KEMATIAN ORANG JAHAT
Orang jahat bisa saja sayang keluarga. Tontonlah trilogi The Godfather. Tokoh utamanya bernama Michael, dimainkan oleh Al Pacino. Mungkin aktingnya ditonton semua juri sembari main bekel sehingga ia nggak dapat Oscar untuk Godfather II.
Michael segitu ogahnya masuk dunia kriminal sampe dia pergi jauh untuk kuliah dan ikut wajib militer. Namun setelah ayahnya meninggal, ia langsung menjalankan wasiat ayahnya untuk jadi bos mafia. 15an tahun kemudian, Mike membunuh kakaknya, Fredo, karena Fredo mengkhianati keluarga. Walau bencinya udah nyampe ubun-ubun, Mike baru membunuh setelah ibu mereka meninggal.“Gue nggak mau dia kenapa-napa selama Nyokap masih hidup,”kata Mike kepada tukang pukulnya. Ia paham ibunya akan sengsara jika anaknya duluan mati.
Kadar sayang bos mafia ini terhadap keluarga, terlepas dari cara mengekspresikannya yang error dan membuat istrinya minggat, boleh deh diadu dengan kaum moralis atau golongan religius. Kalo soal kadar, selalu ada saja kemungkinan Michael yang menang. Jadi, tak usah heran saat melihat ada orang jahat yang kematiannya ditangisi dengan pedih oleh keluarga. Wilayah privat orang memang kerap punya cerita unik.
Lantas, bagaimana dengan kita yang udah bosen melihat kiprah si jahat di tataran publik? Yang paham bahwa pergerakannya sangat destruktif dan telah menjadikan banyak orang miskin sebagai makhluk papa yang paripurna: Miskin materi, moral, empati, dan ilmu? Miskin akan semua hal yang benar, bagus, dan baik?
Banyak orang yang bingung saat mendengar kematian orang jahat. Mau gembira, kayaknya kok kejam. Mau sedih, nggak bisa. Untuk berpura-pura sedih, banyak yang mampu tapi apakah mau? Hati kecil pasti langsung protes,”Munafik lu! Sok-sok sedih kayak gitu. Elu ‘kan aslinya mau potong tumpeng bareng keluarga, ya ‘kannnn...”
Lalu, kita harus bereaksi bagaimana saat mendengar orang jahat mati?
Tuhan ngomong gini di Yehezkiel 18:23:”Apakah kau pikir Aku, TUHAN Yang Maha Tinggi, senang kalau orang yang jahat mati? Sama sekali tidak! Aku ingin ia meninggalkan dosa-dosanya supaya ia tetap hidup.” Tuhan memang standarNya tinggi, beda dari Daud. Kalo Daud bilang begini,”Biarlah habis orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang fasik tidak ada lagi! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Haleluya !”
Dalam hal ini, Daud selevel dengan Rabbi Meir Baal HaNes. Alkisah, Rabbi Meir mendoakan tetangganya yang jahat supaya cepet mati. Istrinya, Bruria, lalu mengutip Mazmur 104:35,“Biarlah dosa dicabut dari bumi, dan orang fasik tidak ada lagi”. Kata Bruria,”Biarkan dosa yang dicabut. ‘Dosa’ loh, bukannya ‘orang berdosa’.” Anak martir beda ya, otaknya lurus banget. Eh nggak juga sih, kakaknya ada yang jadi penjahat.
Adapun Martin Luther King, Jr pernah ngomong begini,“Saya tidak akan bersukacita atas kematian satu orang, walau ia musuh sekalipun. Kebencian tidak bisa mengusir kebencian: Hanya kasih yang bisa melakukannya.” Kesimpulannya, berbahagia atas kematian orang jahat, sebarbarik apapun orang itu, tak pernah bisa dibenarkan.
Kematian orang jahat membuat kejahatan berkurang. Jumlah kriminalitas di dunia mungkin meningkat tapi minimal, jumlah kejahatan yang terjadi dari tangan penjahat yang telah mati, otomatis menyentuh angka nol. Jadi, mungkin tak apa-apa bergembira atas dampak kematiannya, bukan karena kematian itu sendiri.
Membingungkan? Tentu saja. Bagaimana bisa kita tak berbahagia atas kematian seorang penjahat yang kematiannya membuat dunia menjadi lebih baik? Dunia dengan 20.000 penjahat lebih baik daripada dunia dengan 20.001 penjahat, bukan?
”Apa reaksi yang tepat saat mendengar kabar orang jahat mati” memang bukan pertanyaan sederhana. Bahwa Tuhan ingin kita bersedih, ini sudah pasti. Bahwa ada yang enggan mengikuti jejakNya untuk berduka, ini juga sudah pasti. Hal pasti lainnya adalah bahwa seseorang bisa menjadi jahat karena proses kehidupan yang ia lalui memungkinkannya untuk menjadi jahat.
Dan, kita pasti ikut serta di dalam proses itu. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Entah dengan aktif atau mungkin pasif, sekedar diam dan bersikap permisif.
Oleh karena itulah, kematian orang jahat bisa kita jadikan momentum untuk berefleksi. Ia yang mati adalah politisi korup? Bagaimana dengan 2024, berminat Golputkah kita? Terima serangkan fajarkah? Tertarik politik identitaskah? Bisa dibelikah suara kita?
Apakah teman dan saudara yang relatif bersih dan ingin masuk politik, kita komentari,”Repot loh, nanti elo ninggalin keluarga terus” atau sebaliknya, kita beri semangat,”Bagus itu, biarkan keluarga elo belajar berbagi dengan masyarakat. Masa’ punya anggota keluarga sekeren elo, nggak bagi-bagi?!”
Kematian orang jahat juga bisa jadi momen untuk kembali mengingat bahwa ada nilai yang mesti kita perangi:Ketidakadilan dan keserakahan, misalnya. Sebagian dari kita belum mampu bersikap seperti Tuhan: Berduka atas kematian orang jahat. Sebagian lainnya mampu tapi tak mau. Sisanya mampu dan mau.
Bagaimanapun, mudah-mudahan kita semua mampu dan mau menjadikan kematian orang jahat sebagai alarm: Sebagai sebuah bel yang berdering untuk mengingatkan kita bahwa keadilan sosial adalah gagasan utopis, ide yang mustahil, namun tetap layak diperjuangkan.
Bahwa kejahatan ada di mana-mana dan kita adalah bagian integral dari terbentuknya bandit-bandit itu.
Dan bahwa kita punya kewajiban moral untuk meminimalisir keterlibatan kita dalam proses bermetamorfosanya seseorang menjadi penjahat.
5 Juli 2021
09.01 WIB
Michael segitu ogahnya masuk dunia kriminal sampe dia pergi jauh untuk kuliah dan ikut wajib militer. Namun setelah ayahnya meninggal, ia langsung menjalankan wasiat ayahnya untuk jadi bos mafia. 15an tahun kemudian, Mike membunuh kakaknya, Fredo, karena Fredo mengkhianati keluarga. Walau bencinya udah nyampe ubun-ubun, Mike baru membunuh setelah ibu mereka meninggal.“Gue nggak mau dia kenapa-napa selama Nyokap masih hidup,”kata Mike kepada tukang pukulnya. Ia paham ibunya akan sengsara jika anaknya duluan mati.
Kadar sayang bos mafia ini terhadap keluarga, terlepas dari cara mengekspresikannya yang error dan membuat istrinya minggat, boleh deh diadu dengan kaum moralis atau golongan religius. Kalo soal kadar, selalu ada saja kemungkinan Michael yang menang. Jadi, tak usah heran saat melihat ada orang jahat yang kematiannya ditangisi dengan pedih oleh keluarga. Wilayah privat orang memang kerap punya cerita unik.
Lantas, bagaimana dengan kita yang udah bosen melihat kiprah si jahat di tataran publik? Yang paham bahwa pergerakannya sangat destruktif dan telah menjadikan banyak orang miskin sebagai makhluk papa yang paripurna: Miskin materi, moral, empati, dan ilmu? Miskin akan semua hal yang benar, bagus, dan baik?
Banyak orang yang bingung saat mendengar kematian orang jahat. Mau gembira, kayaknya kok kejam. Mau sedih, nggak bisa. Untuk berpura-pura sedih, banyak yang mampu tapi apakah mau? Hati kecil pasti langsung protes,”Munafik lu! Sok-sok sedih kayak gitu. Elu ‘kan aslinya mau potong tumpeng bareng keluarga, ya ‘kannnn...”
Lalu, kita harus bereaksi bagaimana saat mendengar orang jahat mati?
Tuhan ngomong gini di Yehezkiel 18:23:”Apakah kau pikir Aku, TUHAN Yang Maha Tinggi, senang kalau orang yang jahat mati? Sama sekali tidak! Aku ingin ia meninggalkan dosa-dosanya supaya ia tetap hidup.” Tuhan memang standarNya tinggi, beda dari Daud. Kalo Daud bilang begini,”Biarlah habis orang berdosa dari bumi, dan biarlah orang fasik tidak ada lagi! Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Haleluya !”
Dalam hal ini, Daud selevel dengan Rabbi Meir Baal HaNes. Alkisah, Rabbi Meir mendoakan tetangganya yang jahat supaya cepet mati. Istrinya, Bruria, lalu mengutip Mazmur 104:35,“Biarlah dosa dicabut dari bumi, dan orang fasik tidak ada lagi”. Kata Bruria,”Biarkan dosa yang dicabut. ‘Dosa’ loh, bukannya ‘orang berdosa’.” Anak martir beda ya, otaknya lurus banget. Eh nggak juga sih, kakaknya ada yang jadi penjahat.
Adapun Martin Luther King, Jr pernah ngomong begini,“Saya tidak akan bersukacita atas kematian satu orang, walau ia musuh sekalipun. Kebencian tidak bisa mengusir kebencian: Hanya kasih yang bisa melakukannya.” Kesimpulannya, berbahagia atas kematian orang jahat, sebarbarik apapun orang itu, tak pernah bisa dibenarkan.
Kematian orang jahat membuat kejahatan berkurang. Jumlah kriminalitas di dunia mungkin meningkat tapi minimal, jumlah kejahatan yang terjadi dari tangan penjahat yang telah mati, otomatis menyentuh angka nol. Jadi, mungkin tak apa-apa bergembira atas dampak kematiannya, bukan karena kematian itu sendiri.
Membingungkan? Tentu saja. Bagaimana bisa kita tak berbahagia atas kematian seorang penjahat yang kematiannya membuat dunia menjadi lebih baik? Dunia dengan 20.000 penjahat lebih baik daripada dunia dengan 20.001 penjahat, bukan?
”Apa reaksi yang tepat saat mendengar kabar orang jahat mati” memang bukan pertanyaan sederhana. Bahwa Tuhan ingin kita bersedih, ini sudah pasti. Bahwa ada yang enggan mengikuti jejakNya untuk berduka, ini juga sudah pasti. Hal pasti lainnya adalah bahwa seseorang bisa menjadi jahat karena proses kehidupan yang ia lalui memungkinkannya untuk menjadi jahat.
Dan, kita pasti ikut serta di dalam proses itu. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Entah dengan aktif atau mungkin pasif, sekedar diam dan bersikap permisif.
Oleh karena itulah, kematian orang jahat bisa kita jadikan momentum untuk berefleksi. Ia yang mati adalah politisi korup? Bagaimana dengan 2024, berminat Golputkah kita? Terima serangkan fajarkah? Tertarik politik identitaskah? Bisa dibelikah suara kita?
Apakah teman dan saudara yang relatif bersih dan ingin masuk politik, kita komentari,”Repot loh, nanti elo ninggalin keluarga terus” atau sebaliknya, kita beri semangat,”Bagus itu, biarkan keluarga elo belajar berbagi dengan masyarakat. Masa’ punya anggota keluarga sekeren elo, nggak bagi-bagi?!”
Kematian orang jahat juga bisa jadi momen untuk kembali mengingat bahwa ada nilai yang mesti kita perangi:Ketidakadilan dan keserakahan, misalnya. Sebagian dari kita belum mampu bersikap seperti Tuhan: Berduka atas kematian orang jahat. Sebagian lainnya mampu tapi tak mau. Sisanya mampu dan mau.
Bagaimanapun, mudah-mudahan kita semua mampu dan mau menjadikan kematian orang jahat sebagai alarm: Sebagai sebuah bel yang berdering untuk mengingatkan kita bahwa keadilan sosial adalah gagasan utopis, ide yang mustahil, namun tetap layak diperjuangkan.
Bahwa kejahatan ada di mana-mana dan kita adalah bagian integral dari terbentuknya bandit-bandit itu.
Dan bahwa kita punya kewajiban moral untuk meminimalisir keterlibatan kita dalam proses bermetamorfosanya seseorang menjadi penjahat.
5 Juli 2021
09.01 WIB