Anne of the Avonlea:Kursus Kilat Kehidupan
Penulis : Lucy M. Montgomery
Penerbit : Qanita
Jml. Halaman : 432
ISBN : 978-9-793-26996-2
“Itulah keindahan orang-orang khayalan…mereka tetap berusia seperti yang kita inginkan”. Kalimat ini diutarakan Lucy E. Montgomery melalui mulut Paul Irving, sahabat Anne di ‘Anne of the Avonlea’ yang merupakan serial kedua dari delapan buku mengenai kehidupan Anne Shirley. Bagaimanapun, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Paul, Montgomery membiarkan Anne bertumbuh dari anak berusia 11 tahun di buku pertama hingga menjadi wanita matang berusia 53 tahun di sekuel terakhir.
Dalam serial pertama, yaitu ‘Anne of The Green Gables’, Lucy menampilkan 5 tahun kehidupan Anne sebagai si mungil dari rumah yang disebut Green Gables. Pada buku kedua ini, ia menghadirkan dua tahun kehidupan Anne sebagai remaja, dari usia 16 hingga 18 tahun, yang mengambil peran penting di Avonlea, daerah tempat Green Gables dibangun.
Scope yang lebih luas ini sekaligus menunjukkan kecemerlangan Montgomery dalam merangkai cerita, tak heran jika tokoh rekaan ini memiliki penggemar setia yang tersebar di banyak negara dan kerap berkumpul di berbagai situs dunia maya. Montgomery membuat Anne menjadi bernyawa:Memberinya asal-usul, kebiasaan serta karakter yang amat nyata dan menciptakan dunia serta konflik tempat gadis berambut merah ini berkembang.
Mudah ditebak, dalam cerita ini Anne tetap merupakan seorang pengkhayal ulung menggemaskan yang penuh ide. Coba saja simak, ia berinisiatif untuk memindahkan hari ulang tahunnya ke musim semi dan merasa bersaudara dengan bunga-bunga yang bermekaran di saat itu (hal.166). Ia juga masih kerap bersikap impulsif, ceroboh serta berlebihan. Lihatlah, ia menjual sapi tetangga karena mengira itu adalah sapi miliknya dan merasa seperti seorang pesakitan yang hendak menjalani eksekusi ketika akan mengakui kesalahannya.
Anne juga masih merupakan sosok keras kepala serta naïf. Ia dengan yakin mendorong seorang anak super duper bandel berusia tujuh tahun, Davey, untuk menjadi pria terhormat dan tercengang saat ia menolak keras usulan tersebut (Hal.105). Anne juga sangat percaya bahwa beragam masalah yang menimpa murid-muridnya dapat diselesaikan dengan cara yang sama. Murid ?
Ya, Anne memang memiliki murid-murid. Ia seorang pendidik yang baru saja lulus Sekolah Guru di Queens dan mengajar dengan idealisme yang sepertinya tak bisa luntur. Oleh karena itulah buku kedua ini amat kaya. Di dalamnya kita akan jumpai Anne sebagai guru dengan berbagai pengalaman mengajarnya yang amat menarik. Kita juga akan temui Anne sebagai warga desa yang baik dan berinisiatif membentuk kelompok untuk membuat Avonlea menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Kita juga akan melihat Anne beraksi sebagai remaja iseng kurang kerjaan yang menyamar sebagai ‘Pengamat’, mengisi rubrik surat pembaca di koran lokal. Last but not least, di sepanjang buku kita juga akan bertemu dengan banyak sosok serta cerita yang membuat kisah menjadi amat berwarna.
Lihatlah, ada Paul Irving serta Ms.Lavender, dua orang yang usianya terpaut hampir empat puluh tahun namun terikat oleh kebiasaan yang sama dengan Anne:Berkhayal. Ada juga Davey, bocah tujuh tahun yang menganggap bahwa kenakalan adalah sesuatu yang asyik , dan saudara kembarnya Dora yang terlalu penurut dan amat membosankan. Kita juga bisa berjumpa dengan Mr.Harrison, pria misterius yang bersahabat dengan burung beo bermulut pedas serta, ah ya, tak lupa tentu saja Mrs. Allan yang bijak dan mengajarkan Anne,”…Bukan kegagalan yang merupakan kejahatan tapi cita-cita yang dangkal”.
Buku pun sarat dengan kejadian seru:Kedatangan mendadak penulis favorit Anne ke rumahnya, cinta sejati Ms.Lavender yang berakhir persis seperti film Hollywood, kisah rumah tangga Mr.Harrison yang unik, kenakalan Davy yang kerap mencengangkan seperti pertunjukan sulap serta runtuhnya berbagai teori Anne tentang pendidikan.
***
Tentu saja buku yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1909 ini tak akan dipuji banyak peminat baca dan disiarkan filmnya oleh Disney Channel pada akhir 1980an hanya karena hadirnya belasan tokoh serta cerita di dalamnya. Dengan ringan, di berbagai kesempatan Montgomery memasukkan banyak ajaran arif tentang hidup.
Kita diingatkan akan pentingnya bertoleransi dalam dialog yang terjalin antara Mr.Harrison dengan Anne (Hal.116). Pikiran kita akan dibawa melayang ke dalam kekuatan cinta-not too good to be true dalam dunia nyata-melalui lika-liku kehidupan keluarga Harrison serta Ms.Lavender. Eliza yang optimistis dan Katherine yang pesimistis memperkaya kita untuk melihat hidup dari sudut pandang yang bertolak belakang, bukan hanya berlainan. Bahkan, mungkin karena terlalu bersemangat, Montgomery dalam beberapa bagian juga melibatkan Davey dan Paul Irving, keduanya baru berusia sekitar tujuh tahun, dalam dialog-dialog cerdas yang sesungguhnya terlalu tua untuk bisa mereka alami. Adapun Anne, sebagai tokoh utama, hadir sebagai gadis berpenampilan aneh namun memiliki budi yang manis.
Kepiawaian Montgomery dalam bercerita disempurnakan oleh kemampuan tinggi penerjemah, terutama ketika menyajikan karakter Davey. Kenakalan saudara angkat Anne ini bisa langsung kita rasakan kehadirannya melalui tutur katanya yang diterjemahkan ke dalam serangkaian kalimat berlogat Betawi dan terkesan sembarangan. Dengan amat baik, penerjemah berhasil menunjukkan kepada pembaca bahwa Davey memang adalah seorang bocah bandel yang kerap bicara tanpa menggunakan sopan santun alias hanya memakai mulut belaka.
Jadi, mengertilah kita sekarang, mengapa buku ini beserta tujuh serial lainnya bisa terjual lebih dari lima puluh juta eksemplar dan dianggap karya klasik .
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis ‘Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-sisi Personal Munir’ (Mizan, 2008).
Penerbit : Qanita
Jml. Halaman : 432
ISBN : 978-9-793-26996-2
“Itulah keindahan orang-orang khayalan…mereka tetap berusia seperti yang kita inginkan”. Kalimat ini diutarakan Lucy E. Montgomery melalui mulut Paul Irving, sahabat Anne di ‘Anne of the Avonlea’ yang merupakan serial kedua dari delapan buku mengenai kehidupan Anne Shirley. Bagaimanapun, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Paul, Montgomery membiarkan Anne bertumbuh dari anak berusia 11 tahun di buku pertama hingga menjadi wanita matang berusia 53 tahun di sekuel terakhir.
Dalam serial pertama, yaitu ‘Anne of The Green Gables’, Lucy menampilkan 5 tahun kehidupan Anne sebagai si mungil dari rumah yang disebut Green Gables. Pada buku kedua ini, ia menghadirkan dua tahun kehidupan Anne sebagai remaja, dari usia 16 hingga 18 tahun, yang mengambil peran penting di Avonlea, daerah tempat Green Gables dibangun.
Scope yang lebih luas ini sekaligus menunjukkan kecemerlangan Montgomery dalam merangkai cerita, tak heran jika tokoh rekaan ini memiliki penggemar setia yang tersebar di banyak negara dan kerap berkumpul di berbagai situs dunia maya. Montgomery membuat Anne menjadi bernyawa:Memberinya asal-usul, kebiasaan serta karakter yang amat nyata dan menciptakan dunia serta konflik tempat gadis berambut merah ini berkembang.
Mudah ditebak, dalam cerita ini Anne tetap merupakan seorang pengkhayal ulung menggemaskan yang penuh ide. Coba saja simak, ia berinisiatif untuk memindahkan hari ulang tahunnya ke musim semi dan merasa bersaudara dengan bunga-bunga yang bermekaran di saat itu (hal.166). Ia juga masih kerap bersikap impulsif, ceroboh serta berlebihan. Lihatlah, ia menjual sapi tetangga karena mengira itu adalah sapi miliknya dan merasa seperti seorang pesakitan yang hendak menjalani eksekusi ketika akan mengakui kesalahannya.
Anne juga masih merupakan sosok keras kepala serta naïf. Ia dengan yakin mendorong seorang anak super duper bandel berusia tujuh tahun, Davey, untuk menjadi pria terhormat dan tercengang saat ia menolak keras usulan tersebut (Hal.105). Anne juga sangat percaya bahwa beragam masalah yang menimpa murid-muridnya dapat diselesaikan dengan cara yang sama. Murid ?
Ya, Anne memang memiliki murid-murid. Ia seorang pendidik yang baru saja lulus Sekolah Guru di Queens dan mengajar dengan idealisme yang sepertinya tak bisa luntur. Oleh karena itulah buku kedua ini amat kaya. Di dalamnya kita akan jumpai Anne sebagai guru dengan berbagai pengalaman mengajarnya yang amat menarik. Kita juga akan temui Anne sebagai warga desa yang baik dan berinisiatif membentuk kelompok untuk membuat Avonlea menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali. Kita juga akan melihat Anne beraksi sebagai remaja iseng kurang kerjaan yang menyamar sebagai ‘Pengamat’, mengisi rubrik surat pembaca di koran lokal. Last but not least, di sepanjang buku kita juga akan bertemu dengan banyak sosok serta cerita yang membuat kisah menjadi amat berwarna.
Lihatlah, ada Paul Irving serta Ms.Lavender, dua orang yang usianya terpaut hampir empat puluh tahun namun terikat oleh kebiasaan yang sama dengan Anne:Berkhayal. Ada juga Davey, bocah tujuh tahun yang menganggap bahwa kenakalan adalah sesuatu yang asyik , dan saudara kembarnya Dora yang terlalu penurut dan amat membosankan. Kita juga bisa berjumpa dengan Mr.Harrison, pria misterius yang bersahabat dengan burung beo bermulut pedas serta, ah ya, tak lupa tentu saja Mrs. Allan yang bijak dan mengajarkan Anne,”…Bukan kegagalan yang merupakan kejahatan tapi cita-cita yang dangkal”.
Buku pun sarat dengan kejadian seru:Kedatangan mendadak penulis favorit Anne ke rumahnya, cinta sejati Ms.Lavender yang berakhir persis seperti film Hollywood, kisah rumah tangga Mr.Harrison yang unik, kenakalan Davy yang kerap mencengangkan seperti pertunjukan sulap serta runtuhnya berbagai teori Anne tentang pendidikan.
***
Tentu saja buku yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1909 ini tak akan dipuji banyak peminat baca dan disiarkan filmnya oleh Disney Channel pada akhir 1980an hanya karena hadirnya belasan tokoh serta cerita di dalamnya. Dengan ringan, di berbagai kesempatan Montgomery memasukkan banyak ajaran arif tentang hidup.
Kita diingatkan akan pentingnya bertoleransi dalam dialog yang terjalin antara Mr.Harrison dengan Anne (Hal.116). Pikiran kita akan dibawa melayang ke dalam kekuatan cinta-not too good to be true dalam dunia nyata-melalui lika-liku kehidupan keluarga Harrison serta Ms.Lavender. Eliza yang optimistis dan Katherine yang pesimistis memperkaya kita untuk melihat hidup dari sudut pandang yang bertolak belakang, bukan hanya berlainan. Bahkan, mungkin karena terlalu bersemangat, Montgomery dalam beberapa bagian juga melibatkan Davey dan Paul Irving, keduanya baru berusia sekitar tujuh tahun, dalam dialog-dialog cerdas yang sesungguhnya terlalu tua untuk bisa mereka alami. Adapun Anne, sebagai tokoh utama, hadir sebagai gadis berpenampilan aneh namun memiliki budi yang manis.
Kepiawaian Montgomery dalam bercerita disempurnakan oleh kemampuan tinggi penerjemah, terutama ketika menyajikan karakter Davey. Kenakalan saudara angkat Anne ini bisa langsung kita rasakan kehadirannya melalui tutur katanya yang diterjemahkan ke dalam serangkaian kalimat berlogat Betawi dan terkesan sembarangan. Dengan amat baik, penerjemah berhasil menunjukkan kepada pembaca bahwa Davey memang adalah seorang bocah bandel yang kerap bicara tanpa menggunakan sopan santun alias hanya memakai mulut belaka.
Jadi, mengertilah kita sekarang, mengapa buku ini beserta tujuh serial lainnya bisa terjual lebih dari lima puluh juta eksemplar dan dianggap karya klasik .
*Guru Pelita Harapan Lippo-Cikarang, Penulis ‘Keberanian Bernama Munir:Mengenal Sisi-sisi Personal Munir’ (Mizan, 2008).