Sepucuk Tulisan Cinta tentang Yogyakarta:
Sungguh, Kepingan Terbesar Hati Saya Ada di Kota Ini…
Hari pertama Penataran P4 di UGM, tahun 1991.
“Ohhh….Mbak Meicky kost di kompleks dosen? Berapa tuh sebulan?”
“150 ribu, udah termasuk makan 3 kali sehari”.
**&?>
“Mas di mana?”
“Kontrak, bukan kost, di…(saya lupa jawabannya).150 ribu juga Mbak….Tapi setahun…”.
***
Percakapan di atas tak pernah bisa tanggal dari ingatan. Saya menjalani SMP dan SMA di Tarakanita I, sekolah elite tempat anak pengusaha dan penguasa menuntut ilmu. Menjejakkan kaki di UGM lantas menjadi sebuah pengalaman batin yang luar biasa. Ketika itulah untuk pertama kalinya saya mengenal anak-anak petani dari desa terpencil. Untuk pertama kalinya saya tahu bahwa ada rumah (bukan kamar!) yang bisa disewa beberapa ratus ribu rupiah per TAHUN (ya, per tahun, saya ngga salah nulis kok). Untuk pertama kalinya saya menjadikan makanan warung kaki lima sebagai menu utama sehari-hari. Untuk pertama kalinya saya ke mana-mana dibonceng motor, moda transportasi yang di Jakarta identik dengan ‘orang miskin’.
Jangan salah kira. Saya bukan orang kaya. Saya masuk UGM antara lain karena orang tua tak sanggup membiayai saya kuliah di swasta, yaitu IKIP Sanata Dharma kendati lebih pas dengan cita-cita:Menjadi guru. Di Jakarta saya tinggal di area padat penduduk tak jauh dari tempat orang berjualan kambing ( Saat calon mertua berkunjung pertama kali, beliau diam-diam bertanya pada anaknya,”Hmm…Ini ya yang kalo di Jakarta disebut sebagai daerah kumuh,ya ??”, ha ha ha). Saya ke sekolah pulang-pergi naik bis. Namun bagaimanapun, tempat tinggal saya bersifat permanen. Orang tua masih bisa membiayai kebiasaan saya makan Silver Queen setiap hari dan tiap bulan membelikan majalah impor bersampul Michael Jackson. Walaupun saya tidak mampu berlibur ke luar negeri, cerita tentang jalan-jalan ke Amerika bukan hal yang saya anggap menakjubkan karena plesir ke negara lain memang acara wajib bagi banyak teman. Tiga sahabat saya adalah anak super kaya dan oleh karena itulah saya juga sudah biasa melihat rumah mewah bergarasi penuh mobil.
***
Ketika pertama kali tiba di Yogyakarta, saya bertanya dalam hati, ”Di sini ga ada cowok cakep dan cewek cantik,ya?” Pemandangan ini kontras dengan Tarakanita yang sesak dengan remaja berkulit terang dan berparas bagus . Konsep kecantikan di Indonesia 20 tahun yang lalu sama kok dengan zaman ini: ’Putih itu cantik’. Mayoritas penduduk Yogyakarta waktu itu berkulit gelap dan berpenampilan simpel (istilah halus untuk menyebut ‘kere’, ha ha ha). Teman-teman di UGM sedemikian sederhananya sampai-sampai saya sempat disebut sebagai mahasiswa kaya hanya karena makan apel dan mengenakan jam bergambar Michael Jackson (harganya murah tapi memang terkesan mewah karena bentuknya sangat elegan). Untuk UGM yang ketika itu masih berbiaya Rp.105.000,- per semester dan berstatus universitas ndeso, ‘punya apel dan arloji keren bergambar Michael Jackson’ nampaknya sudah cukup dijadikan patokan ‘kaya’ atau ‘tidak kaya’. Jam itu akhirnya saya kenakan kalau tak salah hanya sekitar 2 minggu karena risih.
Hanya dalam hitungan hari, keheranan saya bermetamorfosa secara sempurna menjadi kekaguman. Kita semua tahu secara naluriah bahwa yang paling penting dalam hidup tentu saja inner beauty, bukan outer appearance. Kita juga paham bahwa ketampanan dan kecantikan adalah sesuatu yang amat relatif.
Di Yogyakarta, saya makan di warung dan saya dianggap manusia. Saya beli kaos murah dan dianggap manusia. Saya pergi pake sepatu diskon dan dianggap manusia. Saya pakai kacamata murah dan dianggap manusia. Dalamnya pemahaman tentang intisari kehidupan dan tingginya tingkat spiritual, membuat masyarakat melihat sesama dari apa yang dilakukan dan dikatakan, bukan dari apa yang dibeli dan dikenakan. Di sinilah Yogyakarta secara telak mengalahkan konsep kecantikan para fashionista dan sosialita yang banyak berkerumun di kota kelahiran saya, Jakarta. Dalam tempo yang teramat singkat saya merasakan sendiri, bukan hanya menyaksikan, betapa Yogyakarta adalah sebuah kota dengan kekuatan inner beauty yang amat menggetarkan.
Kota ini sesak dengan manusia berpenampilan dan bertutur kata biasa yang belajar dan bekerja dengan semangat luar biasa untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat memiliki semangat menggebu untuk membuat sesama merasa sebagai orang penting tanpa ada nuansa menjilat. Keramahan dan ketulusan penduduknya saat mengulurkan bantuan mampu membuat kita yakin bahwa Tuhan bukan hanya menciptakan surga di dunia lain namun juga membuat satu di muka bumi agar manusia bisa sedikit mencicipinya. ’Kita hanya bisa menjadi manusia utuh jika kita menganggap orang lain lebih penting dari kita dan jika kita tidak mengagungkan materi’ adalah pesan yang terus-menerus terpancar dari kehidupan masyarakat setempat. Di dunia yang ketika itu mulai materialistik, Yogyakarta adalah kota yang demikian meneduhkan jiwa. Kebersahajaannya benar-benar punya daya tenung.
***
5,5 tahun tinggal di Yogyakarta sampai kapan pun akan tetap menjadi bagian terindah dalam hidup. Seusai wisuda, saya menangis sesenggukan karena teramat tidak rela untuk pindah ke Jakarta. Saya pernah lho, mendengar suara marching band jam 4 subuh ketika sedang menginap di daerah Lempuyangan pada tahun 1991. Kata takhayul (halah…halahhh…) atau menurut legenda, di Yogya ada marching band yang berbunyi setiap jam 4-5 pagi. Kabarnya ini adalah marching band jaman penjajahan dan dipercaya hanya bisa didengar oleh mereka yang sangat mencintai Yogyakarta. Pasti karena saya amat mencintai Yogyalah maka jantung saya berdetak lebih keras saat mendengar Merapi meletus dibandingkan ketika mendengar kabar bencana dari daerah-daerah lain. Tanpa mengurangi rasa simpati terhadap korban di wilayah lain seperti Mentawai dan Wasior, izinkan saya untuk menyampaikan duka dan prihatin terdalam kepada mereka, para pengungsi yang sekarang sedang tertatuh-tatih mengelola nyawa di tempat yang amat saya kasihi ini.
***
Saya baru saja mengunjungi Yogyakarta awal tahun ini dan, ah…Perubahannya demikian menyolok mata. Industrialisme dan konsumerisme telah menggerus kesederhanaannya. Hati saya semakin sedih melihat kota ini sekarang terseok-seok meniti fase perubahan berikutnya setelah diguncang letusan Merapi. Bagaimanapun, seperti halnya ia tak bisa diluluhlantakkan oleh panasnya cinta kami, yaitu saya dan ratusan ribu orang lainnya, ia juga tak akan bisa dihanguskan oleh letusan Merapi.
Kepingan hati saya yang terbesar tetap aman berada di sana. Dan saya tak akan mengambilnya. Tidak akan pernah.
Dengan penuh cinta,
Lippo-Cikarang, 7 November 2010.
“Ohhh….Mbak Meicky kost di kompleks dosen? Berapa tuh sebulan?”
“150 ribu, udah termasuk makan 3 kali sehari”.
**&?>
“Mas di mana?”
“Kontrak, bukan kost, di…(saya lupa jawabannya).150 ribu juga Mbak….Tapi setahun…”.
***
Percakapan di atas tak pernah bisa tanggal dari ingatan. Saya menjalani SMP dan SMA di Tarakanita I, sekolah elite tempat anak pengusaha dan penguasa menuntut ilmu. Menjejakkan kaki di UGM lantas menjadi sebuah pengalaman batin yang luar biasa. Ketika itulah untuk pertama kalinya saya mengenal anak-anak petani dari desa terpencil. Untuk pertama kalinya saya tahu bahwa ada rumah (bukan kamar!) yang bisa disewa beberapa ratus ribu rupiah per TAHUN (ya, per tahun, saya ngga salah nulis kok). Untuk pertama kalinya saya menjadikan makanan warung kaki lima sebagai menu utama sehari-hari. Untuk pertama kalinya saya ke mana-mana dibonceng motor, moda transportasi yang di Jakarta identik dengan ‘orang miskin’.
Jangan salah kira. Saya bukan orang kaya. Saya masuk UGM antara lain karena orang tua tak sanggup membiayai saya kuliah di swasta, yaitu IKIP Sanata Dharma kendati lebih pas dengan cita-cita:Menjadi guru. Di Jakarta saya tinggal di area padat penduduk tak jauh dari tempat orang berjualan kambing ( Saat calon mertua berkunjung pertama kali, beliau diam-diam bertanya pada anaknya,”Hmm…Ini ya yang kalo di Jakarta disebut sebagai daerah kumuh,ya ??”, ha ha ha). Saya ke sekolah pulang-pergi naik bis. Namun bagaimanapun, tempat tinggal saya bersifat permanen. Orang tua masih bisa membiayai kebiasaan saya makan Silver Queen setiap hari dan tiap bulan membelikan majalah impor bersampul Michael Jackson. Walaupun saya tidak mampu berlibur ke luar negeri, cerita tentang jalan-jalan ke Amerika bukan hal yang saya anggap menakjubkan karena plesir ke negara lain memang acara wajib bagi banyak teman. Tiga sahabat saya adalah anak super kaya dan oleh karena itulah saya juga sudah biasa melihat rumah mewah bergarasi penuh mobil.
***
Ketika pertama kali tiba di Yogyakarta, saya bertanya dalam hati, ”Di sini ga ada cowok cakep dan cewek cantik,ya?” Pemandangan ini kontras dengan Tarakanita yang sesak dengan remaja berkulit terang dan berparas bagus . Konsep kecantikan di Indonesia 20 tahun yang lalu sama kok dengan zaman ini: ’Putih itu cantik’. Mayoritas penduduk Yogyakarta waktu itu berkulit gelap dan berpenampilan simpel (istilah halus untuk menyebut ‘kere’, ha ha ha). Teman-teman di UGM sedemikian sederhananya sampai-sampai saya sempat disebut sebagai mahasiswa kaya hanya karena makan apel dan mengenakan jam bergambar Michael Jackson (harganya murah tapi memang terkesan mewah karena bentuknya sangat elegan). Untuk UGM yang ketika itu masih berbiaya Rp.105.000,- per semester dan berstatus universitas ndeso, ‘punya apel dan arloji keren bergambar Michael Jackson’ nampaknya sudah cukup dijadikan patokan ‘kaya’ atau ‘tidak kaya’. Jam itu akhirnya saya kenakan kalau tak salah hanya sekitar 2 minggu karena risih.
Hanya dalam hitungan hari, keheranan saya bermetamorfosa secara sempurna menjadi kekaguman. Kita semua tahu secara naluriah bahwa yang paling penting dalam hidup tentu saja inner beauty, bukan outer appearance. Kita juga paham bahwa ketampanan dan kecantikan adalah sesuatu yang amat relatif.
Di Yogyakarta, saya makan di warung dan saya dianggap manusia. Saya beli kaos murah dan dianggap manusia. Saya pergi pake sepatu diskon dan dianggap manusia. Saya pakai kacamata murah dan dianggap manusia. Dalamnya pemahaman tentang intisari kehidupan dan tingginya tingkat spiritual, membuat masyarakat melihat sesama dari apa yang dilakukan dan dikatakan, bukan dari apa yang dibeli dan dikenakan. Di sinilah Yogyakarta secara telak mengalahkan konsep kecantikan para fashionista dan sosialita yang banyak berkerumun di kota kelahiran saya, Jakarta. Dalam tempo yang teramat singkat saya merasakan sendiri, bukan hanya menyaksikan, betapa Yogyakarta adalah sebuah kota dengan kekuatan inner beauty yang amat menggetarkan.
Kota ini sesak dengan manusia berpenampilan dan bertutur kata biasa yang belajar dan bekerja dengan semangat luar biasa untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat memiliki semangat menggebu untuk membuat sesama merasa sebagai orang penting tanpa ada nuansa menjilat. Keramahan dan ketulusan penduduknya saat mengulurkan bantuan mampu membuat kita yakin bahwa Tuhan bukan hanya menciptakan surga di dunia lain namun juga membuat satu di muka bumi agar manusia bisa sedikit mencicipinya. ’Kita hanya bisa menjadi manusia utuh jika kita menganggap orang lain lebih penting dari kita dan jika kita tidak mengagungkan materi’ adalah pesan yang terus-menerus terpancar dari kehidupan masyarakat setempat. Di dunia yang ketika itu mulai materialistik, Yogyakarta adalah kota yang demikian meneduhkan jiwa. Kebersahajaannya benar-benar punya daya tenung.
***
5,5 tahun tinggal di Yogyakarta sampai kapan pun akan tetap menjadi bagian terindah dalam hidup. Seusai wisuda, saya menangis sesenggukan karena teramat tidak rela untuk pindah ke Jakarta. Saya pernah lho, mendengar suara marching band jam 4 subuh ketika sedang menginap di daerah Lempuyangan pada tahun 1991. Kata takhayul (halah…halahhh…) atau menurut legenda, di Yogya ada marching band yang berbunyi setiap jam 4-5 pagi. Kabarnya ini adalah marching band jaman penjajahan dan dipercaya hanya bisa didengar oleh mereka yang sangat mencintai Yogyakarta. Pasti karena saya amat mencintai Yogyalah maka jantung saya berdetak lebih keras saat mendengar Merapi meletus dibandingkan ketika mendengar kabar bencana dari daerah-daerah lain. Tanpa mengurangi rasa simpati terhadap korban di wilayah lain seperti Mentawai dan Wasior, izinkan saya untuk menyampaikan duka dan prihatin terdalam kepada mereka, para pengungsi yang sekarang sedang tertatuh-tatih mengelola nyawa di tempat yang amat saya kasihi ini.
***
Saya baru saja mengunjungi Yogyakarta awal tahun ini dan, ah…Perubahannya demikian menyolok mata. Industrialisme dan konsumerisme telah menggerus kesederhanaannya. Hati saya semakin sedih melihat kota ini sekarang terseok-seok meniti fase perubahan berikutnya setelah diguncang letusan Merapi. Bagaimanapun, seperti halnya ia tak bisa diluluhlantakkan oleh panasnya cinta kami, yaitu saya dan ratusan ribu orang lainnya, ia juga tak akan bisa dihanguskan oleh letusan Merapi.
Kepingan hati saya yang terbesar tetap aman berada di sana. Dan saya tak akan mengambilnya. Tidak akan pernah.
Dengan penuh cinta,
Lippo-Cikarang, 7 November 2010.