Thank God, It’s Fanni:
Karena Cinta dan Batuk Tak Bisa Disembunyikan
“Meicky, saatnya memberi yang terbaik buat keluarga”, begitu pesan Mas Anang di halaman satu buku. Dia layak menulis itu. Dia sudah melakukannya. Tentu istrinya juga, Mbak Susi, teman sekost saya selama bertahun-tahun ketika kami sama-sama kuliah di UGM, Yogyakarta.
Buku yang ada di genggaman saya adalah buktinya. “Thank God, It’s Fanni” bisa terbit bukan karena orang tua Fanni gemar menulis. Buku ini terbit bukan karena ayahnya menjalankan usaha yang berkaitan dengan penulisan. Bacalah dan Anda akan segera paham:Buku ini bisa terbit karena orang tuanya punya cinta berlimpah yang menggiring mereka untuk melakukan yang terbaik saat anaknya berulang tahun.
Tak pelak lagi, buku ini adalah sebuah dokumentasi yang komprehensif untuk Fanni. Dari mulai karya tulisnya hingga cerita menarik ketika SMP, ada di situ. Tulisan tentang dirinya di majalah remaja, fotonya dengan beberapa selebriti, isi buku hariannya, pengalaman ikut lomba.Ada juga posting ibunya, Mbak Susi, di Facebook yang menggambarkan betapa gelisahnya ia saat Fanni harus dilepas ke Van Lith.Keluarga ini cermat dalam menangkap detil yang akan membuat Fanni kelak, 15-20 tahun dari sekarang, bisa terkekeh-kekeh tanpa henti saat membaca ‘biografi’nya ini.
Walau menarik, hal paling istimewa dari buku ini bagi saya bukanlah isinya. Fakta terkeren adalah kenyataan bahwa adik Fanni, Justin, juga ikut berkontribusi. Beberapa artis pecicilan di social media dan berulang kali berusaha membuat masyarakat yakin bahwa mereka punya keluarga terindah di muka bumi. Dua-tiga politisi juga berkampanye dengan menunjukkan kekompakan keluarga mereka di layar televisi. Dengan cara yang intelek, Mas Anang dan Mbak Susi diam-diam berjibaku dengan Justin untuk membahagiakan anggota keluarga mereka. Bahwa saudara dan teman jadi semakin tahu bahwa mereka adalah keluarga yang saling mengasihi, itu adalah efek samping atau bonus, bukan tujuan utama. Sebagai orang yang gemar menulis, saya tahu persis tak mungkin tiga orang membuat satu buah buku dalam waktu kurang dari dua minggu jika mereka tak diikat oleh kedekatan yang fasenya melebihi kedekatan fisik.
Sekali lagi, tujuan mereka bertiga menulis buku ini adalah untuk membahagiakan Fanni di hari ulang tahunnya. Buku ini tidak dibuat untuk pencitraan, karya ini ditulis bukan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga harmonis. Namun, telusurilah baris per baris dan baliklah lembar demi lembar. Kita pasti bisa merasakan cinta tak bertepi yang hidup di hati mereka berempat. Hmmm... Bagaimana bisa tahu?
Ya bisalah,’kan “Cinta dan batuk tak bisa disembunyikan”, begitu kata pepatah.
6 Maret 2014,
13.59 WIB
Buku yang ada di genggaman saya adalah buktinya. “Thank God, It’s Fanni” bisa terbit bukan karena orang tua Fanni gemar menulis. Buku ini terbit bukan karena ayahnya menjalankan usaha yang berkaitan dengan penulisan. Bacalah dan Anda akan segera paham:Buku ini bisa terbit karena orang tuanya punya cinta berlimpah yang menggiring mereka untuk melakukan yang terbaik saat anaknya berulang tahun.
Tak pelak lagi, buku ini adalah sebuah dokumentasi yang komprehensif untuk Fanni. Dari mulai karya tulisnya hingga cerita menarik ketika SMP, ada di situ. Tulisan tentang dirinya di majalah remaja, fotonya dengan beberapa selebriti, isi buku hariannya, pengalaman ikut lomba.Ada juga posting ibunya, Mbak Susi, di Facebook yang menggambarkan betapa gelisahnya ia saat Fanni harus dilepas ke Van Lith.Keluarga ini cermat dalam menangkap detil yang akan membuat Fanni kelak, 15-20 tahun dari sekarang, bisa terkekeh-kekeh tanpa henti saat membaca ‘biografi’nya ini.
Walau menarik, hal paling istimewa dari buku ini bagi saya bukanlah isinya. Fakta terkeren adalah kenyataan bahwa adik Fanni, Justin, juga ikut berkontribusi. Beberapa artis pecicilan di social media dan berulang kali berusaha membuat masyarakat yakin bahwa mereka punya keluarga terindah di muka bumi. Dua-tiga politisi juga berkampanye dengan menunjukkan kekompakan keluarga mereka di layar televisi. Dengan cara yang intelek, Mas Anang dan Mbak Susi diam-diam berjibaku dengan Justin untuk membahagiakan anggota keluarga mereka. Bahwa saudara dan teman jadi semakin tahu bahwa mereka adalah keluarga yang saling mengasihi, itu adalah efek samping atau bonus, bukan tujuan utama. Sebagai orang yang gemar menulis, saya tahu persis tak mungkin tiga orang membuat satu buah buku dalam waktu kurang dari dua minggu jika mereka tak diikat oleh kedekatan yang fasenya melebihi kedekatan fisik.
Sekali lagi, tujuan mereka bertiga menulis buku ini adalah untuk membahagiakan Fanni di hari ulang tahunnya. Buku ini tidak dibuat untuk pencitraan, karya ini ditulis bukan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah keluarga harmonis. Namun, telusurilah baris per baris dan baliklah lembar demi lembar. Kita pasti bisa merasakan cinta tak bertepi yang hidup di hati mereka berempat. Hmmm... Bagaimana bisa tahu?
Ya bisalah,’kan “Cinta dan batuk tak bisa disembunyikan”, begitu kata pepatah.
6 Maret 2014,
13.59 WIB