Tertarik Membuat Surat Terbuka ? Pikirin Ini Dulu...
Saya pernah 5-6 kali buat surat terbuka. Untuk yang tertarik buat, perhatikan hal berikut ya…
Surat terbuka ditulis hanya jika penulis mau menyampaikan hal yang menjadi concern banyak orang. Kalo Anda gelisah tentang teras rumah yang sering dijadiin tempat nongkrong anjing tetangga, ya elahh…Ngomong aja langsung ke yang punya anjing.
Konsekuensi menulis surat terbuka…
-Dibenci orang.
Saya pernah nulis surat terbuka ke 3 pendeta terkenal, nanya kenapa mereka bela Prabowo. Yang simpati sih banyak tapi yang sebel juga banyak mengingat ketiga rohaniawan itu penggemarnya bejibun. Salah satu pendeta ngamuk dan satunya lagi ngancam akan bawa saya ke pengadilan.
-Dibilang pengecut.
Ada yang berpikir bahwa orang yang membuat surat terbuka itu orang penakut, kalo berani pasti dia langsung hubungi orangnya. Padahal resiko nulis surat terbuka lebih banyak daripada kalo ngomong 4 mata.
-Disukai, dipuji-puji, karena surat kita dianggap bagus.
-Disebut tidak bijaksana dan kejam.
Jika surat kita menyinggung hati orang yang kita tuju, akan ada orang yang menuduh kita kejam. Kita dituduh ngga mikirin perasaan orang. Padahal siapa tau orang itu tersinggung karena yang kita katakan benar. Truth hurts.
Menurut saya, apapun yang kita lakukan, ada sisi kejam dan tidaknya, tergantung mau lihat dari sisi mana. Kita beli kacang untuk ngemil di supermarket juga kejam kok. Harganya 6000-7000 rupiah sebungkus, itu bisa dibeliin telur dadar 2 biji. Coba jalan deh, ngga nyampe 3 kilometer pasti ada orang miskin yang akan berhenti laparnya kalo kita kasih telur itu ke mereka. Terus, beli kacang buat ngemil tindakan kejam gitu ???
Perasaan yang muncul saat menulis:
-Takut
Saya pernah mengalami buat surat terbuka dan 6-12 jam setelah surat ditulis, saya ngga berani angkat telpon dari nomor yang saya ngga kenal.
-Senang karena yakin yang kita tulis benar.
-Kalo yang nulis orangnya sensitif, pasti ketika nulis dia khawatir karena penulis surat terbuka punya kemungkinan dibully abis-abisan.
Hal lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah surat itu akan diposting di mana ?
Saya membalas surat Jaya Suprana untuk Ahok ( http://politik.kompasiana.com/2015/04/01/untuk-jaya-suprana-dari-kaum-minoritas-tentang-ahok-710071.html#5730136 ). Surat Jaya dimuat Sinar Harapan jadi balasan saya kirim ke Sinar Harapan. Kalo dipikir-pikir, isunya kan sensitif ya. Pendapat Jaya juga error berat dan beberapa orang bertanya-tanya kenapa Sinar Harapan mau memuat surat semacam itu. Jadi, surat saya akhirnya saya tarik. Saya ngga mau kalau ada tanggapann buruk atau apalah, Sinar Harapan kena, karena Sinar Harapan dan kantor saya masihi sodaraan. Lebih baik saya posting di FB dan Kompasiana karena kalau ada apa-apa, relatif resiko saya tanggung sendiri.
Kesimpulannya, perlu ngga nulis surat terbuka ?
Yang harus sangat dipikirkan:Isi surat lo benar ga ? Kalo lo yakin isinya benar, poinnya relevan dengan keresahan banyak orang dan lo percaya bahwa lo ngga akan darah tinggi kalo dibully, ya tulis aja.
10 Maret 2015
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Surat terbuka ditulis hanya jika penulis mau menyampaikan hal yang menjadi concern banyak orang. Kalo Anda gelisah tentang teras rumah yang sering dijadiin tempat nongkrong anjing tetangga, ya elahh…Ngomong aja langsung ke yang punya anjing.
Konsekuensi menulis surat terbuka…
-Dibenci orang.
Saya pernah nulis surat terbuka ke 3 pendeta terkenal, nanya kenapa mereka bela Prabowo. Yang simpati sih banyak tapi yang sebel juga banyak mengingat ketiga rohaniawan itu penggemarnya bejibun. Salah satu pendeta ngamuk dan satunya lagi ngancam akan bawa saya ke pengadilan.
-Dibilang pengecut.
Ada yang berpikir bahwa orang yang membuat surat terbuka itu orang penakut, kalo berani pasti dia langsung hubungi orangnya. Padahal resiko nulis surat terbuka lebih banyak daripada kalo ngomong 4 mata.
-Disukai, dipuji-puji, karena surat kita dianggap bagus.
-Disebut tidak bijaksana dan kejam.
Jika surat kita menyinggung hati orang yang kita tuju, akan ada orang yang menuduh kita kejam. Kita dituduh ngga mikirin perasaan orang. Padahal siapa tau orang itu tersinggung karena yang kita katakan benar. Truth hurts.
Menurut saya, apapun yang kita lakukan, ada sisi kejam dan tidaknya, tergantung mau lihat dari sisi mana. Kita beli kacang untuk ngemil di supermarket juga kejam kok. Harganya 6000-7000 rupiah sebungkus, itu bisa dibeliin telur dadar 2 biji. Coba jalan deh, ngga nyampe 3 kilometer pasti ada orang miskin yang akan berhenti laparnya kalo kita kasih telur itu ke mereka. Terus, beli kacang buat ngemil tindakan kejam gitu ???
Perasaan yang muncul saat menulis:
-Takut
Saya pernah mengalami buat surat terbuka dan 6-12 jam setelah surat ditulis, saya ngga berani angkat telpon dari nomor yang saya ngga kenal.
-Senang karena yakin yang kita tulis benar.
-Kalo yang nulis orangnya sensitif, pasti ketika nulis dia khawatir karena penulis surat terbuka punya kemungkinan dibully abis-abisan.
Hal lain yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah surat itu akan diposting di mana ?
Saya membalas surat Jaya Suprana untuk Ahok ( http://politik.kompasiana.com/2015/04/01/untuk-jaya-suprana-dari-kaum-minoritas-tentang-ahok-710071.html#5730136 ). Surat Jaya dimuat Sinar Harapan jadi balasan saya kirim ke Sinar Harapan. Kalo dipikir-pikir, isunya kan sensitif ya. Pendapat Jaya juga error berat dan beberapa orang bertanya-tanya kenapa Sinar Harapan mau memuat surat semacam itu. Jadi, surat saya akhirnya saya tarik. Saya ngga mau kalau ada tanggapann buruk atau apalah, Sinar Harapan kena, karena Sinar Harapan dan kantor saya masihi sodaraan. Lebih baik saya posting di FB dan Kompasiana karena kalau ada apa-apa, relatif resiko saya tanggung sendiri.
Kesimpulannya, perlu ngga nulis surat terbuka ?
Yang harus sangat dipikirkan:Isi surat lo benar ga ? Kalo lo yakin isinya benar, poinnya relevan dengan keresahan banyak orang dan lo percaya bahwa lo ngga akan darah tinggi kalo dibully, ya tulis aja.
10 Maret 2015
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-