Menilik Reaksi Keras terhadap Joel Osteen:
Sebuah Tulisan untuk Kaum Fundamentalis Kristen
(Tulisan ke-2 dari 2 Tulisan)
Tulisan ke-1
https://goo.gl/QShvrf
Sekarang, mari bahas pertanyaan ke-3: Trus, kita mesti gimana dong? Gue 5 hari mikirin tulisan ini. Sulit banget buatnya karena jam terbang gue sebagai Kristen yang baik sangat rendah. Bagian ini gue buat setelah ngobrol dengan temen gue yang hati dan otaknya berkualitas premium:Wanta dan Novel. Kamsiah ya, temen-temenku yang baek dan ganteng (Info:Udah pada nikah, telat lu..hehehe).
James Fowlder dalam ‘The Stages of Faith’ mengatakan bahwa makin tinggi spiritual seseorang, semakin biasa penampilannya. Beberapa teman gue adalah ‘kristen yang nyaris sempurna’ tapi nggak tampil ‘rohaniah’. Beberapa yang tampil ‘rohaniah’ malah bikin bergidik. Rekan sekantor temen gue adalah panutan di gerejanya tapi di tempat kerja dia ditakuti beberapa orang karena mirip psikopat. Tentu aja nggak semua yang tampil religius, aslinya mengerikan. Temen gue pernah taruhan nyawa, nyelundupin Alkitab ke 2 negara komunis, orangnya sangat baik dan penampilannya religius. Kalo ngomong 10 kalimat, minimal 5 kalimat di antaranya ada kata semacam ‘haleluya’,’puji Tuhan’, dan sejenisnya. Bikin pusing sebenernya tapi level kemunafikannya nyaris nol jadi ya biarin ajalah, suka-suka dia. Nyaris nol? Bukan nol beneran? Ya nyaris nol lah. Kita semua ‘kan munafik, cuma levelnya beda-beda.
Nah, kesimpulannya:Kita nggak bisa menilai orang dari penampilan. Mereka yang tampil religius dan gemar ber’GloryGloryHaleluyaAminAminPujiTuhan’ belum tentu munafik. Sebaliknya, orang yang jarang ngomong pake jargon kekristenan dan nggak tampil religius, nggak lantas berarti orang itu tidak pake topeng.
Orang Kristen disebelin bukan karena kebanyakan tampil religius tapi karena gagal mempraktikkan kekristenan secara substansial. Kita kurang mampu berempati. Pembantu kita pas sakit, beli obatnya pake sistem potong gaji padahal kolekte kita berkali-kali lipat harga obat. Kita kaya tapi pake Windows bajakan dan dengan bangga bilang begini,“Lo installnya 250 ribu? Gue dong cuma 150. Makanya lain kali tanya gue dulu kalo mau install.” Kita dengar lagu gereja tiap hari tapi saat di restoran, pembantu kita cuma bengong ngeliatin kita makan. Kita (pura-pura) nggak tau bahwa pelanggaran hak cipta dan minimnya belas kasihan terhadap kaum pinggiran adalah pelanggaran terhadap prinsip kekristenan.
Pikiran kita juga segmented atau terkotak-kotak: Mendekorasi gereja adalah pelayanan dan mendekorasi ruang pesta ultah adalah kegiatan. Jadi worship leader adalah pekerjaan Tuhan, jadi tour guide, hmmm…Jelas bagus tapi lebih rohaniah jadi WL. Entah kenapa, kita sulit untuk paham bahwa semua profesi, asalkan halal, adalah sebuah altar.
Kita lebih tertarik pada kehidupan sesudah mati daripada kehidupan di bumi. Mata kita lebih tajam dalam melihat ‘jiwa yang terhilang’ dibandingkan melihat teman sekantor yang beberapa hari nggak makan siang karena baru melunasi SPP anak. Lebih mudah bagi gereja untuk ngumpulin uang buat Natal daripada untuk program anak asuh karena saat Natal ‘ada banyak jiwa baru’. Padahal, anak-anak menentukan masa depan bangsa dan kata Yeremia 29:7, “Bekerjalah untuk kesejahteraan kota-kota tempat kamu Kubuang.”
Kita gemar menggunakan standar ganda, munafik, dan kerap bermuka dua. Contoh nih, ada orang yang gue sebelin 7 turunan, dia orang berpenampilan religius yang kecanduan cari muka ke bos. Gue pengen banget ngulek mukanya. Gue ke gereja tiap minggu dan tiap kali ketemu orang yang mukanya pengen gue blender itu tuh, gue tersenyum tapi dalam hati gue teriak,”Udah munafik, kuper, rada bego, tukang jilat, hidup lagi lu !!!”
Ini nggak lebay, lho. Kisah nyata. Dan, tepat, di saat gue melakukan itu, gue menjelma jadi orang munafik. Dalam versi berbeda, lo pasti ngalamin juga, bener nggak?
***
Nah, (3) trus, kita mesti gimana dong? Mungkin kita harus memaknai ulang arti ‘menjadi kristen’. Bicara pake istilah surgawi dan rajin ke gereja, nggak membuat kita jadi Kristen, sama seperti halnya ngomong Bahasa Inggris dan sering ke KFC nggak akan bikin kita jadi orang Amerika. Gimana kalo (3.1) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara mempertajam empati? Tau nggak, kenapa Osteen juga diomelin oleh orang yang nggak kena banjir Houston satu tetes pun? Karena sebelum dia menunjukkan ketidakpekaannya, orang-orang kristen lain (kita?) udah mendahuluinya. Jadi saat orang membaca berita tentang Osteen, sebenarnya reaksi mereka begini,”Yaelah….Ini dia nih, satu lagi…”
Banyak lho yang menganggap empati kita rendah, lha wong kita suka heboh,”Hah? Elo cerai? Astaga!! Bertobat, atuh.” Ketika dia kena kanker, kita akan komentar,”Nah, Tuhan lagi menegur dia, makanya jangan cerai, itu ‘kan ‘mendukakan hati Tuhan’.” Lah, emangnya pas kita nyuap polisi dan markup harga di kwitansi, Tuhan nggak sedih?
Gue anti perceraian tapi percayalah, pembagian dalam hidup nggak melulu ‘hitam’ dan ‘putih’, bisa ‘buruk dan ‘lebih buruk’, bahkan bisa ‘hidup’ dan ‘mati’ dalam arti mental, spiritual, emosional dan jasmani. Contoh: Ada suami pengangguran yang kerap mencuri uang istri dan memperkosa anaknya. Sebagian dari kita bilang gini,“Ya didoakan aja, nggak ada yang mustahil buat Tuhan, suaminya pasti bertobat.” Jika suami seperti itu dipertahankan, resikonya anak-anak akan dropout, tidak berkembang secara sehat dan miskin. Mereka mengalami trauma seksual yang akan berlanjut sampai tua, berpotensi mengalami gangguan jiwa, ibunya tidak bisa maksimal dalam bekerja, sekeluarga mengalami luka batin dan suami punya kesempatan tak terbatas untuk leha-leha makan uang istri sambil memuaskan nafsu jahatnya.
Kalo si istri mempertahankan pernikahan tersebut, artinya dia ‘kristen yang bodoh, ibu yang jahat dan istri yang picik’ atau ‘kristen yang taat, ibu yang beriman dan istri teladan’ ? Kalo si istri nggak gugat cerai, coba tanya,”Bu, ‘kan Ibu mempertahankan suami Ibu, apa sih yang Ibu dapat dari keputusan itu selain perasaan bersih dan puas bahwa Ibu udah menyenangkan Tuhan? Apa Tuhan senang lihat anak Ibu diperkosa, suami ibu tambah malas dan uang Ibu dirampok?”
Hmmm…Hidup nggak semudah menghafal ayat, bukan?
Contoh lain dari rendahnya empati kita adalah saat kita ngomong,”Lu gay? God created Adam and Eve, bukan Adam and Steve, bertobatlah.” Atau, “Haaa? Lu aborsi! Gilaaa!!!Apaa? Lu nikah lagi? Jadi istri kedua dong?! Doosa taukkkk….” Sama eperti elu, gue nggak setuju dengan itu semua. Karena nggak setuju kita lalu berasa jadi manusia yang lebih baik dan nggak mau tahu asal muasal mengapa mereka bisa ada di kondisi itu. Kita tak punya informasi sedikitpun tentang kisah mereka tapi punya banyak pengetahuan tentang ayat yang mengutuk itu semua sehingga kita tak segan mengambil peran Tuhan untuk menghakimi. Kita menjelma jadi kaum legalistik yang defisit empati dan nggak kepikiran bahwa sesungguhnya mereka mau ngomong begini sambil nangis-nangis,”Lo nggak tau ya, kalo gue bisa lewatin hidup gue sehariiii aja, itu udah bagus banget.”
Sebuah institusi Kristen mengundang kaum LGBT untuk cari tahu apa yang bisa dilakukan kalangan Kristen untuk menolong mereka. Yang datang adalah seorang gay yang pernah diarak dalam kondisi bugil setelah ketangkap basah saat berhubungan dengan pacarnya. Orang-orang di institusi itu mikirnya ‘tinggi’, mungkin dia mau payung hukum, ada UU atau sejenisnya. Tau gak apa yang dikatakan gay tersebut? Hanya satu:”Kami ingin diperlakukan, dihormati, layaknya manusia pada umumnya.”
Jleb!
Kesalahan kita adalah kita lebih gemar bicara daripada mendengar, lebih senang berkata-kata daripada membangun hubungan. Kita cepat-cepat ngomong soal Yesus ke orang yang baru kenal, coba cek, kenapa? Jangan-jangan bukan karena mengamini Yoh. 14:6 tapi karena ingin bilang,”Tuhan, tugas saya udah beres, ya? Saya udah ngomong soal Tuhan lho ke dia. Jadi, kalo dia nggak selamat ya jangan salahin saya.”
Hmm…Itu penginjilan atau ingin cuci tangan, sih?
Pasti ada yang komentar,”Liberal lu ah, kalo Tuhan yang nyuruh kita ngomong ke dia, masa’ kita nolak?” Gue percaya dengan istilah ‘Tuhan ngomong’ ya tapinya harus hati-hati (I Yoh.4:1,”Ujilah roh”). Iyanla Vanzant ditawarin kerja bareng oleh Oprah Winfrey dan juga oleh Barbara Walters, keduanya adalah pentolan dunia jurnalistik di Amerika. Bagaimanapun, akhirnya dua tawaran itu batal semua karena (sesuatu yang dia anggap sebagai) ‘suara Tuhan’ dan dia nyesal abis-abisan. Untuk detailnya, cari episode Oprah lagi rekonsiliasi sama Iyanla.
Poin berikutnya, bagaimana kalo (3.2) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara mempreteli Doa Bapa Kami baris per baris lalu kita tulis cara mempraktikannya? Kita butuh bantuan orang lain untuk melakukannya karena kita punya kepekaan masing-masing. Coba deh dijadiin topik komsel. Contoh
3.2.1:“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya….
Kita mau beliin jas hujan untuk satpam deket rumah tapi kalo jadi beliin, untuk beberapa waktu kita hanya bisa beli roti di minimarket, nggak sanggup Dapur Cokelat. Jadi gimana ya…Trus kita ngitung suara tokek:Beliin…Nggak..Beliin…Nggak…Wuih…Suara tokeknya berhenti! Berarti ‘nggak’, horee… Lha, emangnya kita minta makanan mewah pas berdoa ? Kalo mau ngikutin ayat itu, kita mesti beliin jas hujan dan makan roti murah beberapa hari. Lagipula,”Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain tapi harus semakin mengenal batas,” begitu kata Pramoedya Ananta Toer.
Susah? Memang. Semua ajaran di Alkitab susah dipraktekkin karena isinya bertentangan dengan naluri dan kebiasaan kita.
Contoh 3.2.2:“ Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga.”
Saat terlibat konflik, kita sering diam. Kalo serius ingin mempraktikkan doa di atas, ajakin ngomong 4 mata tuh orang yang mukanya bikin darah lo berasa panas (Pasti sekarang ada muka seseorang yang melintas di otak lu, hahaha). Coba liat Mat. 18:15. Sebagian dari kita ngeles, “Wah susah, frontal amat. Hanya orang Batak yang bisa melakukan itu.” Bah! Apa di Alkitab ada tulisan *S&K, Syarat dan Ketentuan Berlaku ?
Nah, susah 'kan memaknai ulang kekristenan, kita harus bergerak melampaui (atau menabrak?) budaya dan melanggar kenyamanan hidup.
Berikutnya, bagaimana kalo (3.3) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara lebih banyak berbuat daripada berkata-kata?
Terlalu banyak bicara menjebak kita untuk jatuh ke dalam hipokrisi akut. Gue hanya mau berdebat tentang agama setelah berbuat kebaikan 10x. Standar gue tinggi: Ngebukain pintu buat orang di belakang gue, bikinin suami teh manis, dan kebaikan lain yang ‘pasaran’ kayak gitu, nggak gue itung. Gue pernah diundang ke acara debat Islam-Kristen 2 minggu sebelum hari-H. Dalam 2 minggu itu gue hanya bisa berbuat baik 4x padahal target gue 10. Gue yakin kalo datang pasti gue banyak nanya atau ngoceh padahal gue nggak mau kebanyakan ngomong tapi berbuatnya terlalu sedikit. Jadi, gue jumpalitan untuk berbuat baik 10 x secara khusus selama 2 minggu. Susahnya, ampunnnn.
Lu nggak perlu ekstrem kayak gue. Dimodifikasi aja, mungkin jadi gini,’Untuk setiap 5 pasal Alkitab yang gue baca, harus ada cleaning service yang gue ajak ngobrol minimal 5 menit’ atau ’sesudah 5 postingan tentang Alkitab, gue harus posting tentang perkembangan kasus hukum penghina Jokowi, Sea Games, efek narkoba, full-day school, konservasi lingkungan, amnesti pajak, atau hal lain’.
Get real, buddies. Tunjukkan pada dunia bahwa kita peduli dengan masalah bangsa dan kaki kita masih menjejak di bumi. Lupakah kita bahwa Yesus begitu peduli terhadap korban penindasan Kaisar Romawi? Tidak tahukah kita bahwa isu-isu lingkungan, gender, keadilan sosial, kepedulian terhadap hewan, dan lain-lain, juga ada di Alkitab?
***
BTW, pertanyaan berikut mudah-mudahan bisa berguna buat kita…
Cek friendlist di sosmed dan daftar nomor HP, apakah isinya Kristen semua? Saat kita meninggal, kira-kira ada nggak orang beda iman yang akan nangis? Kita lebih memilih untuk jadi ‘an honest sinner’ atau ‘a lying hypocrite’? Kapan terakhir kita membantu orang beda iman dan bangun relasi dengan mereka? Apakah isi rak buku kita hanya buku kristen? Kalau ya, kita bangga atau malu?
Garam baru berfungsi kalo keluar dari tempat garam.”Garam ketemu garam di tempat garam, lama-lama hipertensi,” kata seorang teman.
Lo cek jumlah orang beda iman di HP lu, misalnya 2 % dari semua yang ada di situ, bukan orang Kristen. Nah, lu pasang target. Cek 1 tahun lagi. Jumlahnya mesti nambah minimal jadi 5%. Berdoa, minta sama Tuhan supaya dikasih jalan agar bisa bangun relasi dengan yang berbeda iman. Jangan cuma berdoa minta Xenia kita ganti jadi BMW. Tuhan sedih kalo kita keseringan berdoa soal duit. Kesannya matre banget. Kita ‘kan juga sedih kalo anak kita cuma minta duit tiap kali dia nelfon?
Temen gue pernah nanya ke sekelompok anak muda Kristen, jumlahnya lebih dari 200 orang. “Apa yang kalian lakukan kepada Muslim?” Jawaban mereka,”Kami menjauh dari mereka, kami takut.” Ya iya sih, yang ngebakar gereja pada Muslim semua, cuma ya nggak usah gitu-gitu amat kali, ya… Kakak gue Muslim semua, pada asik-asik aja tuh.
Mungkin kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa sih yang kita dapat dari kenyamanan hidup di tempat garam selain perasaan bahwa hidup kita bersih dan kalo 5 menit lagi mati pasti masuk surga?
Jawaban atas pertanyaan di atas dan solusi atau implikasinya, semoga bisa membuat kasus Osteen tidak terulang lagi. Kayaknya mustahil untuk nggak terulang lagi karena hal ini udah dibahas di Wahyu lewat ayat-ayat tentang jemaat di Laodikia.
Ya tapi paling nggak, kalo terulang lagi, mudah-mudahan bukan (gereja) kita pelakunya.
5/9/2017
Meicky Shoreamanis Panggabean
https://goo.gl/QShvrf
Sekarang, mari bahas pertanyaan ke-3: Trus, kita mesti gimana dong? Gue 5 hari mikirin tulisan ini. Sulit banget buatnya karena jam terbang gue sebagai Kristen yang baik sangat rendah. Bagian ini gue buat setelah ngobrol dengan temen gue yang hati dan otaknya berkualitas premium:Wanta dan Novel. Kamsiah ya, temen-temenku yang baek dan ganteng (Info:Udah pada nikah, telat lu..hehehe).
James Fowlder dalam ‘The Stages of Faith’ mengatakan bahwa makin tinggi spiritual seseorang, semakin biasa penampilannya. Beberapa teman gue adalah ‘kristen yang nyaris sempurna’ tapi nggak tampil ‘rohaniah’. Beberapa yang tampil ‘rohaniah’ malah bikin bergidik. Rekan sekantor temen gue adalah panutan di gerejanya tapi di tempat kerja dia ditakuti beberapa orang karena mirip psikopat. Tentu aja nggak semua yang tampil religius, aslinya mengerikan. Temen gue pernah taruhan nyawa, nyelundupin Alkitab ke 2 negara komunis, orangnya sangat baik dan penampilannya religius. Kalo ngomong 10 kalimat, minimal 5 kalimat di antaranya ada kata semacam ‘haleluya’,’puji Tuhan’, dan sejenisnya. Bikin pusing sebenernya tapi level kemunafikannya nyaris nol jadi ya biarin ajalah, suka-suka dia. Nyaris nol? Bukan nol beneran? Ya nyaris nol lah. Kita semua ‘kan munafik, cuma levelnya beda-beda.
Nah, kesimpulannya:Kita nggak bisa menilai orang dari penampilan. Mereka yang tampil religius dan gemar ber’GloryGloryHaleluyaAminAminPujiTuhan’ belum tentu munafik. Sebaliknya, orang yang jarang ngomong pake jargon kekristenan dan nggak tampil religius, nggak lantas berarti orang itu tidak pake topeng.
Orang Kristen disebelin bukan karena kebanyakan tampil religius tapi karena gagal mempraktikkan kekristenan secara substansial. Kita kurang mampu berempati. Pembantu kita pas sakit, beli obatnya pake sistem potong gaji padahal kolekte kita berkali-kali lipat harga obat. Kita kaya tapi pake Windows bajakan dan dengan bangga bilang begini,“Lo installnya 250 ribu? Gue dong cuma 150. Makanya lain kali tanya gue dulu kalo mau install.” Kita dengar lagu gereja tiap hari tapi saat di restoran, pembantu kita cuma bengong ngeliatin kita makan. Kita (pura-pura) nggak tau bahwa pelanggaran hak cipta dan minimnya belas kasihan terhadap kaum pinggiran adalah pelanggaran terhadap prinsip kekristenan.
Pikiran kita juga segmented atau terkotak-kotak: Mendekorasi gereja adalah pelayanan dan mendekorasi ruang pesta ultah adalah kegiatan. Jadi worship leader adalah pekerjaan Tuhan, jadi tour guide, hmmm…Jelas bagus tapi lebih rohaniah jadi WL. Entah kenapa, kita sulit untuk paham bahwa semua profesi, asalkan halal, adalah sebuah altar.
Kita lebih tertarik pada kehidupan sesudah mati daripada kehidupan di bumi. Mata kita lebih tajam dalam melihat ‘jiwa yang terhilang’ dibandingkan melihat teman sekantor yang beberapa hari nggak makan siang karena baru melunasi SPP anak. Lebih mudah bagi gereja untuk ngumpulin uang buat Natal daripada untuk program anak asuh karena saat Natal ‘ada banyak jiwa baru’. Padahal, anak-anak menentukan masa depan bangsa dan kata Yeremia 29:7, “Bekerjalah untuk kesejahteraan kota-kota tempat kamu Kubuang.”
Kita gemar menggunakan standar ganda, munafik, dan kerap bermuka dua. Contoh nih, ada orang yang gue sebelin 7 turunan, dia orang berpenampilan religius yang kecanduan cari muka ke bos. Gue pengen banget ngulek mukanya. Gue ke gereja tiap minggu dan tiap kali ketemu orang yang mukanya pengen gue blender itu tuh, gue tersenyum tapi dalam hati gue teriak,”Udah munafik, kuper, rada bego, tukang jilat, hidup lagi lu !!!”
Ini nggak lebay, lho. Kisah nyata. Dan, tepat, di saat gue melakukan itu, gue menjelma jadi orang munafik. Dalam versi berbeda, lo pasti ngalamin juga, bener nggak?
***
Nah, (3) trus, kita mesti gimana dong? Mungkin kita harus memaknai ulang arti ‘menjadi kristen’. Bicara pake istilah surgawi dan rajin ke gereja, nggak membuat kita jadi Kristen, sama seperti halnya ngomong Bahasa Inggris dan sering ke KFC nggak akan bikin kita jadi orang Amerika. Gimana kalo (3.1) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara mempertajam empati? Tau nggak, kenapa Osteen juga diomelin oleh orang yang nggak kena banjir Houston satu tetes pun? Karena sebelum dia menunjukkan ketidakpekaannya, orang-orang kristen lain (kita?) udah mendahuluinya. Jadi saat orang membaca berita tentang Osteen, sebenarnya reaksi mereka begini,”Yaelah….Ini dia nih, satu lagi…”
Banyak lho yang menganggap empati kita rendah, lha wong kita suka heboh,”Hah? Elo cerai? Astaga!! Bertobat, atuh.” Ketika dia kena kanker, kita akan komentar,”Nah, Tuhan lagi menegur dia, makanya jangan cerai, itu ‘kan ‘mendukakan hati Tuhan’.” Lah, emangnya pas kita nyuap polisi dan markup harga di kwitansi, Tuhan nggak sedih?
Gue anti perceraian tapi percayalah, pembagian dalam hidup nggak melulu ‘hitam’ dan ‘putih’, bisa ‘buruk dan ‘lebih buruk’, bahkan bisa ‘hidup’ dan ‘mati’ dalam arti mental, spiritual, emosional dan jasmani. Contoh: Ada suami pengangguran yang kerap mencuri uang istri dan memperkosa anaknya. Sebagian dari kita bilang gini,“Ya didoakan aja, nggak ada yang mustahil buat Tuhan, suaminya pasti bertobat.” Jika suami seperti itu dipertahankan, resikonya anak-anak akan dropout, tidak berkembang secara sehat dan miskin. Mereka mengalami trauma seksual yang akan berlanjut sampai tua, berpotensi mengalami gangguan jiwa, ibunya tidak bisa maksimal dalam bekerja, sekeluarga mengalami luka batin dan suami punya kesempatan tak terbatas untuk leha-leha makan uang istri sambil memuaskan nafsu jahatnya.
Kalo si istri mempertahankan pernikahan tersebut, artinya dia ‘kristen yang bodoh, ibu yang jahat dan istri yang picik’ atau ‘kristen yang taat, ibu yang beriman dan istri teladan’ ? Kalo si istri nggak gugat cerai, coba tanya,”Bu, ‘kan Ibu mempertahankan suami Ibu, apa sih yang Ibu dapat dari keputusan itu selain perasaan bersih dan puas bahwa Ibu udah menyenangkan Tuhan? Apa Tuhan senang lihat anak Ibu diperkosa, suami ibu tambah malas dan uang Ibu dirampok?”
Hmmm…Hidup nggak semudah menghafal ayat, bukan?
Contoh lain dari rendahnya empati kita adalah saat kita ngomong,”Lu gay? God created Adam and Eve, bukan Adam and Steve, bertobatlah.” Atau, “Haaa? Lu aborsi! Gilaaa!!!Apaa? Lu nikah lagi? Jadi istri kedua dong?! Doosa taukkkk….” Sama eperti elu, gue nggak setuju dengan itu semua. Karena nggak setuju kita lalu berasa jadi manusia yang lebih baik dan nggak mau tahu asal muasal mengapa mereka bisa ada di kondisi itu. Kita tak punya informasi sedikitpun tentang kisah mereka tapi punya banyak pengetahuan tentang ayat yang mengutuk itu semua sehingga kita tak segan mengambil peran Tuhan untuk menghakimi. Kita menjelma jadi kaum legalistik yang defisit empati dan nggak kepikiran bahwa sesungguhnya mereka mau ngomong begini sambil nangis-nangis,”Lo nggak tau ya, kalo gue bisa lewatin hidup gue sehariiii aja, itu udah bagus banget.”
Sebuah institusi Kristen mengundang kaum LGBT untuk cari tahu apa yang bisa dilakukan kalangan Kristen untuk menolong mereka. Yang datang adalah seorang gay yang pernah diarak dalam kondisi bugil setelah ketangkap basah saat berhubungan dengan pacarnya. Orang-orang di institusi itu mikirnya ‘tinggi’, mungkin dia mau payung hukum, ada UU atau sejenisnya. Tau gak apa yang dikatakan gay tersebut? Hanya satu:”Kami ingin diperlakukan, dihormati, layaknya manusia pada umumnya.”
Jleb!
Kesalahan kita adalah kita lebih gemar bicara daripada mendengar, lebih senang berkata-kata daripada membangun hubungan. Kita cepat-cepat ngomong soal Yesus ke orang yang baru kenal, coba cek, kenapa? Jangan-jangan bukan karena mengamini Yoh. 14:6 tapi karena ingin bilang,”Tuhan, tugas saya udah beres, ya? Saya udah ngomong soal Tuhan lho ke dia. Jadi, kalo dia nggak selamat ya jangan salahin saya.”
Hmm…Itu penginjilan atau ingin cuci tangan, sih?
Pasti ada yang komentar,”Liberal lu ah, kalo Tuhan yang nyuruh kita ngomong ke dia, masa’ kita nolak?” Gue percaya dengan istilah ‘Tuhan ngomong’ ya tapinya harus hati-hati (I Yoh.4:1,”Ujilah roh”). Iyanla Vanzant ditawarin kerja bareng oleh Oprah Winfrey dan juga oleh Barbara Walters, keduanya adalah pentolan dunia jurnalistik di Amerika. Bagaimanapun, akhirnya dua tawaran itu batal semua karena (sesuatu yang dia anggap sebagai) ‘suara Tuhan’ dan dia nyesal abis-abisan. Untuk detailnya, cari episode Oprah lagi rekonsiliasi sama Iyanla.
Poin berikutnya, bagaimana kalo (3.2) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara mempreteli Doa Bapa Kami baris per baris lalu kita tulis cara mempraktikannya? Kita butuh bantuan orang lain untuk melakukannya karena kita punya kepekaan masing-masing. Coba deh dijadiin topik komsel. Contoh
3.2.1:“Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya….
Kita mau beliin jas hujan untuk satpam deket rumah tapi kalo jadi beliin, untuk beberapa waktu kita hanya bisa beli roti di minimarket, nggak sanggup Dapur Cokelat. Jadi gimana ya…Trus kita ngitung suara tokek:Beliin…Nggak..Beliin…Nggak…Wuih…Suara tokeknya berhenti! Berarti ‘nggak’, horee… Lha, emangnya kita minta makanan mewah pas berdoa ? Kalo mau ngikutin ayat itu, kita mesti beliin jas hujan dan makan roti murah beberapa hari. Lagipula,”Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain tapi harus semakin mengenal batas,” begitu kata Pramoedya Ananta Toer.
Susah? Memang. Semua ajaran di Alkitab susah dipraktekkin karena isinya bertentangan dengan naluri dan kebiasaan kita.
Contoh 3.2.2:“ Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga.”
Saat terlibat konflik, kita sering diam. Kalo serius ingin mempraktikkan doa di atas, ajakin ngomong 4 mata tuh orang yang mukanya bikin darah lo berasa panas (Pasti sekarang ada muka seseorang yang melintas di otak lu, hahaha). Coba liat Mat. 18:15. Sebagian dari kita ngeles, “Wah susah, frontal amat. Hanya orang Batak yang bisa melakukan itu.” Bah! Apa di Alkitab ada tulisan *S&K, Syarat dan Ketentuan Berlaku ?
Nah, susah 'kan memaknai ulang kekristenan, kita harus bergerak melampaui (atau menabrak?) budaya dan melanggar kenyamanan hidup.
Berikutnya, bagaimana kalo (3.3) kita memaknai ulang kekristenan dengan cara lebih banyak berbuat daripada berkata-kata?
Terlalu banyak bicara menjebak kita untuk jatuh ke dalam hipokrisi akut. Gue hanya mau berdebat tentang agama setelah berbuat kebaikan 10x. Standar gue tinggi: Ngebukain pintu buat orang di belakang gue, bikinin suami teh manis, dan kebaikan lain yang ‘pasaran’ kayak gitu, nggak gue itung. Gue pernah diundang ke acara debat Islam-Kristen 2 minggu sebelum hari-H. Dalam 2 minggu itu gue hanya bisa berbuat baik 4x padahal target gue 10. Gue yakin kalo datang pasti gue banyak nanya atau ngoceh padahal gue nggak mau kebanyakan ngomong tapi berbuatnya terlalu sedikit. Jadi, gue jumpalitan untuk berbuat baik 10 x secara khusus selama 2 minggu. Susahnya, ampunnnn.
Lu nggak perlu ekstrem kayak gue. Dimodifikasi aja, mungkin jadi gini,’Untuk setiap 5 pasal Alkitab yang gue baca, harus ada cleaning service yang gue ajak ngobrol minimal 5 menit’ atau ’sesudah 5 postingan tentang Alkitab, gue harus posting tentang perkembangan kasus hukum penghina Jokowi, Sea Games, efek narkoba, full-day school, konservasi lingkungan, amnesti pajak, atau hal lain’.
Get real, buddies. Tunjukkan pada dunia bahwa kita peduli dengan masalah bangsa dan kaki kita masih menjejak di bumi. Lupakah kita bahwa Yesus begitu peduli terhadap korban penindasan Kaisar Romawi? Tidak tahukah kita bahwa isu-isu lingkungan, gender, keadilan sosial, kepedulian terhadap hewan, dan lain-lain, juga ada di Alkitab?
***
BTW, pertanyaan berikut mudah-mudahan bisa berguna buat kita…
Cek friendlist di sosmed dan daftar nomor HP, apakah isinya Kristen semua? Saat kita meninggal, kira-kira ada nggak orang beda iman yang akan nangis? Kita lebih memilih untuk jadi ‘an honest sinner’ atau ‘a lying hypocrite’? Kapan terakhir kita membantu orang beda iman dan bangun relasi dengan mereka? Apakah isi rak buku kita hanya buku kristen? Kalau ya, kita bangga atau malu?
Garam baru berfungsi kalo keluar dari tempat garam.”Garam ketemu garam di tempat garam, lama-lama hipertensi,” kata seorang teman.
Lo cek jumlah orang beda iman di HP lu, misalnya 2 % dari semua yang ada di situ, bukan orang Kristen. Nah, lu pasang target. Cek 1 tahun lagi. Jumlahnya mesti nambah minimal jadi 5%. Berdoa, minta sama Tuhan supaya dikasih jalan agar bisa bangun relasi dengan yang berbeda iman. Jangan cuma berdoa minta Xenia kita ganti jadi BMW. Tuhan sedih kalo kita keseringan berdoa soal duit. Kesannya matre banget. Kita ‘kan juga sedih kalo anak kita cuma minta duit tiap kali dia nelfon?
Temen gue pernah nanya ke sekelompok anak muda Kristen, jumlahnya lebih dari 200 orang. “Apa yang kalian lakukan kepada Muslim?” Jawaban mereka,”Kami menjauh dari mereka, kami takut.” Ya iya sih, yang ngebakar gereja pada Muslim semua, cuma ya nggak usah gitu-gitu amat kali, ya… Kakak gue Muslim semua, pada asik-asik aja tuh.
Mungkin kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa sih yang kita dapat dari kenyamanan hidup di tempat garam selain perasaan bahwa hidup kita bersih dan kalo 5 menit lagi mati pasti masuk surga?
Jawaban atas pertanyaan di atas dan solusi atau implikasinya, semoga bisa membuat kasus Osteen tidak terulang lagi. Kayaknya mustahil untuk nggak terulang lagi karena hal ini udah dibahas di Wahyu lewat ayat-ayat tentang jemaat di Laodikia.
Ya tapi paling nggak, kalo terulang lagi, mudah-mudahan bukan (gereja) kita pelakunya.
5/9/2017
Meicky Shoreamanis Panggabean