Tiga Pengalaman “Dijegal” Penulis Lain
Saya ingin menulis tentang si Bulan.Saya menghubungi Matahari karena dia punya nomor kontak si Bulan namun saya dipingpong terus dan akhirnya tidak diberi. Lalu saya diberitahu seseorang bahwa si Matahari sedang menulis buku tentang si Bulan. Ini kejadian pertama. Kejadian kedua sama persis, hanya orang-orangnya yang beda.
Sekarang kejadian ketiga. Saya menulis buku tentang si Ayam dan dikasih tahu si Kucing bahwa si Ayam ngga mau lagi ketemu saya. Setelah saya cek, Ayam cerita bahwa Kucing mau menulis buku tentang dia dan dia minta agar antri, setelah saya selesai membuat bukunya, barulah si Kucing gantian membuat bukunya.
***
Asisten Ahok, Sakti, ngomong begini waktu tahu saya ingin membuat buku bosnya,”Mbak, bukunya Bapak sekarang lagi dicetak Gramedia, lho. Udah ada 4 kalo ngga salah”. Saya bilang,”Ngga papa. Bukunya pasti beda, ‘kan yang nulis orangnya beda”.
Isi dan pembagian bab semua buku Ahok (sampai saat ini ada sekitar 6) berbeda satu dari yang lainnya. Biografi saya tentang Munir kalau tidak salah adalah buku tentang Munir yang ke-6. Isi semua buku berbeda.
“No one ever reads the same book”,kata pepatah. Tak ada orang yang pernah membaca buku yang sama. Buku yang dipegang bisa berjudul sama namun saat membaca, tiap orang memproses isinya dengan cara berbeda. Ambillah Cinderella sebagai contoh. Anak pertama membacanya dan tertarik dengan tikus-tikus yang menjadi sahabat Cinderella. Anak kedua terpesona dengan kebaikan hati Cinderella. Anak ketiga takjub mlihat betapa jahatnya si ibu tiri.
“No one ever writes the same book”. Tak ada penulis yang menulis buku yang sama tentang orang yang sama. Orang atau obyek tulisan bisa sama namun cara penulis memproses orang itu beserta kehidupannya pastilah berbeda. Kenapa ? Karena tak ada penulis yang sama. Tiap penulis dibesarkan dengan pola asuh yang berlainan, membaca buku yang beda, menonton film yang beda, punya kepribadian yang berbeda, tertarik pada hal yang berbeda, punya selera dan nilai-nilai yang juga berbeda.
Dan tepat, ‘perbedaan’ itulah inti dari solusi masalah (saya menganggap menjegal penulis adalah sebuah masalah). Karena berbeda itulah maka penulis tak boleh takut jika penulis lain tertarik untuk mengulas obyek yang sama. Buku yang dihasillkan tak akan bisa sama.
Saya tak khawatir orang lain menulis buku tentang Ahok. Saya punya selusinan transkrip wawancara Ahok dari You Tube. Semuanya saya pajang di website danbeberapa FB groups. Kalau mau pakai, silahkan. Bagaimana kalau ternyata buku tentang Ahok yang ditulis penulis lain lebih bagus dan lebih laku ?
Di sini mungkin kita tiba pada akar keengganan ke-3 penulis di atas membantu saya karena ternyata mereka berminat menulis tentang orang yang sama.
Menulis, pada akhirnya, dan juga pada mulanya, bukanlah tentang royalty yang menumpuk, liputan media, atau pujian pembaca. Kalau itu yang dikejar seorang penulis, otomatis ia akan melihat penulis lain sebagai kompetitor.
Pada akhirnya, dan juga pada awalnya, orang menulis karena ada hal penting untuk dibagikan. “Tulislah sesuatu yang layak untuk dibaca atau kerjakanlah sesuatu yang layak untuk ditulis”, begitu kata Benjamin Franklin.
Hendaknya seorang penulis membuat tulisan karena percaya bahwa kata punya nyawa.
Seharusnya penulis membuat karya karena percaya bahwa ia bisa mengungkapkan kebohongan, mempertahankan apa yang baik, memanjakan imajinasi, mencerdaskan, mengembangkan apa yang sudah bagus, menghentikan kenyataan yang buruk, membuat kenyataan baru…Macam-macamlah.
Nama terkenal dan uang hendaknyalah menjadi efek samping penerbitan sebuah buku, bukan tujuan.
Terkesan idealis ? Terlalu mengawang-awang, begitu ?
Hmm..Boleh dong idealis. Hidup toh bukan hanya masalah uang dan popularitas.
Lebih dari itu: Hidup memang benar-benar bukan tentang fulus dan nama terkenal.
Begitu bukan, sih ???
17 Mei 2015
20.21 WIB
Sekarang kejadian ketiga. Saya menulis buku tentang si Ayam dan dikasih tahu si Kucing bahwa si Ayam ngga mau lagi ketemu saya. Setelah saya cek, Ayam cerita bahwa Kucing mau menulis buku tentang dia dan dia minta agar antri, setelah saya selesai membuat bukunya, barulah si Kucing gantian membuat bukunya.
***
Asisten Ahok, Sakti, ngomong begini waktu tahu saya ingin membuat buku bosnya,”Mbak, bukunya Bapak sekarang lagi dicetak Gramedia, lho. Udah ada 4 kalo ngga salah”. Saya bilang,”Ngga papa. Bukunya pasti beda, ‘kan yang nulis orangnya beda”.
Isi dan pembagian bab semua buku Ahok (sampai saat ini ada sekitar 6) berbeda satu dari yang lainnya. Biografi saya tentang Munir kalau tidak salah adalah buku tentang Munir yang ke-6. Isi semua buku berbeda.
“No one ever reads the same book”,kata pepatah. Tak ada orang yang pernah membaca buku yang sama. Buku yang dipegang bisa berjudul sama namun saat membaca, tiap orang memproses isinya dengan cara berbeda. Ambillah Cinderella sebagai contoh. Anak pertama membacanya dan tertarik dengan tikus-tikus yang menjadi sahabat Cinderella. Anak kedua terpesona dengan kebaikan hati Cinderella. Anak ketiga takjub mlihat betapa jahatnya si ibu tiri.
“No one ever writes the same book”. Tak ada penulis yang menulis buku yang sama tentang orang yang sama. Orang atau obyek tulisan bisa sama namun cara penulis memproses orang itu beserta kehidupannya pastilah berbeda. Kenapa ? Karena tak ada penulis yang sama. Tiap penulis dibesarkan dengan pola asuh yang berlainan, membaca buku yang beda, menonton film yang beda, punya kepribadian yang berbeda, tertarik pada hal yang berbeda, punya selera dan nilai-nilai yang juga berbeda.
Dan tepat, ‘perbedaan’ itulah inti dari solusi masalah (saya menganggap menjegal penulis adalah sebuah masalah). Karena berbeda itulah maka penulis tak boleh takut jika penulis lain tertarik untuk mengulas obyek yang sama. Buku yang dihasillkan tak akan bisa sama.
Saya tak khawatir orang lain menulis buku tentang Ahok. Saya punya selusinan transkrip wawancara Ahok dari You Tube. Semuanya saya pajang di website danbeberapa FB groups. Kalau mau pakai, silahkan. Bagaimana kalau ternyata buku tentang Ahok yang ditulis penulis lain lebih bagus dan lebih laku ?
Di sini mungkin kita tiba pada akar keengganan ke-3 penulis di atas membantu saya karena ternyata mereka berminat menulis tentang orang yang sama.
Menulis, pada akhirnya, dan juga pada mulanya, bukanlah tentang royalty yang menumpuk, liputan media, atau pujian pembaca. Kalau itu yang dikejar seorang penulis, otomatis ia akan melihat penulis lain sebagai kompetitor.
Pada akhirnya, dan juga pada awalnya, orang menulis karena ada hal penting untuk dibagikan. “Tulislah sesuatu yang layak untuk dibaca atau kerjakanlah sesuatu yang layak untuk ditulis”, begitu kata Benjamin Franklin.
Hendaknya seorang penulis membuat tulisan karena percaya bahwa kata punya nyawa.
Seharusnya penulis membuat karya karena percaya bahwa ia bisa mengungkapkan kebohongan, mempertahankan apa yang baik, memanjakan imajinasi, mencerdaskan, mengembangkan apa yang sudah bagus, menghentikan kenyataan yang buruk, membuat kenyataan baru…Macam-macamlah.
Nama terkenal dan uang hendaknyalah menjadi efek samping penerbitan sebuah buku, bukan tujuan.
Terkesan idealis ? Terlalu mengawang-awang, begitu ?
Hmm..Boleh dong idealis. Hidup toh bukan hanya masalah uang dan popularitas.
Lebih dari itu: Hidup memang benar-benar bukan tentang fulus dan nama terkenal.
Begitu bukan, sih ???
17 Mei 2015
20.21 WIB