Tidak Menyukai Orang Yang Tepat
Ternyata Manfaatnya Besar
Saya ngga suka Ani SBY dan saya membuat dua tulisan tentang dia.
Saya kurang suka dengan tulisan yang kedua karena cara menulisnya sarkastis. Saya ngga biasa menulis dengan gaya sinis menusuk dan baru tahu setelah tulisan selesai dibuat bahwa rasa marah bisa mengubah gaya menulis seseorang. Dalam waktu sekitar 3 hari setelah tulisan pertama diupload, tercatat ada sekitar 11 ribu orang yang buka tulisan itu di blog saya (buka ya, bukan baca, saya ngga tau setelah dibuka, tulisan itu dibaca atau ngga) dan tulisan kedua dibuka oleh lebih dari 20 ribu orang. Untuk ukuran penulis amatiran macam saya, tentu angka tersebut termasuk sangat banyak. Rasanya seneng banget tulisan yang saya buat dengan segenap jiwa dibuka banyak orang.
Kalau kita mencintai seseorang atau sesuatu, secara naluriah kita akan mengkritiknya karena kita ingin melihat dia menjadi lebih baik. Saya mah kagak cinta Ani, saya cinta Indonesia dan rasanya perih melihat negara yang kemerdekaannya ditebus dengan nyawa ratusan ribu orang ini, diabaikan begitu saja. Saya mengkritik Ani karena ingin melihat negara ini punya ibu negara yang memang layak disebut first lady, bukan first photographer atau apalah.
Saya membuat tulisan-tulisan itu bukan karena kurang kerjaan tapi karena merasa perlu meluapkan kejengkelan. Saya punya hak untuk meminta pemimpin negara ini bekerja dengan maksimal. Saya tahu dia ngga baca, tujuannya memang bukan dia. Tujuannya diri saya sendiri: Bahwa menulis membuat kekecewaan dan frustasi saya lepas walau tidak sepenuhnya.
Tulisan kedua saya share dan oleh beberapa teman dishare lagi. Saya sempat lihat sekilas komentar-komentarnya (di salah satu wall, yang likes ada lebih dari 1200). Ada yang positif dan ada yang nyinyir. Ada yang nanya,”Yang nulis ini emangnya udah bener ya?”, “Bisanya cuma nulis aja”,”Beraninya cuma ribut di social media”, dan lain-lain.
Tak ada satupun yang saya tanggapi. Kenapa ?
Lah, saya buat surat ke si Ani karena saya ngga suka dia bersikap reaktif terhadap para komentator. Saya minta dia ngecuekkin komentar orang-orang. Kalo saya baca komentar-komentar sinis tentang tulisan saya dan saya balas, apa bedanya saya sama Ani ??
Dari sini saya sadar bahwa yang punya pengaruh positif dalam hidup kita ternyata bukan hanya orang yang kita cintai. Orang yang kita tak suka, jika memang orang itu tepat untuk tidak disukai, pengaruhnya juga bisa positif.
Ani adalah orang yang reaktif dan berkuping tipis. Saya membuat tulisan, mengkritik kepribadian lebainya itu. Secara naluriah, saya ngga mau dong bersikap lebai juga kayak dia. Oleh karena itulah, saya bisa baca komentar-komentar pedas soal tulisan saya dan tak balik merespons satu kalimat pun.
Selain Ani, saya juga sangat tak suka dengan Farhat Abbas. Gaya dia meespons di Twitter sepertinya kembar siam dengan gaya Ani di Instagram. Tiap bulan selalu saja ada hari-hari yang saya isi dengan ngomel-ngomel tentang si pengacara bloon ini.Hasilnya ?
Pernah ada orang yang ngomong bohong soal saya. Sebenarnya saya mau memperpanjang perkara cuma akhirnya ngga jadi setelah ada monolog dalam diri,”Uedaannn...Lu mau ngurusin bohongnya orang itu ? Kayak Farhat aja lu, reseh. Biarin aja kali...”. Akhirnya saya berhasil mengerem diri, cuek dengan tingkah polah si pembohong itu dan mengerjakan hal-hal lain yang lebih penting atau lebih menyenangkan dibandingkan dengan mengurus satu pembohong.
Yah...Saya belum bisa cuek total, sih. Saya baru saja adu argumentasi dengan seseorang di depan orang banyak. Orang ini bicara bohong tentang saya. Saya bisa cuek kalo dia ngomong bohong di depan 1-2 orang (sudah pernah terjadi dan memang saya diam saja), namun bohong tentang saya di depan banyak orang yang terlibat dengan saya dalam sebuah kerja sama ??? Weittsss...Tentu aja gue bela diri. Kalo gue difitnah di depan banyak orang pas gue 75 tahun dan udah stroke, gue pasti diem aja. Ini gue masih muda (tsahhhh....) dan sehat, ya langsung aja saya bantah abis-abisan.
Bagaimanapun, kayaknya kemampuan saya dalam mengelola emosi berkembang secara signifikan setelah saya tidak menyukai si Ani dan Farhat. Sederhana aja, saya ngga mau diri saya menjadi seperti orang-orang yang saya tidak suka. Kalau saya menjadi seperti mereka, saya pasti tak akan bisa respek terhadap diri sendiri.
Kalau kita ngga respek dengan diri sendiri, bagaimana orang lain bisa respek dengan kita ?!
.
Di kelas, nungguin Merryll latihan basket
24 Januari 2014
18.21 WIB
NB:Buat yang akan menasehati saya,”Jangan benci orang, kasihilah musuhmu...”.
Saya penganut “sebel sama orang ngga apa-apa”. Kalo orangnya menyebalkan, ngga papa kok kita marah dengan mereka. Di Alkitab ada ayatnya,”In your anger, do not sin”. Artinya, kita boleh marah. Jangan pernah lupa bahwa Yesus pernah memaki orang Farisi,”Kamu ular beludak!!!” Dia juga pernah nebalikkin meja sampe situasi semrawut ngga keru-keruan. Masih mau menasejati saya pake ayat-ayat alkitab ? Silahken....We agree to disagree,Cinnn.....Peace man.... Besok gue gajian, hahaha.
Saya kurang suka dengan tulisan yang kedua karena cara menulisnya sarkastis. Saya ngga biasa menulis dengan gaya sinis menusuk dan baru tahu setelah tulisan selesai dibuat bahwa rasa marah bisa mengubah gaya menulis seseorang. Dalam waktu sekitar 3 hari setelah tulisan pertama diupload, tercatat ada sekitar 11 ribu orang yang buka tulisan itu di blog saya (buka ya, bukan baca, saya ngga tau setelah dibuka, tulisan itu dibaca atau ngga) dan tulisan kedua dibuka oleh lebih dari 20 ribu orang. Untuk ukuran penulis amatiran macam saya, tentu angka tersebut termasuk sangat banyak. Rasanya seneng banget tulisan yang saya buat dengan segenap jiwa dibuka banyak orang.
Kalau kita mencintai seseorang atau sesuatu, secara naluriah kita akan mengkritiknya karena kita ingin melihat dia menjadi lebih baik. Saya mah kagak cinta Ani, saya cinta Indonesia dan rasanya perih melihat negara yang kemerdekaannya ditebus dengan nyawa ratusan ribu orang ini, diabaikan begitu saja. Saya mengkritik Ani karena ingin melihat negara ini punya ibu negara yang memang layak disebut first lady, bukan first photographer atau apalah.
Saya membuat tulisan-tulisan itu bukan karena kurang kerjaan tapi karena merasa perlu meluapkan kejengkelan. Saya punya hak untuk meminta pemimpin negara ini bekerja dengan maksimal. Saya tahu dia ngga baca, tujuannya memang bukan dia. Tujuannya diri saya sendiri: Bahwa menulis membuat kekecewaan dan frustasi saya lepas walau tidak sepenuhnya.
Tulisan kedua saya share dan oleh beberapa teman dishare lagi. Saya sempat lihat sekilas komentar-komentarnya (di salah satu wall, yang likes ada lebih dari 1200). Ada yang positif dan ada yang nyinyir. Ada yang nanya,”Yang nulis ini emangnya udah bener ya?”, “Bisanya cuma nulis aja”,”Beraninya cuma ribut di social media”, dan lain-lain.
Tak ada satupun yang saya tanggapi. Kenapa ?
Lah, saya buat surat ke si Ani karena saya ngga suka dia bersikap reaktif terhadap para komentator. Saya minta dia ngecuekkin komentar orang-orang. Kalo saya baca komentar-komentar sinis tentang tulisan saya dan saya balas, apa bedanya saya sama Ani ??
Dari sini saya sadar bahwa yang punya pengaruh positif dalam hidup kita ternyata bukan hanya orang yang kita cintai. Orang yang kita tak suka, jika memang orang itu tepat untuk tidak disukai, pengaruhnya juga bisa positif.
Ani adalah orang yang reaktif dan berkuping tipis. Saya membuat tulisan, mengkritik kepribadian lebainya itu. Secara naluriah, saya ngga mau dong bersikap lebai juga kayak dia. Oleh karena itulah, saya bisa baca komentar-komentar pedas soal tulisan saya dan tak balik merespons satu kalimat pun.
Selain Ani, saya juga sangat tak suka dengan Farhat Abbas. Gaya dia meespons di Twitter sepertinya kembar siam dengan gaya Ani di Instagram. Tiap bulan selalu saja ada hari-hari yang saya isi dengan ngomel-ngomel tentang si pengacara bloon ini.Hasilnya ?
Pernah ada orang yang ngomong bohong soal saya. Sebenarnya saya mau memperpanjang perkara cuma akhirnya ngga jadi setelah ada monolog dalam diri,”Uedaannn...Lu mau ngurusin bohongnya orang itu ? Kayak Farhat aja lu, reseh. Biarin aja kali...”. Akhirnya saya berhasil mengerem diri, cuek dengan tingkah polah si pembohong itu dan mengerjakan hal-hal lain yang lebih penting atau lebih menyenangkan dibandingkan dengan mengurus satu pembohong.
Yah...Saya belum bisa cuek total, sih. Saya baru saja adu argumentasi dengan seseorang di depan orang banyak. Orang ini bicara bohong tentang saya. Saya bisa cuek kalo dia ngomong bohong di depan 1-2 orang (sudah pernah terjadi dan memang saya diam saja), namun bohong tentang saya di depan banyak orang yang terlibat dengan saya dalam sebuah kerja sama ??? Weittsss...Tentu aja gue bela diri. Kalo gue difitnah di depan banyak orang pas gue 75 tahun dan udah stroke, gue pasti diem aja. Ini gue masih muda (tsahhhh....) dan sehat, ya langsung aja saya bantah abis-abisan.
Bagaimanapun, kayaknya kemampuan saya dalam mengelola emosi berkembang secara signifikan setelah saya tidak menyukai si Ani dan Farhat. Sederhana aja, saya ngga mau diri saya menjadi seperti orang-orang yang saya tidak suka. Kalau saya menjadi seperti mereka, saya pasti tak akan bisa respek terhadap diri sendiri.
Kalau kita ngga respek dengan diri sendiri, bagaimana orang lain bisa respek dengan kita ?!
.
Di kelas, nungguin Merryll latihan basket
24 Januari 2014
18.21 WIB
NB:Buat yang akan menasehati saya,”Jangan benci orang, kasihilah musuhmu...”.
Saya penganut “sebel sama orang ngga apa-apa”. Kalo orangnya menyebalkan, ngga papa kok kita marah dengan mereka. Di Alkitab ada ayatnya,”In your anger, do not sin”. Artinya, kita boleh marah. Jangan pernah lupa bahwa Yesus pernah memaki orang Farisi,”Kamu ular beludak!!!” Dia juga pernah nebalikkin meja sampe situasi semrawut ngga keru-keruan. Masih mau menasejati saya pake ayat-ayat alkitab ? Silahken....We agree to disagree,Cinnn.....Peace man.... Besok gue gajian, hahaha.