Uang Tak Bisa Membeli Kebahagiaan.
Kalau Meminjamkan Kita Kebahagiaan Bisa Ngga?
Tulisan ini saya buat karena kesal dengar seorang teman ngomong begini, “Uang ngga penting, uang bukan segala-galanya, Tuhan udah atur”. Kalimat tadi buat saya adalah ekpresi dari sebuah arogansi spiritual. Giliran stres karena bokek, gue yang kena. Bahlul.
_________________________________________________
Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Saya setuju 100%.Tapi, kemiskinan juga ngga bisa membelikan kita kebahagiaan. Biar bagaimanapun, kita pasti lebih suka menangis di atas Jaguar atau Bentley dibandingkan bersedih hati di dalam bis karatan atau angkot butut, begitu ‘kan ?
Saya punya seorang teman yang dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Lalu saya kasih tahu beberapa kali,”Perusahaan A lagi cari pegawai” atau “Tempat B nih cari orang”. Dia cuek, dugaan saya karena masih pegang uang pesangon. Dia ngomong begini,”Tenang aja nanti Tuhan yang atur, uang bukan segala-galanya”. Empat tahunan sudah berlalu, dia kini kerja di tempat yang secara finansial sangat tidak menguntungkan, masih rutin bicara tentang Tuhan, punya keluarga yang harus dia nafkahi, kerap kekurangan uang, dan sering merasa frustasi.
Sejarah membuktikan bahwa uang memang tak bisa beli kebahagiaan. Cari aja artis kaya yang mati bunuh diri atau over dosis, banyak kok jumlahnya. Namun, uang bisa meminjamkan kebahagiaan pada kita. Anda ngga setuju dengan saya ? Lah, Anda baca tulisan ini memangnya dengan cara apa ? Telepati sama saya ? Kan ngga. Anda baca ini karena punya gadget. Lumayan bahagia kan, baca-baca tulisan orang. Kalo Anda bokek mungkin Anda sekarang sedang di jembatan penyeberangan dan sibuk berpikir mengenai pejalan kaki mana yang rasanya layak dicopet. 10 menit lagi, saat yang punya gadget sedang manggut-manggut setuju atau geleng-geleng tak setuju setelah selesai membaca tulisan ini, anda mungkin lagi digaplok oleh calon korban anda: Seorang cewek kemayu yang rupanya pegang ban item karate.
Kalimat bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan biasanya dikeluarkan oleh orang super kaya yang udah lupa apa rasanya miskin atau malahan ngga tahu sedikit pun apa rasanya bokek karena dari lahir udah kaya. Atau, diucapkan oleh para pemalas yang ogah cari uang karena memilih tidur atau mabuk-mabukan dan coba mendapatkan pembenaran atas kegagalan mereka. Alternatif lain adalah kalimat itu,uang tak bisa membeli kebahagiaan, dilontarkan oleh mereka yang udah setengah mati kerja tapi duitnya tetap sedikit.
Realistis aje, Pren. Dengan uang kita bisa beli smartphone. Memiliki akun social media memudahkan kita menyapa sesama. Nunggu anntrian dokter juga jadi tidak membosankan. Jadi hepi ‘kan ? Kita juga bisa makan enak dan ngga melulu makan sayur dan tempe dengan alasan mau hidup sehat padahal aslinya ngga punya duit buat beli daging sapi yang mahalnya kebangetan karena dikorupsi PKS. Kita jadi bisa bawa anak ke Eropa dan bukan hanya keluar masuk museum di kota tempat kita tinggal dengan alasan ‘ngasih liburan edukatif’ padahal aslinya karena ngga ada uang banyak (emangnya di Eropa ngga ada museum?).
Ini yang terpenting:Dengan uang kita bisa menolong sesama lebih banyak dan lebih sering. Tentu kalimat saya tadi bisa diperdebatkan jika anda tahu apa yang dikatakan riset tentang daya tarik uang. “Harta yang kian banyak pada umumnya akan membuat si pemilik menjadi lebih agresif, makin tidak bermoral, dan semakin tidak bertanggung jawab”, tutur Paul Piff, mahasiswa program doktoral Fakultas Psikologi UC Berkeley,yang mendasarkan disertasinya pada sebuah riset tentang efek uang pada manusia. Kristin Smith-Crowe,Profesor di Jurusan Psikologi dari Utah University menjelaskan,”Uang memang adalah akar dari segala kejahatan”,katanya,”Namun, potensi penghancuran dalam diri manusia timbul bukan saat jumlah uangnya membengkak. Pengrusakan bahkan sudah dimulai saat mereka baru berada pada fase diperhadapkan dengan konsep uang”.
Wah, program doktoral gitu loh, dari universitas beneran, bukan dari universitas abal-abal Hawai of bla bla bla yang kasih gelar profesor ke Oma Irama. Walau mereka menggunakan kaidah akademik yang ketat saat melakukan penelitian dan hasilnya seperti yang dikatakan di atas, saya percaya bahwa di tangan orang baik, uang tetap akan punya kekuatan yang amat positif.
Ibu saya, Tahir (yang nyumbang bis Trans Jakarta), Ibu Theresa dari Kalkuta, ayah Ahok, menunjukkan bahwa mereka bisa memegang uang dan konsisten, terus-menerus, punya kepekaan terhadap kebutuhan sesama. Mereka yang banyak memberi cenderung jauh dari rasa depresi dan punya optimisme terhadap hidup yang sedang dijalani.
Carolyn Schwartz, peneliti pada University of Massachusetts Medical School, mengadakan riset yang melibatkan penderita sklerosis. Ia meminta para penderita sklerosis menghibur penderita sklerosis lainnya lewat telpon sebulan sekali.Carolyn memiliki hipotesis bahwa mereka yang menerima bantuan akan mengalami perubahan positif. Hasilnya:Yang ditelpon memperoleh sedikit keuntungan (di artikel yang saya baca tak dirinci apa keuntungannya) namun yang menelpon mengalami kemjuan pesat. Kesehatan mereka membaik secara signifikan dan mereka memperoleh kebahagiaan beberapa kali lipat daripada yang ditolong (artikel juga tak menjelaskan metode yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan, pake kriteria-kriteria gitu kali ya, kan ini penelitian kualitatif).
Jelas sekali, uang yang banyak jika dimiliki oleh tangan yang tepat dapat membawa berjuta kebaikan. Walau demikian, tentu uang bukanlah segala-galanya.Gimana bisa segala-galanya, lha wong dia ngga bisa kasih kita kebahagiaan yang sesungguhnya. Pada akhirnya jika ditanya apa yang dicari dalam hidup, semua orang akan jawab mereka mengejar rasa bahagia. Bagaimanapun, kepemililkan atas uang memungkinkan kita untuk berkarya dan berderma. Dua hal ini akan membawa kita pada kepuasan hidup dan memberikan kita kebahagiaan walau hanya di tataran superfisial. Kebahagiaan sejati hanya dapat kita peroleh jika kita mengamini kebenaran kalimat berikut: Hati manusia seperti donat, selalu saja ada lubang di tengahnya dan kekosongan itu hanya bisa diisi oleh PenciptaNya.
Jadi, jelas sekali, uang tak bisa membelikan kebahagiaan. Kalau meminjamkan kebahagiaan saya rasa bisa. Kapan kebahagiaan yang dipinjamkan uang bisa dikembalikan untuk diganti dengan kebahagiaan yang sesungguhnya? Ya saat kita menemukan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kamis, 19/3/2014
21.51 WIIB
Di tempat tidur, nungguin Merryll yang bikin PR.
_________________________________________________
Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Saya setuju 100%.Tapi, kemiskinan juga ngga bisa membelikan kita kebahagiaan. Biar bagaimanapun, kita pasti lebih suka menangis di atas Jaguar atau Bentley dibandingkan bersedih hati di dalam bis karatan atau angkot butut, begitu ‘kan ?
Saya punya seorang teman yang dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Lalu saya kasih tahu beberapa kali,”Perusahaan A lagi cari pegawai” atau “Tempat B nih cari orang”. Dia cuek, dugaan saya karena masih pegang uang pesangon. Dia ngomong begini,”Tenang aja nanti Tuhan yang atur, uang bukan segala-galanya”. Empat tahunan sudah berlalu, dia kini kerja di tempat yang secara finansial sangat tidak menguntungkan, masih rutin bicara tentang Tuhan, punya keluarga yang harus dia nafkahi, kerap kekurangan uang, dan sering merasa frustasi.
Sejarah membuktikan bahwa uang memang tak bisa beli kebahagiaan. Cari aja artis kaya yang mati bunuh diri atau over dosis, banyak kok jumlahnya. Namun, uang bisa meminjamkan kebahagiaan pada kita. Anda ngga setuju dengan saya ? Lah, Anda baca tulisan ini memangnya dengan cara apa ? Telepati sama saya ? Kan ngga. Anda baca ini karena punya gadget. Lumayan bahagia kan, baca-baca tulisan orang. Kalo Anda bokek mungkin Anda sekarang sedang di jembatan penyeberangan dan sibuk berpikir mengenai pejalan kaki mana yang rasanya layak dicopet. 10 menit lagi, saat yang punya gadget sedang manggut-manggut setuju atau geleng-geleng tak setuju setelah selesai membaca tulisan ini, anda mungkin lagi digaplok oleh calon korban anda: Seorang cewek kemayu yang rupanya pegang ban item karate.
Kalimat bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan biasanya dikeluarkan oleh orang super kaya yang udah lupa apa rasanya miskin atau malahan ngga tahu sedikit pun apa rasanya bokek karena dari lahir udah kaya. Atau, diucapkan oleh para pemalas yang ogah cari uang karena memilih tidur atau mabuk-mabukan dan coba mendapatkan pembenaran atas kegagalan mereka. Alternatif lain adalah kalimat itu,uang tak bisa membeli kebahagiaan, dilontarkan oleh mereka yang udah setengah mati kerja tapi duitnya tetap sedikit.
Realistis aje, Pren. Dengan uang kita bisa beli smartphone. Memiliki akun social media memudahkan kita menyapa sesama. Nunggu anntrian dokter juga jadi tidak membosankan. Jadi hepi ‘kan ? Kita juga bisa makan enak dan ngga melulu makan sayur dan tempe dengan alasan mau hidup sehat padahal aslinya ngga punya duit buat beli daging sapi yang mahalnya kebangetan karena dikorupsi PKS. Kita jadi bisa bawa anak ke Eropa dan bukan hanya keluar masuk museum di kota tempat kita tinggal dengan alasan ‘ngasih liburan edukatif’ padahal aslinya karena ngga ada uang banyak (emangnya di Eropa ngga ada museum?).
Ini yang terpenting:Dengan uang kita bisa menolong sesama lebih banyak dan lebih sering. Tentu kalimat saya tadi bisa diperdebatkan jika anda tahu apa yang dikatakan riset tentang daya tarik uang. “Harta yang kian banyak pada umumnya akan membuat si pemilik menjadi lebih agresif, makin tidak bermoral, dan semakin tidak bertanggung jawab”, tutur Paul Piff, mahasiswa program doktoral Fakultas Psikologi UC Berkeley,yang mendasarkan disertasinya pada sebuah riset tentang efek uang pada manusia. Kristin Smith-Crowe,Profesor di Jurusan Psikologi dari Utah University menjelaskan,”Uang memang adalah akar dari segala kejahatan”,katanya,”Namun, potensi penghancuran dalam diri manusia timbul bukan saat jumlah uangnya membengkak. Pengrusakan bahkan sudah dimulai saat mereka baru berada pada fase diperhadapkan dengan konsep uang”.
Wah, program doktoral gitu loh, dari universitas beneran, bukan dari universitas abal-abal Hawai of bla bla bla yang kasih gelar profesor ke Oma Irama. Walau mereka menggunakan kaidah akademik yang ketat saat melakukan penelitian dan hasilnya seperti yang dikatakan di atas, saya percaya bahwa di tangan orang baik, uang tetap akan punya kekuatan yang amat positif.
Ibu saya, Tahir (yang nyumbang bis Trans Jakarta), Ibu Theresa dari Kalkuta, ayah Ahok, menunjukkan bahwa mereka bisa memegang uang dan konsisten, terus-menerus, punya kepekaan terhadap kebutuhan sesama. Mereka yang banyak memberi cenderung jauh dari rasa depresi dan punya optimisme terhadap hidup yang sedang dijalani.
Carolyn Schwartz, peneliti pada University of Massachusetts Medical School, mengadakan riset yang melibatkan penderita sklerosis. Ia meminta para penderita sklerosis menghibur penderita sklerosis lainnya lewat telpon sebulan sekali.Carolyn memiliki hipotesis bahwa mereka yang menerima bantuan akan mengalami perubahan positif. Hasilnya:Yang ditelpon memperoleh sedikit keuntungan (di artikel yang saya baca tak dirinci apa keuntungannya) namun yang menelpon mengalami kemjuan pesat. Kesehatan mereka membaik secara signifikan dan mereka memperoleh kebahagiaan beberapa kali lipat daripada yang ditolong (artikel juga tak menjelaskan metode yang digunakan untuk mengukur kebahagiaan, pake kriteria-kriteria gitu kali ya, kan ini penelitian kualitatif).
Jelas sekali, uang yang banyak jika dimiliki oleh tangan yang tepat dapat membawa berjuta kebaikan. Walau demikian, tentu uang bukanlah segala-galanya.Gimana bisa segala-galanya, lha wong dia ngga bisa kasih kita kebahagiaan yang sesungguhnya. Pada akhirnya jika ditanya apa yang dicari dalam hidup, semua orang akan jawab mereka mengejar rasa bahagia. Bagaimanapun, kepemililkan atas uang memungkinkan kita untuk berkarya dan berderma. Dua hal ini akan membawa kita pada kepuasan hidup dan memberikan kita kebahagiaan walau hanya di tataran superfisial. Kebahagiaan sejati hanya dapat kita peroleh jika kita mengamini kebenaran kalimat berikut: Hati manusia seperti donat, selalu saja ada lubang di tengahnya dan kekosongan itu hanya bisa diisi oleh PenciptaNya.
Jadi, jelas sekali, uang tak bisa membelikan kebahagiaan. Kalau meminjamkan kebahagiaan saya rasa bisa. Kapan kebahagiaan yang dipinjamkan uang bisa dikembalikan untuk diganti dengan kebahagiaan yang sesungguhnya? Ya saat kita menemukan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kamis, 19/3/2014
21.51 WIIB
Di tempat tidur, nungguin Merryll yang bikin PR.