Normal Itu Apa, Ya?
Gue merasa kita perlu mencermati kembali arti kata ’normal’.
Gue nggak mau over-analytical. Di internet bertebaran tulisan yang mempertanyakan kembali arti normal trus dibahas panjang lebar, dikupas, digugat, dibongkar-ulang maknanya...
Masa' anak autis nggak normal? Enak aja. Mereka tuh normal karena lalalala....lilili...
Orang difabel normal juga lho karena tralalaaa...trilili...
Kita perlu pikirkan kembali:Normal itu syaa...la...laaaa...
Terserah yang nulis sih tapi gue pribadi nggak setuju kata ini maknanya dipretelin kayak lego. Patuh terhadap kamus seringkali menghemat banyak waktu. Semua kamus bahasa punya substansi yang sama dalam definisi mereka tentang normal: Sesuai dengan pola yang umum, tak punya pembeda signifikan dengan yang umum...Ya gitu lah kurang-lebih.
Makna normal biarkan saja tinggal tetap, yang perlu dibahas adalah perspektif mana yang sering digunakan orang ketika mereka bilang bahwa anak autis tuh gak normal. Percaya deh sama gue, mereka pake perspektif bahasa kok. Secara teologgis, mereka gak memperanyakan derajad anak autis. dilihat dari sisi bahasa, anak Autis gak normal, so what?
Adalah hal yang normal bagi anak di wilayah konflik untuk berangkat tidur dengan rasa lapar dan takut tapi kalo ini terjadinya di Norwegia, tempat paling bahagia di dunia menurut riset, tentu nggak normal. Adalah hal yang normal bagi seorang guru untuk kerja dari pagi sampe sore namun untuk seorang penyanyi cafe, jam kerja yang normal ya malam sampe subuh. Adalah hal yang normal bagi gue untuk klepek-klepek saat liat Benedict Cumberbatch, suami dan anak gue justru bingung kalo gue bisa cuek saat liat dia. Nah, apa lantas lo bisa gue sebut sebagai nggak normal hanya karena pas abis liat dia, perasaan lo sama aja kayak abis liat bumbu dapur atau sapu lidi? Biasa aja gitu, nggak ada listrik nyetrum-nyetrum di hati elo kayak yang gue alami saat nonton Benedict jadi Sherlock, misalnya.
#Dukung Benedict Cumberbatch jadi adik ipar kakak-kakak gue.
#Eh
Bagaimana kata 'normal' didefinisikan akan membawa banyak ekses. Dalam bisnis, pemaknaan yang dilakukan terhadap kata-kata semacam 'normal','abnormal', dan 'penyimpangan', identik dengan pemasukan ratusan jutaan dollar. Kita terobsesi dengan kata 'normal' padahal ini adalah kata yang sering datang satu paket dengan kata 'membosankan' dan 'mediocre'. Kalo Alan Touring normal, kita nggak akan kenal komputer, loh. Kalo Charles Richter normal, nggak akan ada Skala Richter di dunia dan setelah terjadi gempa, penyiar TV hanya akan bilang,"Gempanya sehotel Mulia" atau "Gempanya sepos satpam". Mirip kayak banjir sedada atau sepaha, gitu.
Pada nyadar nggak sih, 'normal' itu bukan sebuah kata pujian, lho. Bijaksana, pinter, murah hati, itu kata pujian. Normal? Nggak lah. Nggak ada satu pun dari kita yang pernah dipuji kayak gini,”Keren, normal banget sih lu jadi orang!” Kalimat itu terdengar ganjil, kita akan merasa aneh dan tidak akan merasa hebat jika suatu saat dikomentari seperti itu, begitu bukan?
Nah, lalu kenapa kita menuntut orang untuk menjadi 'normal' dan meminggirkan hak-hak orang yang nggak mau, bahkan nggak bisa, 'normal'???