Memperingati Hari Valentine
Wanita Karir=Ibu Dengan Cinta Tak Utuh ?
Saya berpendapat bahwa profesi paling mulia sejagad adalah ibu rumah tangga, guru,dan dokter. Saya berulang kali bilang ke murid-murid perempuan bahwa kalau mereka sudah kuliah S3 lantas merasa terpanggil untuk jadi ibu rumah tangga ya turuti saja panggilan itu. Jangan berpikir,”Rugi udah kuliah tinggi-tinggi kok buntut-buntutnya jadi ibu rumah tangga”. Saya sampaikan bahwa ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang amat mulia dan seorang anak perlu dididik oleh ibu yang cerdas.
Mudah sekali melihat kelebihan dan kemuliaan profesi ibu rumah tangga namun susah bagi SEBAGIAN orang untuk memahami kenyataan bahwa kadar keibuan ibu rumah tangga tidak lebih tinggi daripada wanita karir. Sebagian orang sulit memahami kenyataan bahwa wanita karir mencintai anak mereka sama besarnya dengan para ibu rumah tangga mengasihi buah hatinya. Sebagian orang berpendapat bahwa kegagalan ibu untuk 100 % berada di rumah menunjukkan bahwa ibu tersebut gagal juga untuk 100% mencintai anaknya. Rasanya masih cukup banyak yang percaya bahwa keberadaan ibu secara fisik sejumlah 100% secara otomatis berarti perhatian 100 % kepada anak. Saya merasa masih banyak orang yang berpendapat bahwa ketidakhadiran ibu secara utuh berarti hidup anak terbengkalai, mereka kurang perhatian dan kasih sayang, pendidikan nilai dan karakter tak terurus, plus hal-hal terpenting dalam hidup tak bisa mereka serap.
Saya bekerja dari pagi hingga sore. Saya rajin mengupgrade blog dan pernah membuat 3 buku. Saya kerap mondar-mandir untuk wawancara orang-orang sehubungan dengan keperluan menulis. Sibuk ? Lumayan. Anak terbengkalai ? Ooo...Itu lain hal. Tentu tidak.
Ketika berusia 7 tahun, anak saya tanpa disuruh menyumbangkan seluruh tabungannya untuk pembantu yang miskin.
Atas inisiatifnya sendiri saat berumur 9 tahun ia memberikan semua isi celengannya bagi korban topan Filipina.
Saat usia 6 tahun ia bahkan membuat poster untuk menawarkan jasa mengelap jendela mobil untuk mencari dana bagi anak-anak miskin.
Ia bisa dua bahasa secara aktif (Indonesia dan Inggris) serta satu bahasa secara pasif (Lancar membaca dan menulis tulisan Korea namun belum bisa melakukan percakapan dalam Bahasa Korea).
Umur 7 tahun ia sudah bisa membuat film dengan Windows Movie Maker dan saat teman-teman sekelasnya memakai Power Point Presentation, ia sudah menggunakan Prezi saat melakukan presentasi.
Tanpa dipaksa siapapun, ia tergila-gila ikut kursus dan les pun ia jalani dari Senin sampai Jumat dengan senang hati ( Cita-citanya yang tak akan tercapai adalah les dua kali SEHARI. Saya ngga kasih karena yakin ia pasti akan sakit karena terlalu letih)
Izinkan saya untuk mengatakan bahwa kebahagiaannya bisa ia peroleh karena suami saya bekerja keras dan karena saya memberikan kontribusi melalui status saya saya sebagai wanita yang bekerja di luar rumah.
Wanita yang bekerja di luar rumah bisa kita temui di mana saja. Ia adalah teller di bank yang kita jumpai saat ingin menyetor uang. Ia adalah manager dari mall yang sering kita kunjungi atau sekretaris direktur perusahaan asuransi yang preminya rutin kita bayar tiap bulan. Ia juga adalah pembantu rumah tangga kita, penjual ayam bakar yang dagangannya kerap kita beli serta perawat yang menyuntikkan cairan ke selang infus saat anak kita sakit.
Wanita bekerja di luar rumah adalah Nonik Purnomo, CEO Blue Bird yang dengan kerja kerasnya membuat kita memiliki taksi yang membuat hati relatif tenang.
Wanita bekerja di luar rumah adalah juga Risma, Wali Kota Surabaya, yang dengan tekun menelusuri perkampungan untuk mencari anak mana yang bisa diberikan bea siswa.
***
Apakah perempuan bekerja adalah perempuan materialistis yang menomorsatukan uang dan menomorduakan keluarga ?
Naif sekali rasanya jika pilihan perempuan untuk bekerja di luar rumah hanya dikaitkan dengan uang. Mintalah wanita karir duduk menghadap tembok dari pagi hingga sore dengan gaji US$ 10,000 per bulan plus tunjangan kesehatan, asuransi, dan uang transport. Pasti tak ada yang mau. Untuk banyak perempuan, gaji mungkin adalah alasan nomor satu mengapa mereka meninggalkan rumah namun jelas bukan satu-satunya. Mengapa lantas perempuan macam ini tega meninggalkan anak, sangat mungkin penyebabnya adalah bukan karena tidak mencintai anak namun justru karena mereka mencintai anak lebih dari apapun.
Pada akhirnya, hidup toh sebuah pilihan.
Tak bisa disangkal bahwa orang tua yang keduanya bekerja menghasilkan uang yang lebih banyak sehingga anak bisa mengembangkan bakat dan potensinya secara maksimal.
Wanita yang bekerja di luar rumah membantu keuangan keluarga sehingga suami-istri tak perlu berantem depan anak tentang bagaimana uang sekolah harus dibayar karena surat tagihan sudah datang beberapa kali.
Wanita yang bekerja di luar rumah membuka peluang yang lebih banyak bagi keluarga untuk membeli buku, tiket konser, jalan-jalan atau mencicipi makanan di restoran yang baru buka.
Bagi keluarga kalangan bawah, wanita bekerja berarti tersedianya nasi dan lauk sederhana di meja secara rutin sehingga anak mereka tak perlu menangis kelaparan.
Dan yang terpenting, suami dan istri yang bekerja memiliki peluang yang lebih banyak untuk menolong sesama. Akan indah jika anak memperoleh kesempatan melihat orang tuanya membantu sesama tidak hanya dengan tenaga atau waktu namun juga sesekali, sukur-sukur bahkan kerapkali, dengan uang.
Saya yakin ada wanita yang bekerja di luar rumah karena materialistis:Ia terobsesi dengan uang dan rela mengorbankan keluarga demi keinginannya. Ada juga wanita yang bekerja di luar karena tak betah lihat suami dan berharap bisa dapat pacar baru di kantor. Pasti ada juga yang bekerja di luar rumah karena lelah terus-menerus diremehkan dan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia mampu.
Bagaimanapun, saya sangat percaya bahwa banyak perempuan memilih bekerja di luar rumah dengan alasan cinta.
Saya percaya banyak perempuan yang memilih bekerja di luar rumah karena mereka mencintai dirinya: Mereka ingin mengembangkan potensi dan bakatnya sehingga bisa menjadi manusia yang lebih baik yang pada akhirnya membuat mereka juga menjadi ibu yang lebih baik.
Banyak perempuan yang bekerja di luar rumah karena mereka mencintai kesehatan jiwanya: Mereka tak betah menggunakan waktu di dalam rumah dan bekerja di luar adalah sarana untuk menyehatkan mental. Jika mereka depresi, keluarganya juga toh yang jadi korban.
Banyak perempuan yang memutuskan kerja di luar rumah dan uangnya mereka gunakan untuk kebahagiaan dan kemajuan keluarga. Mereka juga memberikan sebagian uangnya secara rutin untuk menolong saudara yang miskin, menjadi donatur tetap anak asuh atau menjadi penyumbang dadakan di berbagai acara pengumpulan dana.
Segenap perasaan bersalah karena tak bisa selalu ada di tengah keluarga, mereka coba redam. Seluruh kelelahan yang dialami karena harus berakrobat menyelesaikan urusan kantor di tangan kanan dan hal-hal domestik di tangan kiri, mereka coba atasi.
Peristiwa dilematis yang kerap muncul, seperti memilih antara menunggui anak sakit atau ikut rapat kantor yang amat penting, mereka hadapi dengan kalut namun tabah.
Mereka berhitung dengan cermat, membuat kalkulasi untung-rugi dengan teliti dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa pekerjaan yang sedang mereka tekuni adalah investasi kasih yang hasil akhirnya selalu saja berjumlah jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh tiap bulan.
Perempuan-perempuan seperti itu yakin bahwa ke mana saja mereka pergi dan apapun yang mereka lakukan, anak mereka selalu ada di hati. Mereka percaya bahwa anak mereka cukup matang untuk memahami bahwa kasih kadang-kadang tak bisa bergandengan tangan dengan kehadiran fisik. Perempuan-perempuan seperti itu berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan menjaga anak mereka, melalui bantuan pembantu,tetangga atau saudara, karena mereka telah memberikan waktu dan tenaga untuk mengelola bumi ciptaanNya melalui pekerjaan yang mereka lakukan.
Perempuan-perempuan seperti itu percaya bahwa bekerja adalah sebuah ekspresi cinta.
Dan saya terberkati menjadi salah satu dari antara mereka.
14 Februari 2014
15.37 WIB
Meicky Shoreamanis Panggabean
I am a proud mother and I will always be. Hidup Merryll !!!!!
Mudah sekali melihat kelebihan dan kemuliaan profesi ibu rumah tangga namun susah bagi SEBAGIAN orang untuk memahami kenyataan bahwa kadar keibuan ibu rumah tangga tidak lebih tinggi daripada wanita karir. Sebagian orang sulit memahami kenyataan bahwa wanita karir mencintai anak mereka sama besarnya dengan para ibu rumah tangga mengasihi buah hatinya. Sebagian orang berpendapat bahwa kegagalan ibu untuk 100 % berada di rumah menunjukkan bahwa ibu tersebut gagal juga untuk 100% mencintai anaknya. Rasanya masih cukup banyak yang percaya bahwa keberadaan ibu secara fisik sejumlah 100% secara otomatis berarti perhatian 100 % kepada anak. Saya merasa masih banyak orang yang berpendapat bahwa ketidakhadiran ibu secara utuh berarti hidup anak terbengkalai, mereka kurang perhatian dan kasih sayang, pendidikan nilai dan karakter tak terurus, plus hal-hal terpenting dalam hidup tak bisa mereka serap.
Saya bekerja dari pagi hingga sore. Saya rajin mengupgrade blog dan pernah membuat 3 buku. Saya kerap mondar-mandir untuk wawancara orang-orang sehubungan dengan keperluan menulis. Sibuk ? Lumayan. Anak terbengkalai ? Ooo...Itu lain hal. Tentu tidak.
Ketika berusia 7 tahun, anak saya tanpa disuruh menyumbangkan seluruh tabungannya untuk pembantu yang miskin.
Atas inisiatifnya sendiri saat berumur 9 tahun ia memberikan semua isi celengannya bagi korban topan Filipina.
Saat usia 6 tahun ia bahkan membuat poster untuk menawarkan jasa mengelap jendela mobil untuk mencari dana bagi anak-anak miskin.
Ia bisa dua bahasa secara aktif (Indonesia dan Inggris) serta satu bahasa secara pasif (Lancar membaca dan menulis tulisan Korea namun belum bisa melakukan percakapan dalam Bahasa Korea).
Umur 7 tahun ia sudah bisa membuat film dengan Windows Movie Maker dan saat teman-teman sekelasnya memakai Power Point Presentation, ia sudah menggunakan Prezi saat melakukan presentasi.
Tanpa dipaksa siapapun, ia tergila-gila ikut kursus dan les pun ia jalani dari Senin sampai Jumat dengan senang hati ( Cita-citanya yang tak akan tercapai adalah les dua kali SEHARI. Saya ngga kasih karena yakin ia pasti akan sakit karena terlalu letih)
Izinkan saya untuk mengatakan bahwa kebahagiaannya bisa ia peroleh karena suami saya bekerja keras dan karena saya memberikan kontribusi melalui status saya saya sebagai wanita yang bekerja di luar rumah.
Wanita yang bekerja di luar rumah bisa kita temui di mana saja. Ia adalah teller di bank yang kita jumpai saat ingin menyetor uang. Ia adalah manager dari mall yang sering kita kunjungi atau sekretaris direktur perusahaan asuransi yang preminya rutin kita bayar tiap bulan. Ia juga adalah pembantu rumah tangga kita, penjual ayam bakar yang dagangannya kerap kita beli serta perawat yang menyuntikkan cairan ke selang infus saat anak kita sakit.
Wanita bekerja di luar rumah adalah Nonik Purnomo, CEO Blue Bird yang dengan kerja kerasnya membuat kita memiliki taksi yang membuat hati relatif tenang.
Wanita bekerja di luar rumah adalah juga Risma, Wali Kota Surabaya, yang dengan tekun menelusuri perkampungan untuk mencari anak mana yang bisa diberikan bea siswa.
***
Apakah perempuan bekerja adalah perempuan materialistis yang menomorsatukan uang dan menomorduakan keluarga ?
Naif sekali rasanya jika pilihan perempuan untuk bekerja di luar rumah hanya dikaitkan dengan uang. Mintalah wanita karir duduk menghadap tembok dari pagi hingga sore dengan gaji US$ 10,000 per bulan plus tunjangan kesehatan, asuransi, dan uang transport. Pasti tak ada yang mau. Untuk banyak perempuan, gaji mungkin adalah alasan nomor satu mengapa mereka meninggalkan rumah namun jelas bukan satu-satunya. Mengapa lantas perempuan macam ini tega meninggalkan anak, sangat mungkin penyebabnya adalah bukan karena tidak mencintai anak namun justru karena mereka mencintai anak lebih dari apapun.
Pada akhirnya, hidup toh sebuah pilihan.
Tak bisa disangkal bahwa orang tua yang keduanya bekerja menghasilkan uang yang lebih banyak sehingga anak bisa mengembangkan bakat dan potensinya secara maksimal.
Wanita yang bekerja di luar rumah membantu keuangan keluarga sehingga suami-istri tak perlu berantem depan anak tentang bagaimana uang sekolah harus dibayar karena surat tagihan sudah datang beberapa kali.
Wanita yang bekerja di luar rumah membuka peluang yang lebih banyak bagi keluarga untuk membeli buku, tiket konser, jalan-jalan atau mencicipi makanan di restoran yang baru buka.
Bagi keluarga kalangan bawah, wanita bekerja berarti tersedianya nasi dan lauk sederhana di meja secara rutin sehingga anak mereka tak perlu menangis kelaparan.
Dan yang terpenting, suami dan istri yang bekerja memiliki peluang yang lebih banyak untuk menolong sesama. Akan indah jika anak memperoleh kesempatan melihat orang tuanya membantu sesama tidak hanya dengan tenaga atau waktu namun juga sesekali, sukur-sukur bahkan kerapkali, dengan uang.
Saya yakin ada wanita yang bekerja di luar rumah karena materialistis:Ia terobsesi dengan uang dan rela mengorbankan keluarga demi keinginannya. Ada juga wanita yang bekerja di luar karena tak betah lihat suami dan berharap bisa dapat pacar baru di kantor. Pasti ada juga yang bekerja di luar rumah karena lelah terus-menerus diremehkan dan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia mampu.
Bagaimanapun, saya sangat percaya bahwa banyak perempuan memilih bekerja di luar rumah dengan alasan cinta.
Saya percaya banyak perempuan yang memilih bekerja di luar rumah karena mereka mencintai dirinya: Mereka ingin mengembangkan potensi dan bakatnya sehingga bisa menjadi manusia yang lebih baik yang pada akhirnya membuat mereka juga menjadi ibu yang lebih baik.
Banyak perempuan yang bekerja di luar rumah karena mereka mencintai kesehatan jiwanya: Mereka tak betah menggunakan waktu di dalam rumah dan bekerja di luar adalah sarana untuk menyehatkan mental. Jika mereka depresi, keluarganya juga toh yang jadi korban.
Banyak perempuan yang memutuskan kerja di luar rumah dan uangnya mereka gunakan untuk kebahagiaan dan kemajuan keluarga. Mereka juga memberikan sebagian uangnya secara rutin untuk menolong saudara yang miskin, menjadi donatur tetap anak asuh atau menjadi penyumbang dadakan di berbagai acara pengumpulan dana.
Segenap perasaan bersalah karena tak bisa selalu ada di tengah keluarga, mereka coba redam. Seluruh kelelahan yang dialami karena harus berakrobat menyelesaikan urusan kantor di tangan kanan dan hal-hal domestik di tangan kiri, mereka coba atasi.
Peristiwa dilematis yang kerap muncul, seperti memilih antara menunggui anak sakit atau ikut rapat kantor yang amat penting, mereka hadapi dengan kalut namun tabah.
Mereka berhitung dengan cermat, membuat kalkulasi untung-rugi dengan teliti dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa pekerjaan yang sedang mereka tekuni adalah investasi kasih yang hasil akhirnya selalu saja berjumlah jauh lebih besar daripada pendapatan yang diperoleh tiap bulan.
Perempuan-perempuan seperti itu yakin bahwa ke mana saja mereka pergi dan apapun yang mereka lakukan, anak mereka selalu ada di hati. Mereka percaya bahwa anak mereka cukup matang untuk memahami bahwa kasih kadang-kadang tak bisa bergandengan tangan dengan kehadiran fisik. Perempuan-perempuan seperti itu berdoa dan percaya bahwa Tuhan akan menjaga anak mereka, melalui bantuan pembantu,tetangga atau saudara, karena mereka telah memberikan waktu dan tenaga untuk mengelola bumi ciptaanNya melalui pekerjaan yang mereka lakukan.
Perempuan-perempuan seperti itu percaya bahwa bekerja adalah sebuah ekspresi cinta.
Dan saya terberkati menjadi salah satu dari antara mereka.
14 Februari 2014
15.37 WIB
Meicky Shoreamanis Panggabean
I am a proud mother and I will always be. Hidup Merryll !!!!!