Tentang Hoax dan Jempol yang Sering Keceplosan
Hal MENDASAR apa yang bisa meminimalisir kita posting hoax ? Caranya tau sebuah info hoax atau nggak, gimana sih ? Apa bisa kita nggak posting hoax sama sekali ?
Juni 2008 sampe Oktober 2016, hoax yang gue posting ada 1. Mulai November 2016 sampe hari ini (15 Mei 2017), hoax yang gue posting sekitar 6. Jumlah postingan hoax dalam tujuh bulan pake sosmed lebih banyak 600% daripada jumlah hoax yang diposting dalam 8,5 tahun. Adapun postingan yang nggak gue sebar karena gue sangat yakin itu hoax tapi ternyata itu bukan hoax, jumlahnya minimal puluhan.
Orang yang paling sering posting hoax di salah satu WAG gue adalah orang yang betul-betul pinter. Salah satu cara mendasar untuk menghindari kita posting hoax memang bukan tingkat kecerdasan melainkan tingkat keaktifan di sosmed. Kalo nggak aktif, walau gelar akademik kita 5, bisa aja kita terpleset. Kecerdasan diperlukan nggak ? Mungkin nggak, yang penting teliti dan nggak bego-bego amat.
Begini analoginya. Elu sering ke Plaza Senayan trus lo denger akan ada Meet n Greet dengan Elvy Soekaesih di PS. Lo tau bahwa itu hoax. Walau baru lulus SMA, lu tau bahwa PS identik dengan kelas atas dan golongan ini nggak identik dengan dangdut. Nah, lu terusin berita itu ke temen bokap lo, dosen Harvard yang udah bikin jurnal 60 kali dan baru aja demen dangdut. Dia langsung percaya. Kenapa ? Dia gak tau PS itu mall kayak apa dan kedudukan dangdut kayak apa di masyarakat Indonesia.
Salah satu cara mendasar lainnya untuk menghindari kita posting hoax adalah kita mesti belajar rendah hati. Nggak usah punya keinginan untuk dikomentari,”Wuih…Tau aja lo…Lo dari mana, gue baru denger, lho??” Sebagian pengguna sosmed mencari pengakuan lewat postingan-postingannya. Mereka bangga kalo dapat berita (yang seolah-olah) eksklusif.
Bagaimanapun, mendapatkan pengakuan adalah kebutuhan semua orang. Masa’ gak boleh cari pengakuan di sosmed ? Bukan nggak boleh…Maksud gue, kita liat-liat isi postingan. Hoax itu berpotensi bikin kacau dunia nyata. Lebih baik kita coba masak trus upload foto makanannya, pamer pas diundang institusi ini itu jadi pembicara, tunjukkin koleksi tumbler Starbucks, upload video kita pas kita lagi main yoyo sampe talinya kelibet-libet, atau apa kek gitu…Terserah dah, pokoknya bukan posting hoax. Pengakuan yang kita dapat dari itu semua lebih halal daripada pengakuan yang kita dapat karena posting hoax.
Sekarang kita bahas (2) cara mendeteksi hoax.
1.Lo liat sumbernya, yakin itu bisa dipercaya ? Sekarang ada website Tribunnews KW, Kompas KW, dll. Kadang yang asli pake.com dan yang KW pake .net. Ada juga yang blog gratisan. Cek siapa aja pengurusnya. Kalo itu sosmed, cek pemilik akun dan postingan sebelumnya. Capek ? Iya. Kalo mau jadi orang bener emang capek. Cuma capek di awal, kok, yang nyebar hoax, dia-dia juga biasanya.
2.Banyak postingan yang kayak gini,”Gue udah ketemu sekretaris Djarot. Dia bilang….” Coba cek ke yang ngirim,”Ini kata ‘gue’ maksudnya siapa?” Bisa jadi jawabannya,”Gue hanya ngeforward”. Lah, kalimat pertama aja udah salah. Kalimat-kalimat berikutnya berarti ada potensi salah juga, dong ?
3.Cek fakta-faktanya. Di banyak postingan, JK ditulis memimpin penyerangan terhadap gereja pada 1969. Di sumber asli ternyata 1967. Udah ada 1 yang salah, berarti yang lain bisa salah juga dong ? Mungkin dia bukan serang asrama biarawati tapi bangunan perpustakaan ? Kita gak bisa bilang,” Yang penting intinya dia jahat, gitu. Detil nggak penting.” Bah ! Apa kita mau dibilang ngerampok 200 juta di CIMB Niaga dan bunuh satpam padahal aslinya kita nyuri 300 juta di BCA dan bawa kabur 1 mobil sport? Detil itu penting, Bos.
4.Cek judul dan isi berita, sama nggak ? Gue pernah buka berita dari media terpercaya di FB, ternyata judul beda dengan isi.
5.Karakter orang sering berbanding lurus dengan keabsahan postingannya. Contoh: Ada yang bilang, “Gue ketemu Addie MS kemarin’, padahal maksudnya papasan. Biarin aja, mereka punya alasan yang membuat mereka melebih-lebihkan cerita. Bagaimanapun, telitilah sebelum nerusin berita yang kita terima dari orang-orang kayak gini.
6. Lo liat info sampe detil. Contoh:
6.1 Ada berita yang diembel-embeli, ‘Ini bukan hoax. Saya relawan BaDja, si XXXX’. Isinya tentang sikon genting di Jakarta, sebentar lagi akan Siaga 1 dan dengan cepat akan jadi Siaga 2. Lah….Situasi tergenting itu ‘kan Siaga 1. Gimana coba ?
6.2 Si C anaknya perlu darah AB, hubungi 0821 XXX XXXHubungi dulu no. telpon yang tertera sebelum forward, paling cuma semenit dan makan pulsa nggak nyampe 1000 rupiah. Kalo memang bukan hoax dan masih butuh bantuan, baru forward.. Gue beberapa kali terima postingan permintaan tolong yang udah lama bersirkulasi di sosmed. Gue sendiri kalo minta tolong, selalu gue cantumkan tanggal postingan.
7. Untuk cek gambar hoax atau nggak, elu upload aja gambarnya ke Google Images. Untuk kata-kata. Bisa nyoba www.hoaxanalyzer.com dan googling ‘berita hoax+detik’. Untuk berita luar negeri masuk ke www.snopes.com dan www.factcheck.com.
8. Kalo judulnya provokatif, tanda tanya atau tanda serunya dobel, sangat mungkin hoax.
9. Kalo penulisannya ngaco, banyak typho, sebagian besar huruf kapital, hampir pasti hoax.
BTW, apa mungkin kita nggak posting hoax ? Mustahil, kalo hanya meminimalisir, bisa. Hoax jaman sekarang mirip banget sama berita nggak hoax. Gue selalu memforward berita yang gue ragukan kebenarannya ke WAG keluarga terlebih dulu. Kadang malas atau gak sempat ngecek. Kalo ternyata hoax, gue nggak malu, ‘kan keluarga sendiri.
Pan itu yak fungsi keluarga. Nerima kita apa adanya. Termasuk menerima kemalasan dan kedodolan kita sebagai netizen. Termasuk menerima kita berikut jempol kita yang kadang keceplosan. Yuhuuuu….
Meicky Shoreamanis Panggabean.
16/5/2017, 12.50 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-
Juni 2008 sampe Oktober 2016, hoax yang gue posting ada 1. Mulai November 2016 sampe hari ini (15 Mei 2017), hoax yang gue posting sekitar 6. Jumlah postingan hoax dalam tujuh bulan pake sosmed lebih banyak 600% daripada jumlah hoax yang diposting dalam 8,5 tahun. Adapun postingan yang nggak gue sebar karena gue sangat yakin itu hoax tapi ternyata itu bukan hoax, jumlahnya minimal puluhan.
Orang yang paling sering posting hoax di salah satu WAG gue adalah orang yang betul-betul pinter. Salah satu cara mendasar untuk menghindari kita posting hoax memang bukan tingkat kecerdasan melainkan tingkat keaktifan di sosmed. Kalo nggak aktif, walau gelar akademik kita 5, bisa aja kita terpleset. Kecerdasan diperlukan nggak ? Mungkin nggak, yang penting teliti dan nggak bego-bego amat.
Begini analoginya. Elu sering ke Plaza Senayan trus lo denger akan ada Meet n Greet dengan Elvy Soekaesih di PS. Lo tau bahwa itu hoax. Walau baru lulus SMA, lu tau bahwa PS identik dengan kelas atas dan golongan ini nggak identik dengan dangdut. Nah, lu terusin berita itu ke temen bokap lo, dosen Harvard yang udah bikin jurnal 60 kali dan baru aja demen dangdut. Dia langsung percaya. Kenapa ? Dia gak tau PS itu mall kayak apa dan kedudukan dangdut kayak apa di masyarakat Indonesia.
Salah satu cara mendasar lainnya untuk menghindari kita posting hoax adalah kita mesti belajar rendah hati. Nggak usah punya keinginan untuk dikomentari,”Wuih…Tau aja lo…Lo dari mana, gue baru denger, lho??” Sebagian pengguna sosmed mencari pengakuan lewat postingan-postingannya. Mereka bangga kalo dapat berita (yang seolah-olah) eksklusif.
Bagaimanapun, mendapatkan pengakuan adalah kebutuhan semua orang. Masa’ gak boleh cari pengakuan di sosmed ? Bukan nggak boleh…Maksud gue, kita liat-liat isi postingan. Hoax itu berpotensi bikin kacau dunia nyata. Lebih baik kita coba masak trus upload foto makanannya, pamer pas diundang institusi ini itu jadi pembicara, tunjukkin koleksi tumbler Starbucks, upload video kita pas kita lagi main yoyo sampe talinya kelibet-libet, atau apa kek gitu…Terserah dah, pokoknya bukan posting hoax. Pengakuan yang kita dapat dari itu semua lebih halal daripada pengakuan yang kita dapat karena posting hoax.
Sekarang kita bahas (2) cara mendeteksi hoax.
1.Lo liat sumbernya, yakin itu bisa dipercaya ? Sekarang ada website Tribunnews KW, Kompas KW, dll. Kadang yang asli pake.com dan yang KW pake .net. Ada juga yang blog gratisan. Cek siapa aja pengurusnya. Kalo itu sosmed, cek pemilik akun dan postingan sebelumnya. Capek ? Iya. Kalo mau jadi orang bener emang capek. Cuma capek di awal, kok, yang nyebar hoax, dia-dia juga biasanya.
2.Banyak postingan yang kayak gini,”Gue udah ketemu sekretaris Djarot. Dia bilang….” Coba cek ke yang ngirim,”Ini kata ‘gue’ maksudnya siapa?” Bisa jadi jawabannya,”Gue hanya ngeforward”. Lah, kalimat pertama aja udah salah. Kalimat-kalimat berikutnya berarti ada potensi salah juga, dong ?
3.Cek fakta-faktanya. Di banyak postingan, JK ditulis memimpin penyerangan terhadap gereja pada 1969. Di sumber asli ternyata 1967. Udah ada 1 yang salah, berarti yang lain bisa salah juga dong ? Mungkin dia bukan serang asrama biarawati tapi bangunan perpustakaan ? Kita gak bisa bilang,” Yang penting intinya dia jahat, gitu. Detil nggak penting.” Bah ! Apa kita mau dibilang ngerampok 200 juta di CIMB Niaga dan bunuh satpam padahal aslinya kita nyuri 300 juta di BCA dan bawa kabur 1 mobil sport? Detil itu penting, Bos.
4.Cek judul dan isi berita, sama nggak ? Gue pernah buka berita dari media terpercaya di FB, ternyata judul beda dengan isi.
5.Karakter orang sering berbanding lurus dengan keabsahan postingannya. Contoh: Ada yang bilang, “Gue ketemu Addie MS kemarin’, padahal maksudnya papasan. Biarin aja, mereka punya alasan yang membuat mereka melebih-lebihkan cerita. Bagaimanapun, telitilah sebelum nerusin berita yang kita terima dari orang-orang kayak gini.
6. Lo liat info sampe detil. Contoh:
6.1 Ada berita yang diembel-embeli, ‘Ini bukan hoax. Saya relawan BaDja, si XXXX’. Isinya tentang sikon genting di Jakarta, sebentar lagi akan Siaga 1 dan dengan cepat akan jadi Siaga 2. Lah….Situasi tergenting itu ‘kan Siaga 1. Gimana coba ?
6.2 Si C anaknya perlu darah AB, hubungi 0821 XXX XXXHubungi dulu no. telpon yang tertera sebelum forward, paling cuma semenit dan makan pulsa nggak nyampe 1000 rupiah. Kalo memang bukan hoax dan masih butuh bantuan, baru forward.. Gue beberapa kali terima postingan permintaan tolong yang udah lama bersirkulasi di sosmed. Gue sendiri kalo minta tolong, selalu gue cantumkan tanggal postingan.
7. Untuk cek gambar hoax atau nggak, elu upload aja gambarnya ke Google Images. Untuk kata-kata. Bisa nyoba www.hoaxanalyzer.com dan googling ‘berita hoax+detik’. Untuk berita luar negeri masuk ke www.snopes.com dan www.factcheck.com.
8. Kalo judulnya provokatif, tanda tanya atau tanda serunya dobel, sangat mungkin hoax.
9. Kalo penulisannya ngaco, banyak typho, sebagian besar huruf kapital, hampir pasti hoax.
BTW, apa mungkin kita nggak posting hoax ? Mustahil, kalo hanya meminimalisir, bisa. Hoax jaman sekarang mirip banget sama berita nggak hoax. Gue selalu memforward berita yang gue ragukan kebenarannya ke WAG keluarga terlebih dulu. Kadang malas atau gak sempat ngecek. Kalo ternyata hoax, gue nggak malu, ‘kan keluarga sendiri.
Pan itu yak fungsi keluarga. Nerima kita apa adanya. Termasuk menerima kemalasan dan kedodolan kita sebagai netizen. Termasuk menerima kita berikut jempol kita yang kadang keceplosan. Yuhuuuu….
Meicky Shoreamanis Panggabean.
16/5/2017, 12.50 WIB
“One child, one teacher, one book, one pen can change the world.”
-Malala Yousafzai-