooooo....
SELESAI dah hidup gua. Kudu nongkrong di depan pendeta yang kata orang adalah pendeta sesat, pas KKR...Tau dong KKR..Mana ada KKR 2 jam ? Minimal 3 jam. Cuma ya udah terlanjur, masa’ pulang sih, kekanak-kanakan amat ?! Jadi ya udah, gue pun pasrah di bangku jemaat.
Eh terus...PM ke mimbar...Trus beliau ngomong...Trus gue manggut-manggut...Trus lama-lama gue pegel karena leher gue kebanyakan ngangguk-ngangguk... Pencerahannya banyak.
Gue udah hampir 26 tahun berjemaat di gereja Kharismatik. Walau betah, diam-diam gue sebenarnya ada rasa kecewa karena hampir semua pendeta Kharismatik pas khotbah cuma ngomong tentang surga sama neraka doang. Rata-rata dari mimbar mereka menganggap kalo ada “Yesus-Yesus”nya berarti rohaniah, kalo nggak, ya berarti sekuler. Banyak yang berpendapat bahwa datang ikut komsel atau paduan suara lebih rohaniah atau tingkat spiritualitasnya lebih tinggi, daripada kalo ikut kursus fotografi. Buat gue, ini mah omong kosong banget. Gue berulang kali ke gereja dan pas nyanyi gue mikir begini, “Enak nih kalo ngopi” atau “Gue pengen nasi Padang, laperrrr”....Masa’ iya itu lebih rohaniah daripada orang yang lagi belajar motret dan bertekad membuat penikmat fotografi terinspirasi oleh keindahan foto mereka ? Banyak juga lho fotografer yang berkarya karena yakin foto-foto mereka bisa mengungkapkan kebenaran. Masa’ sih gue yang mikirin kopi atau makanan enak saat lidah gue nyebut nama Yesus lebih rohaniah daripada fotografer-fotografer macam itu ? Plis dehhhh.
Banyak pendeta Kharismatik yang membagi dunia menjadi spiritual vs sekuler***. PM membaginya menjadi sacred vs profane***, mirip banget sama Ravi Zacharias. Ravi adalah doktor yang namanya jadi pusat studi di Oxford University dan nggak ada Kharismatik-Kharismatiknya sedikitpun walau cuma satu ons sekalipun.
Ya gue sih tetap aja di gereja Kharismatik karena hal yang nggak ada di Kharismatik bisa diatasi dengan baca buku. Gue baca buku-buku para pemikir seperti Lee Strobel dan Michael Licona. Gue sering ngeYouTube “One Minute Apologetics”, ngefollow Timothy Keller dan Andy Bannister di Twitter plus ngefans abis sama, tentu dong, Ravi Zacharias. Koleksi buku Ravi gue lumayan lengkap.
Jadi, gue berusaha memendam rasa kecewa dengan buku. Gue yakin Tuhan beda dengan Matematika. Gue nggak suka mendekati Tuhan 100% pake otak (lagian emangnya bisa ya Dia didekati pake logika murni ? Emangnya Tuhan tuh algoritma ? ). Tuhan ‘kan Bokap kita, Teman kita, emangnya ada ya di antara kita yang bersahabat, pacaran atau nikah dengan cara sepenuhnya berlogika ? Dalam hubungan pribadi yang sifatnya sangat dekat, ada dong yang namanya feeling, rasa, emosi, gitu. Selain itu tentu saja dalam bersahabat, pacaran atau nikah dibutuhkan logika juga. Nah, masalahnya, Kharismatik kebanyakan pake rasa padahal sebagai manusia ‘kan gua punya logika. Lah...Logika gue dipakenya kapan dong ? Gue nggak bisa menyimpan logika gue di laci mobil dan masuk gereja hanya dengan perasaan, emosi, feeling, atau apapunlah itu istilahnya. I bring my brain wherever I go. Namun di banyak sekali kebaktian Kharismatik, logika gue cuma duduk manis...Jarang bergerak. Lalu gue kecewa dan gue mengatasinya dengan cara lari ke buku. It worked, yeyyyy:-).
Walau buku bisa sangat mengurangi rasa kecewa gue, ya gue tetap ingin ada pendeta yang kalo khotbah banyak masuk ke wilayah logika juga. Gue dapat beberapa, antara lain Riza Cassidy, PhdD, dosen di Deakin University. Walau udah dapat tapi ya tetep aja sih gue seneng bisa dapat lagi (soalnya jarang jarang bisa dapat...).
Di Kharismatik, PM sepertinya masuk ke kategori mahkluk agak langka dikit. KALAU wilayah kognitif dan afektif (atau otak dan rasa) bisa dibagi secara ekstrem, gue bisa katakan bahwa pendeta Kharismatik banyak sekali yang kalo khotbah cuma masuk ke wilayah afektif. Temen gue sampe bilang begini,”Orang Kharismatik itu bukannya nggak logis...Orang Kharismatik saya pikir emang nggak punya logika”. *Jleb* Kalo aja dia disuruh mengganti subyek kalimat itu, gue nggak tau dia akan ganti “Orang Karismatik” dengan istilah “mereka” (berarti gue nggak termasuk) atau dengan “kalian” (gue termasuk).
Suka atau tidak suka harus diakui Kharismatik itu ajarannya nggak seimbang. Surgaaaa melulu, kalo nggak ya neraka. Padahal hidup isinya nggak hanya itu. Di Indonesia hanya ada 10% orang dari total jumlah angkatan kerja yang menikmati pendidikan tinggi. Jumlah keluarga dengan pendapatan bulanan minimal 4 juta rupiah tidak sampai 40% padahal kuliah anak 'kan bayar ? Terus jemaat yang berminat playing God, mengkhayal dari mereka banyak yang nggak masuk surga, terus gimana dong ? Apa kita mau mendoakan agar orang-orang kurang mampu itu masuk surga ? OKlah, silahkan. Pertanyaan berikut:Kalo kita bisa mendoakan mereka dan sekaligus berkontribusi supaya mereka mengalami surga selagi masih hidup, apa kita puas hanya dengan mendoakan mereka supaya masuk surga setelah mereka mati?
Surga selagi hidup ?
Ya, surga selagi hidup. Bantu supaya anak mereka nggak terbelit lingkaran kemiskinan. Supaya mereka bisa lanjutin sekolah. Bisa beli vitamin. Beli buku. 4 sehat terjamin. 5 sempurna, yaaa...Kalo ada duit lebih, kenapa tidak ?
Kalo udah masuk ke wilayah ini, kita masuk ke wilayah berpikir. Wilayah otak.Urusan kognitif. Tuhan banyak berurusan dengan rasa, dengan iman, ini banyak dibahas di Kharismatik dan gue suka makanya gue bisa bertahan 26 tahun di situ. Cuma, sekali lagi, kalo wilayah kognitif dan afektif bisa dibagi secara ekstrem, gue bisa katakan bahwa Kharismatik sangat perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas khotbah yang mengajak jemat untuk juga BERPIKIR, bukan hanya MERASA.
Philip Mantofa hadir dan memberikan itu ke hidup gue. Kita bisa tau Tuhan dengan cara pake otak tapi cuma bisa dekat dengan Dia kalo pake otak dan rasa (Catatan:Kalo lo kebingungan bagaimana cara memaknai hubungan lo dengan Tuhan, lo pake aja manusia sebagai contoh, sama kok itu). PM khotbah dan menggelitik otak pendengar tapi rasa itu tetap ada di sepanjang khotbah. PM banyak baca buku, termasuk buku yang bukan bertema rohani. Kekristenan di tangannya jadi luas tapi Jalan Sempit yang menuju Yesus ya tetap sempit. PM tak melakukan kompromi di hal-hal dasar.
Pause sebentar...
Untuk yang berpikir bahwa di urusan KKR, kesembuhan ilahi dan lain-lain, Philip itu sesat: Silahkan deh. Namanya juga negara demokrasi. Gue juga jenis orang yang nggak gampang percaya kok, ini buktinya http://www.gurudanpenulis.com/29pengalaman-saya-dipaksa-berbahasa-roh--tulisan-untuk-orang-kharismatik-dari-orang-kharismatik-bagian-i.html
Play lagi...
Tantangan pendeta laki-laki sama kayak tantangan laki-laki non-pendeta pada umumnya:Harta, tahta dan wanita. Gue berdoa semoga Philip nggak jatuh. Sekedar catatan buat cewek yang suka cowok dengan mata segaris:PM ganteng lho. Ahok mah lewat. *serius*.
Sebagai penutup, ijinkan gue untuk bilang bahwa masalah khotbah yang tidak seimbang terjadi di semua denominasi karena tiap aliran punya penekanannya masing-masing. Nggak usah berantem. Nggak papa diskusi tapi kalau mau mencela, lebih baik batalkan niat dan lakukanlah otokritik. Kalau hanya untuk mencari keseimbangan dalam beriman lu ambil waktu untuk nyinyir dan memaki sesama, yaela…Ke laut aje kali yak.
Toh, kita nggak perlu menjadi sama.Kita hanya perlu menjadi satu. Yang penting oneness toh, bukansameness. Begitu bukan ?
28/1/2015 jam 16.43 WIB