Tur Belitung 4 Hari 3 Malam
Akhirnya, setelah 6 kali nonton Laskar Pelangi termasuk drama musikalnya di Teater Jakarta, kesampaian juga keinginan saya untuk berlibur di Belitung. Berikut adalah catatannya termasuk nomor kontak yang semoga berguna untuk pembaca.
2 Juli, 2012. Hari I.
Mi Atep-Pantai Bukit Batu-Manggar-Gantong
Dari Jakarta, saya pergi ber-13 termasuk 1 bayi. Kami sampai di bandara HAS Hananjoedin, sekitar satu jam setelah keberangkatan. Kami dijemput Pak Ade serta Pak Edi untuk menuju hotel yang terletak di seberang Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung Timur.
Jalanan mulus sampai ke pedalaman dan tak ada macet. Mobil termewah dengan nomor plat Belitung yang sempat saya lihat adalah Innova. Tiap kali ada mobil yang lebih mahal dari itu, pasti platnya B. Tak ada convenient stores semacam Indo Maret. Beberapa kantor pemerintah terletak di ruas jalan yang sama. Mungkin memang sengaja dibangun seperti itu supaya untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, penduduk cukup muter-muter di satu wilayah. Di sana
Di sana tidak ada angkutan umum seperti angkot atau bis kota. “Orang-orang biasanya naik motor”, kata Pak Edi. “Bisa sih naik taksi tapi ngga ada argo dan juga bukan plat kuning. Kalo butuh telpon aja, misalnya minta jemput dari bandara. Per orang biasanya 30,000. Kalo lebih dari 4 orang ya bayarnya tetap 120,000. Tarif 30,000 per orang sudah ngga berlaku lagi”, lanjutnya.
Setibanya di hotel, kami beres-beres sebentar dan langsung dibawa ke Mi Atep yang menyajikan mie khas Belitung. Si pemilik, yaitu Nyonya Atep, meracik mie kuning dengan kuah udang, bakwan udang, irisan timun, potongan kentang rebus, udang rebus, emping melinjo serta taoge. Restoran ini sudah berdiri sekitar 40 tahun dan harg makananannya amat terjangkau yaitu per porsi sekitar 8,000-10,000 rupiah. Tak heran jika banyak tamu yang bawa makanan ini pulang ke Jakarta dan pemesan biasa order sampai belasan porsi bahkan puluhan.
Di sebelah Mi Atep ada sebuah toko yang menjual kue-kue termasuk dodol yang rasanya enak. Tak jauh dari situ, berdirilah Monumen Batu Satam raksasa. Batu ini hanyalah replika. Aslinya, batu ini adalah hasil tabrakan meteor dengan bumi dan serpihannya menyebar dari Indonesia hingga Arab. Diperkirakan, batu satam punya kekuatan magis dan diyakini hanya bisa diperoleh secara tak sengaja saat penambangan timah sedang berlangsung. Batu ini hanya bisa ditemukan di lima wilayah di seluruh dunia jadi tak heran kalau harganya mahal.
Nah, di depan Monumen inilah mobil kami melintas dari Mi Atep menuju Pantai Bukit Batu. Dari jalan masuk menuju tepi pantai, pemandangannya sangat biasa. Ehh...Begitu tiba di pinggir pantai, panoramanya mendadak menjadi sangat keren. Batunya besar-besar dan airnya jernih.Banyak batu yang tingginya berlipat tinggi manusia dewasa. Kabarnya, tanah di Bukit Batu ini adalah milik orang tua Ahok, mantan Bupati Belitung Timur yang akan jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Dari Pantai Bukit Batu kami ramai-ramai menuju Manggar yang dikenal sebagai Kota 1000 Warung Kopi karena jumlah warung kopinya lebih dari seratus. Bagi yang merasa familiar dengan nama “Manggar” namun diserang penyakit “lupa-lupa ingat”, izinkan saya untuk mengingatka:Ini adalah tempat romantis bagi seorang Ikal karena Laskar Pelangi mengisahkan bahwa di sinilah ia beli kapur dan bertemu A Ling.
Nah, di Manggar ini ada kedai bakso yang menjual ‘Bakso Pentol'. Banyak orang membawa ratusan butir bakso ini ke Jakarta. Warnanya putih, kenyal dan sama sekali tak berbau amis. Harganya 10,000 Rupiah per 7 butir. Saat itu kami makan ber12 dan habis 159,000 Rupiah. Dua ponakan dan anak saya yang ngga suka ikan, hari itu lahap menyantap bakso pentol.
Dari Manggar kami menuju Gantong, tempat replika Sekolah Muhammadyah dibangun. Di sekolah yang hampir roboh inilah Laskar Pelangi memulai kisahnya. Untuk tiba di sana, kami melewati Gunung Tajam, tempat orang biasa minta wangsit. Saat kami sampai di Gantong, hari sudah gelap yaitu jam 18 lebih. Awalnya terasa aneh karena waktu yang wajar untuk mengunjungi “bangunan” tersebut adalah pagi atau siang hari. Namun, akhirnya kami semua malah senang karena cahaya bulan terang dan penuh. Bintang-bintang terlihat jelas seperti di Buku IPA jaman SD. Acara foto-foto pun jadi sangat seru.
Dari Gantong kami balik ke hotel dan mampir di restoran sea food di Tanjung Pandan. Sebenarnya oleh seorang kawan yang tinggal di situ kami ditawari makan di sebuah restoran yang menyediakan labi-labi, penyu muda serta trenggiling. Menu ajaib ini ada di daftar yang hanya diberikan pelayan kepada orang-orang tertentu. Sikap sembunyi-sembunyi itu membuat kami yakin bahwa hewan-hewan tersebut pasti hewan yang mestinya dilestarikan dan bukan dimakan. Pilihan untuk makan di situ lantas kami coret dan kami pergi ke sebuah resto tak jauh dari hotel.
Tiba di restoran, saya kecapekan dan muntah berkali-kali. Oleh Pak Ade saya disarankan minum Po Chai Pills yang lalu dibeli oleh ipar saya di toko obat Cina. Bukan sulap bukan sihir, kurang dari satu jam kondisi saya sangat membaik dan bahkan hampir normal sepenuhnya. Obat ini memang dikenal mujarab bagi mereka yang bermasalah dengan perut dan hendak muntah.
3 Juli 2012. Hari II.
Tanjung Kelayang-Pulau Pasir-Pulau Burung-Pulau Lengkuas
Dari hotel kami menuju Pantai Tanjung Kelayang, tempat kami naik kapal. Pastikan bawa makanan dari darat karena di pulau sama sekali tak ada tukang jualan.. Jangan lupa, pakai juga baju berenang dari rumah karena tempat ganti baju di pulau sangat kotor.
Tujuan pertama adalah Pulau Pasir yang berupa gundukan pasir putih. Pulau ini hanya ada beberapa jam tiap hari. Air laut saat pasang akan ‘menghapus’nya dan ketika air surut, gundukan pasir itu akan kembali muncul. Di situ banyak orang foto-foto karena pemandangannya mengagumkan banget. Dari situ kami ke Pulau Burung. Nah, pulau ini punya 2 sisi, yang 1 hanya terlihat kalau kita “usaha dikit”. Kalau loncat dari kapal dan langsung berenang atau main-main, bisa jadi kita ngga kepikiran bahwa ada sisi lain yang juga bisa kita jadikan tempat bermain. Dikabarkan, pulau ini milik pribadi seorang pengusaha Indonesia yang bermukim di Australia. Di tengah pulau ini memang ada sebuah rumah kayu yang katanya sih adalah tempat beristirahat si pemiliki tiap kali ia ke Belitung. Katanya, lho...
Pemandangan di Pulau Burung ini gila banget,deh. Batu granitnya lebih tinggi dari rumah di kompleks mahal. Pasirnya putih....Airnya biru....Rasanya pas disebut miniatur surga. Kata ponakan saya, Tasya, bagusan pantai di Bintan tapi saya belum pernah ke sana jadi ngga tau. Bagaimanapun, Tasya bilang pantai di Bintan berombak jadi bahaya buat anak kecil sementara di Belitung pantainya tenang.
Pastikan bawa kotak P3K selama perjalanan karena karangnya tajam-tajam. Tangan saya sempat tergores tiram yang menempel di sisi batu granit saat terpleset. Selain membawa Po Chai Pills, lotion anti nyamuk juga dimasukkan ke tas. Kami disaranan menggunakan itu saat ke pulau karena ada binatang kecil, Agas, yang rajin menggigit. Uniknya, mereka biasa menggigit para pendatang. “Kalo orang lokal ngga pernah tuh digigit”, kata penjaga warung di dekat pantai.
Masalah makan otomatis makan makanan yang dibawa dari darat. Bisa dimakan dekat rumah kayu, dengan beralaskan tikar yang dipinjam seharga 20,0000 Rupiah. Setelah makan kami pergi ke Pulau Lengkuas. Di tengah jalan berhenti sebentar untuk snorkeling. Sewa alatnya sekitar 30-40 ribu tanpa fin (kaki katak). Begitu toggle dipasang dan kepala kita masukkan ke dalam air, langsung terlihat ikan-ikan kecil yang amat bagus warnanya. Dari sini kami lalu menuju Pulau Lengkuas. Selain berenang, hal lain yang bisa dilakukan di sini adalah naik ke lantai teratas mercu suar yang terdiri dari 18 lantai. Kebanyakan gagal karena memang tinggi banget,”Ada yang sudah sampai lantai 13 lalu turun lagi”, kata seseorang.
Malamnya, jam 22an, sementara keluarga saya di hotel, saya jalan kaki menyebrang ke Pantai Tanjung Pendam di seberang hotel. Ternyata, bukan hanya pantai tapi ada juga cafe, restoran, warung, toko souvenir. Saat itu ada panggung kecil yang diisi pertunjukan dangdut. Saat saya hendak ke pinggir pantai, seorang laki-laki memarkir motornya di dekat saya dan terus menatapi saya. Mudah ditebak, saya langsung kabur. Ternyata, kawasan ini dulunya tempat esek-esek. Ooo...Pantes...Karena penaaran, hari terakhir saat pagi saya balik lagi, juga sendirian. Sata tak bisa sampai ke tepi pantai karena dari jalan setapak menuju tepi pantai ada area berlumpur.
4 Juli 2012. Hari III.
Warung Kopi Kong Djie-Pantai Tanjung Binga-Pantai Tanjung Tinggi (tempat syuting Laskar Pelangi)
Ini hari terkahir karena besok kami tinggal siap-siap pulang. Jam 8an kami ke Kong Djie, warung kopi paling top di Tanjung Pandan. Warkop ini berdiri tahun 1945, bentuknya sangat sederhana namun orang dari berbagai kalangan kerap nongkrong di situ, termasuk pejabat. Di sebelah meja kami ada tumpukan papan catur. Pemiliknya memang gila catur dan pengunjung kerap main catur sambil ngopi. Harga kopi 4,000 dan 6,000 Rupiah. Semua kue basah dipatok 1,000 per buah.Warkop yang biasanya dikunjungi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah rata-rata menjual kopi seharga 3,000 per gelas.
Dari sini, kami menuju menuju Restoran Bukit Berahu di tepi Pantai Tanjung Binga, 18 km dari Tanjung Pandan. Seperti pantai di Belitung pada umumnya, pemandangan amat indah, pentainya bersih dan berpasir putih. Airnya biru dan langit bewarna serupa. Cantik banget. Dari resto menuju tepi pantai ada sekitar 100 anak tangga yang harus dituruni jadi untuk yang punya masalah kesehatan, lebih baik cari jalan lain, jangan lewat resto. Di tempat ini kami hanya minum, kabarnya sih di bagian bawah ada penginapan yang keren. Saya kurang tahu karena saya tidak turun.
Kami lalu mengarah ke Pantai Tanjung Tinggi, sekitar 31 kilometer dari Tanjung Pandan. Ini adalah tempat syuting Laskar Pelangi. Pemandangannya sangat indah namun sayang ada 2 batu granit raksasa yang dicoret-coret dan wilayah di antara dua batu besar cukup banyak terisi sampah.
Dari sini kami makan di Resto Lambai yang menurut pelayannya sudah berdiri sekitar 20 tahun. Makanannya lezat terutama ikannya, mereka juga menjual ikan yang hanya ada di Belitung. Setelah kenyang, kami ke sisi lain Pantai Tanjung Tinggi, yaitu sisi yang bertuliskan “Tempat syuting Sang Pemimpi”. Di sela batu-batu besar, kaki Tasya tergores saat terpleset dan telapak kaki suami saya sobek kena karang. Jadi, sekali lagi, jangan lupa kotak P 3 K,ya.
Di pinggir pantai disewakan pelampung plastik serta bebek plastik untuk anak kecil main air. Tempat ini lebih enak dipakai berenang dibanding pantai yang bertuliskan “Tempat Syuting Laskar Pelangi” namun untuk foto-foto jauh lebih bagus tempat syuting Laskar Pelangi. Bagaimanapun, pemandangannya tetap indah,kok. Waktu siang menjelang sore, sinar matahari yang mengarah ke air pantai membuat permukaan pantai berkilau.
Pantai-pantai di Belitung sangat indah dan belum tersentuh jet ski, banana boat atau mainan air lainnya. Turis di sana yang saya lihat hanya turis domestik. Kondisi pulau sederhana walau rakyat hidupnya tak susah. Masyarakat kalau punya uang cenderung melakukan investasi yang likuid, cepat dijual, dan ini membuat mereka tidak jor-joran dalam hidup. Tempat makan terkenal di Belitung tak satu pun yang bangunannya mewah atau keren.
Nah, ngomong-ngomong soal Pak Ade. Di hari ketiga inilah saya baru tahu bahwa beliau bukan guide. Beliau supplier bahan bangunan yang berinisiatif menemani kami karena teman dari ipar saya kenal dengan dirinya berikut istri. Orangnya sangat cekatan, ramah dan melakukan sesuatu “beyond the call of duty”. Semua orang di rombongan saya belum pernah sekalipun menerima servis sebaik yang diberikan Pak Ade kepada kami. Supir pun ramah, ngga ngomel-ngomel kalau lama menunggu dan nyetirnya bagus. Kalau mau ke Belitung silahkan hubungi mereka, Pak Ade di no 08176003521 dan 082185720062. Nomor supirnya, Pak Edi, adalah 0819-789-8295 dan 0813-733-88293.
Meicky Shoreamanis Panggabean
Lippo-Cikarang,13 Juli 2012
12.03 WIB
2 Juli, 2012. Hari I.
Mi Atep-Pantai Bukit Batu-Manggar-Gantong
Dari Jakarta, saya pergi ber-13 termasuk 1 bayi. Kami sampai di bandara HAS Hananjoedin, sekitar satu jam setelah keberangkatan. Kami dijemput Pak Ade serta Pak Edi untuk menuju hotel yang terletak di seberang Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung Timur.
Jalanan mulus sampai ke pedalaman dan tak ada macet. Mobil termewah dengan nomor plat Belitung yang sempat saya lihat adalah Innova. Tiap kali ada mobil yang lebih mahal dari itu, pasti platnya B. Tak ada convenient stores semacam Indo Maret. Beberapa kantor pemerintah terletak di ruas jalan yang sama. Mungkin memang sengaja dibangun seperti itu supaya untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan, penduduk cukup muter-muter di satu wilayah. Di sana
Di sana tidak ada angkutan umum seperti angkot atau bis kota. “Orang-orang biasanya naik motor”, kata Pak Edi. “Bisa sih naik taksi tapi ngga ada argo dan juga bukan plat kuning. Kalo butuh telpon aja, misalnya minta jemput dari bandara. Per orang biasanya 30,000. Kalo lebih dari 4 orang ya bayarnya tetap 120,000. Tarif 30,000 per orang sudah ngga berlaku lagi”, lanjutnya.
Setibanya di hotel, kami beres-beres sebentar dan langsung dibawa ke Mi Atep yang menyajikan mie khas Belitung. Si pemilik, yaitu Nyonya Atep, meracik mie kuning dengan kuah udang, bakwan udang, irisan timun, potongan kentang rebus, udang rebus, emping melinjo serta taoge. Restoran ini sudah berdiri sekitar 40 tahun dan harg makananannya amat terjangkau yaitu per porsi sekitar 8,000-10,000 rupiah. Tak heran jika banyak tamu yang bawa makanan ini pulang ke Jakarta dan pemesan biasa order sampai belasan porsi bahkan puluhan.
Di sebelah Mi Atep ada sebuah toko yang menjual kue-kue termasuk dodol yang rasanya enak. Tak jauh dari situ, berdirilah Monumen Batu Satam raksasa. Batu ini hanyalah replika. Aslinya, batu ini adalah hasil tabrakan meteor dengan bumi dan serpihannya menyebar dari Indonesia hingga Arab. Diperkirakan, batu satam punya kekuatan magis dan diyakini hanya bisa diperoleh secara tak sengaja saat penambangan timah sedang berlangsung. Batu ini hanya bisa ditemukan di lima wilayah di seluruh dunia jadi tak heran kalau harganya mahal.
Nah, di depan Monumen inilah mobil kami melintas dari Mi Atep menuju Pantai Bukit Batu. Dari jalan masuk menuju tepi pantai, pemandangannya sangat biasa. Ehh...Begitu tiba di pinggir pantai, panoramanya mendadak menjadi sangat keren. Batunya besar-besar dan airnya jernih.Banyak batu yang tingginya berlipat tinggi manusia dewasa. Kabarnya, tanah di Bukit Batu ini adalah milik orang tua Ahok, mantan Bupati Belitung Timur yang akan jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Dari Pantai Bukit Batu kami ramai-ramai menuju Manggar yang dikenal sebagai Kota 1000 Warung Kopi karena jumlah warung kopinya lebih dari seratus. Bagi yang merasa familiar dengan nama “Manggar” namun diserang penyakit “lupa-lupa ingat”, izinkan saya untuk mengingatka:Ini adalah tempat romantis bagi seorang Ikal karena Laskar Pelangi mengisahkan bahwa di sinilah ia beli kapur dan bertemu A Ling.
Nah, di Manggar ini ada kedai bakso yang menjual ‘Bakso Pentol'. Banyak orang membawa ratusan butir bakso ini ke Jakarta. Warnanya putih, kenyal dan sama sekali tak berbau amis. Harganya 10,000 Rupiah per 7 butir. Saat itu kami makan ber12 dan habis 159,000 Rupiah. Dua ponakan dan anak saya yang ngga suka ikan, hari itu lahap menyantap bakso pentol.
Dari Manggar kami menuju Gantong, tempat replika Sekolah Muhammadyah dibangun. Di sekolah yang hampir roboh inilah Laskar Pelangi memulai kisahnya. Untuk tiba di sana, kami melewati Gunung Tajam, tempat orang biasa minta wangsit. Saat kami sampai di Gantong, hari sudah gelap yaitu jam 18 lebih. Awalnya terasa aneh karena waktu yang wajar untuk mengunjungi “bangunan” tersebut adalah pagi atau siang hari. Namun, akhirnya kami semua malah senang karena cahaya bulan terang dan penuh. Bintang-bintang terlihat jelas seperti di Buku IPA jaman SD. Acara foto-foto pun jadi sangat seru.
Dari Gantong kami balik ke hotel dan mampir di restoran sea food di Tanjung Pandan. Sebenarnya oleh seorang kawan yang tinggal di situ kami ditawari makan di sebuah restoran yang menyediakan labi-labi, penyu muda serta trenggiling. Menu ajaib ini ada di daftar yang hanya diberikan pelayan kepada orang-orang tertentu. Sikap sembunyi-sembunyi itu membuat kami yakin bahwa hewan-hewan tersebut pasti hewan yang mestinya dilestarikan dan bukan dimakan. Pilihan untuk makan di situ lantas kami coret dan kami pergi ke sebuah resto tak jauh dari hotel.
Tiba di restoran, saya kecapekan dan muntah berkali-kali. Oleh Pak Ade saya disarankan minum Po Chai Pills yang lalu dibeli oleh ipar saya di toko obat Cina. Bukan sulap bukan sihir, kurang dari satu jam kondisi saya sangat membaik dan bahkan hampir normal sepenuhnya. Obat ini memang dikenal mujarab bagi mereka yang bermasalah dengan perut dan hendak muntah.
3 Juli 2012. Hari II.
Tanjung Kelayang-Pulau Pasir-Pulau Burung-Pulau Lengkuas
Dari hotel kami menuju Pantai Tanjung Kelayang, tempat kami naik kapal. Pastikan bawa makanan dari darat karena di pulau sama sekali tak ada tukang jualan.. Jangan lupa, pakai juga baju berenang dari rumah karena tempat ganti baju di pulau sangat kotor.
Tujuan pertama adalah Pulau Pasir yang berupa gundukan pasir putih. Pulau ini hanya ada beberapa jam tiap hari. Air laut saat pasang akan ‘menghapus’nya dan ketika air surut, gundukan pasir itu akan kembali muncul. Di situ banyak orang foto-foto karena pemandangannya mengagumkan banget. Dari situ kami ke Pulau Burung. Nah, pulau ini punya 2 sisi, yang 1 hanya terlihat kalau kita “usaha dikit”. Kalau loncat dari kapal dan langsung berenang atau main-main, bisa jadi kita ngga kepikiran bahwa ada sisi lain yang juga bisa kita jadikan tempat bermain. Dikabarkan, pulau ini milik pribadi seorang pengusaha Indonesia yang bermukim di Australia. Di tengah pulau ini memang ada sebuah rumah kayu yang katanya sih adalah tempat beristirahat si pemiliki tiap kali ia ke Belitung. Katanya, lho...
Pemandangan di Pulau Burung ini gila banget,deh. Batu granitnya lebih tinggi dari rumah di kompleks mahal. Pasirnya putih....Airnya biru....Rasanya pas disebut miniatur surga. Kata ponakan saya, Tasya, bagusan pantai di Bintan tapi saya belum pernah ke sana jadi ngga tau. Bagaimanapun, Tasya bilang pantai di Bintan berombak jadi bahaya buat anak kecil sementara di Belitung pantainya tenang.
Pastikan bawa kotak P3K selama perjalanan karena karangnya tajam-tajam. Tangan saya sempat tergores tiram yang menempel di sisi batu granit saat terpleset. Selain membawa Po Chai Pills, lotion anti nyamuk juga dimasukkan ke tas. Kami disaranan menggunakan itu saat ke pulau karena ada binatang kecil, Agas, yang rajin menggigit. Uniknya, mereka biasa menggigit para pendatang. “Kalo orang lokal ngga pernah tuh digigit”, kata penjaga warung di dekat pantai.
Masalah makan otomatis makan makanan yang dibawa dari darat. Bisa dimakan dekat rumah kayu, dengan beralaskan tikar yang dipinjam seharga 20,0000 Rupiah. Setelah makan kami pergi ke Pulau Lengkuas. Di tengah jalan berhenti sebentar untuk snorkeling. Sewa alatnya sekitar 30-40 ribu tanpa fin (kaki katak). Begitu toggle dipasang dan kepala kita masukkan ke dalam air, langsung terlihat ikan-ikan kecil yang amat bagus warnanya. Dari sini kami lalu menuju Pulau Lengkuas. Selain berenang, hal lain yang bisa dilakukan di sini adalah naik ke lantai teratas mercu suar yang terdiri dari 18 lantai. Kebanyakan gagal karena memang tinggi banget,”Ada yang sudah sampai lantai 13 lalu turun lagi”, kata seseorang.
Malamnya, jam 22an, sementara keluarga saya di hotel, saya jalan kaki menyebrang ke Pantai Tanjung Pendam di seberang hotel. Ternyata, bukan hanya pantai tapi ada juga cafe, restoran, warung, toko souvenir. Saat itu ada panggung kecil yang diisi pertunjukan dangdut. Saat saya hendak ke pinggir pantai, seorang laki-laki memarkir motornya di dekat saya dan terus menatapi saya. Mudah ditebak, saya langsung kabur. Ternyata, kawasan ini dulunya tempat esek-esek. Ooo...Pantes...Karena penaaran, hari terakhir saat pagi saya balik lagi, juga sendirian. Sata tak bisa sampai ke tepi pantai karena dari jalan setapak menuju tepi pantai ada area berlumpur.
4 Juli 2012. Hari III.
Warung Kopi Kong Djie-Pantai Tanjung Binga-Pantai Tanjung Tinggi (tempat syuting Laskar Pelangi)
Ini hari terkahir karena besok kami tinggal siap-siap pulang. Jam 8an kami ke Kong Djie, warung kopi paling top di Tanjung Pandan. Warkop ini berdiri tahun 1945, bentuknya sangat sederhana namun orang dari berbagai kalangan kerap nongkrong di situ, termasuk pejabat. Di sebelah meja kami ada tumpukan papan catur. Pemiliknya memang gila catur dan pengunjung kerap main catur sambil ngopi. Harga kopi 4,000 dan 6,000 Rupiah. Semua kue basah dipatok 1,000 per buah.Warkop yang biasanya dikunjungi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah rata-rata menjual kopi seharga 3,000 per gelas.
Dari sini, kami menuju menuju Restoran Bukit Berahu di tepi Pantai Tanjung Binga, 18 km dari Tanjung Pandan. Seperti pantai di Belitung pada umumnya, pemandangan amat indah, pentainya bersih dan berpasir putih. Airnya biru dan langit bewarna serupa. Cantik banget. Dari resto menuju tepi pantai ada sekitar 100 anak tangga yang harus dituruni jadi untuk yang punya masalah kesehatan, lebih baik cari jalan lain, jangan lewat resto. Di tempat ini kami hanya minum, kabarnya sih di bagian bawah ada penginapan yang keren. Saya kurang tahu karena saya tidak turun.
Kami lalu mengarah ke Pantai Tanjung Tinggi, sekitar 31 kilometer dari Tanjung Pandan. Ini adalah tempat syuting Laskar Pelangi. Pemandangannya sangat indah namun sayang ada 2 batu granit raksasa yang dicoret-coret dan wilayah di antara dua batu besar cukup banyak terisi sampah.
Dari sini kami makan di Resto Lambai yang menurut pelayannya sudah berdiri sekitar 20 tahun. Makanannya lezat terutama ikannya, mereka juga menjual ikan yang hanya ada di Belitung. Setelah kenyang, kami ke sisi lain Pantai Tanjung Tinggi, yaitu sisi yang bertuliskan “Tempat syuting Sang Pemimpi”. Di sela batu-batu besar, kaki Tasya tergores saat terpleset dan telapak kaki suami saya sobek kena karang. Jadi, sekali lagi, jangan lupa kotak P 3 K,ya.
Di pinggir pantai disewakan pelampung plastik serta bebek plastik untuk anak kecil main air. Tempat ini lebih enak dipakai berenang dibanding pantai yang bertuliskan “Tempat Syuting Laskar Pelangi” namun untuk foto-foto jauh lebih bagus tempat syuting Laskar Pelangi. Bagaimanapun, pemandangannya tetap indah,kok. Waktu siang menjelang sore, sinar matahari yang mengarah ke air pantai membuat permukaan pantai berkilau.
Pantai-pantai di Belitung sangat indah dan belum tersentuh jet ski, banana boat atau mainan air lainnya. Turis di sana yang saya lihat hanya turis domestik. Kondisi pulau sederhana walau rakyat hidupnya tak susah. Masyarakat kalau punya uang cenderung melakukan investasi yang likuid, cepat dijual, dan ini membuat mereka tidak jor-joran dalam hidup. Tempat makan terkenal di Belitung tak satu pun yang bangunannya mewah atau keren.
Nah, ngomong-ngomong soal Pak Ade. Di hari ketiga inilah saya baru tahu bahwa beliau bukan guide. Beliau supplier bahan bangunan yang berinisiatif menemani kami karena teman dari ipar saya kenal dengan dirinya berikut istri. Orangnya sangat cekatan, ramah dan melakukan sesuatu “beyond the call of duty”. Semua orang di rombongan saya belum pernah sekalipun menerima servis sebaik yang diberikan Pak Ade kepada kami. Supir pun ramah, ngga ngomel-ngomel kalau lama menunggu dan nyetirnya bagus. Kalau mau ke Belitung silahkan hubungi mereka, Pak Ade di no 08176003521 dan 082185720062. Nomor supirnya, Pak Edi, adalah 0819-789-8295 dan 0813-733-88293.
Meicky Shoreamanis Panggabean
Lippo-Cikarang,13 Juli 2012
12.03 WIB